Pages

Senin, 22 Oktober 2018

Pesan Allah di Kiblat Ilmu

Pada saat itu, aku dan kak Nida sedang mencari rumah di Darosah untuk tempat tinggal nya bersama adiknya dan beberapa teman adiknya. Setelah setengah hari kami berkeliling, kami pun istirahat sejenak di Masjid Dardiri. Namun karena disana tidak terdapat tempat berwudhu untuk sayyidat akhirnya saat adzan ashar berkumandang kami segera beranjak ke Masjid Azhar.

"Ayo kak... Langsung ke hamam", kataku sambil melangkah jalan lebih cepat. Pintu gerbang masjid yang terbuka setengah itu aku biarkan saja.

"Ehh...titipin aja kali tas nya biar ga berat", timpalnya mencegah langkah ku.

"Oh gitu. Yaudah.."

Segera kami melangkah kan kaki ke dalam masjid yang sudah mulai ramai dengan orang, baik yang hanya berkunjung atau mengikuti dars di ruwaq-ruwaq. Sore itu ada kajian Daurah Muqaddimah Kutubut Sittah yang diadakan selama sekitar tiga pekan. Dan wajar jika semakin banyak yang datang ke Jami' Azhar untuk mengikuti Daurah yang langka ini. Dihadiri oleh Ulama-ulama besar hadits yang berada di Negeri ini. Rencana kami pun akan mengikuti itu setelah sholat Ashar.

"Kak, kami nitip tas ya. Mau ke kamar mandi ambil wudhu sebentar", kuberikan tas ku kepada sekumpulan anak Malaysia yang sudah sangat kami percaya. Sudah menjadi kebiasaan kami untuk menaruh kepercayaan kepada sesama wafidat dari Asia. Baik Malaysia, Thailand, atau Singapura. Sekalipun belum kenal, kami tak kan ragu untuk menitipkan barang penting dan berharga kepada mereka. Mereka pun juga sudah percaya dengan wafidat Indonesia jika memang tak ada kawan yang bisa dititipi barangnya.

"Oh.. iya, boleh", jawabnya singkat dengan senyuman.

Segera kami berdua berjalan ke kamar mandi yang terletak beberapa puluh meter dari Masjid. Karena kondisi hamamat yang sempit dan cukup kotor, menitipkan tas di Masjid memang pilihan yang lumayan tepat. Tapi tidak untuk saat itu. Usai berwudhu kami segera kembali ke Masjid yang sudah selesai dilakukan sholat Ashar berjamaah. Karena cukup mengantre, jadi kami harus sabar menunggu dan rela tertinggal sholat jamaah.

Memasuki kembali gerbang Masjid, melepas sepatu dan menyelusuri lorong yang tak terlalu panjang. Betapa terkejutnya diriku saat melihat segerombolan anak Malaysia yang tadinya duduk di salah satu pojok ruangan salah satu Ruwaq yang tak lain digunakan untuk jamaah Sayyidat sudah tidak ada. Namun tas ku dan kawanku berada disana. Dijaga oleh seorang ibu Mishriyah, yang nampak menunggu seseorang.

"Ya Rabb mereka kemana kak? Tas kita kok ngga dibawa aja?", kataku spontan saat melihat mereka tak tersisa satupun.

"Lahh..iya. Kemana mereka?"

"Wahhh.. aku yakin pasti ada yang hilang. Ada hapeku disana", bisikku dalam hati sudah mulai khawatir.

"Fein shadiqat hena?", tanyaku kepada ibu itu.

Dia bilang mereka masuk karena ada dars, dan menitipkan tas kami kepadanya. Dan benar saja, seketika aku periksa handphone di dalam tas yang tak pernah aku pindah posisi. Di tempat terdalam, di bagian laptop biasanya diletakkan. Nihil. Tak ada. Dan aku sudah mengira sejak melihat tas kami dalam pangkuan ibu mishriyah itu.

"Kak, hape ku ga ada.."

"Apaan sih qon?..", jawab kawanku tak percaya.

"Beneran kak. Aku ngga pernah mindahin tempat hape itu. Selalu aku taruh sini", tangan ku masih berusaha mencari barang kecil itu di bagian tas yang lain "ana udah nebak, pasti bakal hilang"..

"Beneran qon?"

"Kak.. kita harus cari anak Malaysia yang tadi. Mereka kemana? Kenapa ngga tanggung jawab? Kalau emang mau pindah tempat ya dibawa aja tas kita nya.."

"Ya Rabb ujian apa lagi ini? Sabar.. sabar itu pada pukulan pertama. Ikhlas. Kalau memang rezeki Allah kembalikan atau Allah ganti yang lebih baik. Kalau memang bukan rezeki, apalah handphone itu. Semua dari Allah, dan Allah yang berhak mengambilnya", kataku dalam benak. Aku sudah ridho jika memang tak kan  kembali. "Mungkin Allah sedang menugurku. Bahwa hape itu hanyalah bagian dari dunia yang terkadang melenakan kita"

Spontan aku langsung ingin berlari mengejar mereka. Menanyai dan minta pertanggungjawaban. Tanpa sedikitpun berfikir dan ingin mengejar ibu Mishriyah yang tadi menunggu tas kami. Bukan karena tak curiga kepada orang itu. Justru aku yakin kemungkinan besar adalah orang itu yang mengambil. Tapi mana mungkin orang sudah menjaga tas kami, tiba-tiba aku tanya kemana handphone ku. Lebih tepatnya aku tidak berani, padahal setelah aku menyadari ketiadaan nya di dalam tas, orang itu masih sempat berdiri di depan ku beberapa detik sebelum pergi. Tanpa sedikitpun menampakkan wajah bersalah atau setidaknya mencurigakan.

Kami berdua menghambur. Entah aku tak berfikir apapun kecuali mencari segerombolan anak Malaysia yang jumlahnya sekitar sepuluh anak itu. Kutemukan mereka sedang asyik berfoto di latar dalam Jami' Azhar. Dan sebagian dari mereka sudah mengakhiri foto-foto itu, sedang melangkahkan kaki keluar Masjid. Menentang sepatu mereka untuk segera pergi meninggalkan tempat itu. Aku segera mencari anak yang benar-benar aku serahi tas kami. Aku perhatikan satu per satu dari mereka.

"Kak, tadi yang ana titipin tas kan ya?", kataku sambil mencegah langkahnya keluar.

"Hmm.. iye. Ada ape?", jawabannya tetap ramah.

"Kak, hape saya hilang. Tadi kalau mau pindah seharusnya bawa aja tasnya"

"Haahh?..iya kah?", jawabnya dengan bertanya "Maaf kan kite"

"Coba tanyain kawan-kawan kakak itu yang sudah diluar", tanganku menunjuk beberapa temannya yang sudah berada di luar. Melangkah keluar lebih dahulu. Sama sekali tak ada kecurigaan kepada mereka. Tapi tetap diri ini ingin memastikan. Tak ada yang tau siapa pelakunya.

Perempuan berbalut jilbab dan khimar yang rapi itu pun segara memanggil teman-temannya. Kawan yang berdiri di sampingnya pun membantunya. Akhirnya semua berhenti dan bergerombol di gerbang pagar besi yang memisahkan jalan besar dengan halaman Jami' Azhar.

Aku dan kak Nida sudah berada di antara mereka. Sebagian mereka ada yang berdiri di luar gerbang, dan sebagainya di dalam. Tapi obrolan kami pasti akan saling terdengar.

"Ini handphone dia hilang. Ada yang tau tak?", Kakak itu mulai berbicara.

"Tadi kan ana sama dia nitipkan tas kami ke kalian. Kita kan udah saling percaya sesama wafidat walau beda Negara, walau belum kenal. Tapi kenapa dikasihkan ke orang Mesir?", tanpa diminta aku segera menjelaskan.

"Tadi kami nak masuk, tak ada siapapun selain ibu itu. Jadi kami titipkan"

"Orang Mesir mana ada yang bisa dipercaya. Kalau emang kalian mau pindah tempat dibawa aja tas kita. Itu pasti lebih aman", aku benar-benar menumpahkan kekecewaan.
Wajah-wajah polos mereka hanya tertunduk dan merasa bersalah. Walau sebagian nampak tak ada beban. Mungkin itu yang sama sekali tak menyaksikan kami berdua menitipkan tas kepada beberapa orang diantara mereka.

"Kak.. saya itu baru satu minggu disini hape saya sudah hilang. Dan belum lama kemarin hape saya juga diambil waktu di bus. Saya teriak sekencang-kencangnya tak ada yang merespon. Tak ada yang mau bantu..", tambah Kak Nida meyakinkan mereka. Mencoba menjelaskan betapa ngerinya kehidupan di ibukota ini.

"Maaf kan kami. Kami tak tau. Mereka baru saja tiba semalam..",
lidahku seolah tercekat. Semalam?aku membayangkan baru tadi malam. "Ini budak-budak baru saja tiba kat Mesir Sabtu kemarin", tambah yang lain meyakinkan kami.

"Yasudah tak apa.. saya juga minta maaf. Jadi merepotkan kalian", aku pun bisa memaklumi mereka. Setelah mencerna maksud dari perkataan mereka, ternyata mereka memang belum lama datang di Mesir. Belum sampai seminggu. Pelajaran berharga untuk mereka diminggu pertama hidup di Negeri orang.

Kami pun segera bubar. "Coba aku tanya penjaga-penjaga masjid qon..",

"Iya kak..", kami berdua melangkah ke dalam. Diikuti mereka yang satupun akhirnya memutuskan untuk tidak pulang terlebih dahulu. Entah apa yang bisa kita atau mereka lakukan. Kami segera masuk kembali ke dalam Masjid.

"Udah kak, sholat dulu aja biar tenang. Gapapa kalau bukan rezeki Allah ganti insya Allah..", kataku menenangkan kawanku yang nampak jauh lebih shock dan kecewa. Dengan sigap dan berani ia meminta tolong serta menanyai orang yang berada di Masjid itu. Sudah banyak petugas yang kawanku kenal. Jadi bercerita dan mengadu kepada mereka tak sulit. Bahkan salah satu dari petugas itu baru saja kami temui di baalah (warung) belakang masjid saat sebelum kami menitipkan tas kepada mereka.

"Jangankan di Jami' Azhar ya Mama.. di Ka'bah tempat ibadah ada aja orang yang kehilangan hape..", bahasa amiyyah meluncur tanpa ada jeda."Ya Sallam.. Jami' dih makan Lil ibadah, makan liil Ilmi..", tambahnya mengungkapkan kemarahan dengan tangan yang ikut mengekspresikan.

"Kak.. sholat dulu yuk"

"Percuma. Aku tak berharap handphone itu kembali. Sudahlah aku ikhlaskan saja. Tak ada sesuatu yang berharga disana. Toh itu dari Allah dan Allah pula yang berhak mengambil nya", diriku benar-benar sudah ridho. Ringan saja. Seperti tak ada beban atau kehilangan. Jika memang musibah itu menjadi penggugur dosa ku atau penambah pahala bagiku, itu lebih baik.

Setelah kami sholat, aku sempat menitikkan air mata. Bukan karena hilang benda kecil nan berharga itu. Betapa lemahnya diri ini, dan betapa teguran Allah itu selalu tepat sasaran. Mungkin Allah mengingatkan ku agar aku tak terlena dengannya, menjadi jauh dari Allah karena terkadang lebih sibuk dengan benda kecil itu. Betapa nikmat dunia itu tak ada bandingannya dengan ganjaran yang telah Allah siapkan. Betapa dosa ini sangat banyak tak terkira, sehingga harus ditebus dengan cobaan yang memang mengagetkan itu.

"Jadi memang saat ini giliranku untuk kehilangan handphone", itulah kalimat yang terlintas dalam fikiranku sejak kutemukan tempat dimana aku meletakkan handphone kosong. Iya. Memang seperti cerita-cerita masisir, bahwa kehilangan handphone itu sudah biasa. Menjadi santapan harian. Dan kini memang giliranku yang merasakan. Menelan santapan yang seolah menjadi kewjiban kita, setidaknya sekali selama menginjakkan kaki di bumi ini. Inilah secuplik rusaknya kehidupan di zaman kapitalis. Dimana sudah jarang sekali Muslim yang masih berpegang teguh dengan standar halal haram. Berbuat kriminal sudah menjadi jalan yang lumrah untuk mencari uang dan keuntungan. Berawal dari krisis yang mendorong siapapun untuk mendapat penghasilan dari segala jalan.

"Ada temen kakak yang tau cara ngelacak handphone?", usai sholat dan doa kami pun melanjutkan obrolan untuk berusaha mencari.

"Siapa ya?.. oh ada, coba aku telpon", tak perlu berfikir kawanku itu segera mencari salah satu nomor kenalannya. Masisir. Banin.

"Mereka pada lagi dars qon, pasti ga diangkat", beberapa nomor yang kira-kira mengerti masalah aplikasi canggih itu sudah dipanggil. Tak ada satupun yang merespon. "Semua pasti ikut Kutubut Sittah..."

"Qon.. tinggu aku coba bilang ke Syaikh", kata kawanku tiba-tiba sambil melangkahkan kaki keluar dari tempat jamaah sayyidat.

Hanya kubalas anggukan, karena sekalipun aku larang tak akan menghentikan tekadnya. Tak hanya kawanku itu yang bergerak cepat membantuku. Dua anak Malaysia yang ternyata senior diantara mereka, mendekatiku walau dia sepertinya juga tak tau cara membantu. Setidaknya berbela sungkawa menunjukkan rasa penyesalan serta mengakui kesalahan. Seorang ibu penjaga Masjid yang sudah cukup akrab dengan kak Nida pun tak kalah aksinya. Beliau dengan sigap menanyai setiap jamaah yang ada di ruangan dimana hape ku hilang. Walau nampkanya percuma, tapi setidaknya aku sangat berterima kasih atas bentuk kekecewaan nya. Beberapa pemudi yang tak jauh duduknya dari kami pun juga mengungkapkan keterkejutan nya, diikuti dengan doa lirih yang seolah ingin menenangkan ku. Hanya kubalas senyuman, tanpa sepatah katapun.

"Awak.. maafkan kite orang, kite kesilap lah..", anak Malaysia itu mendekati ku. Dari kebimbangan wajahnya itu, justru aku yang berusaha mencoba menenangkan dia.

"Tak apa kak.. bukan salah kalian. Saya yang minta maaf malah merepotkan, dan kalian jadi ngga segera pulang"

Kami pun berbincang dan berkenalan di tempat itu. Tak ada beban yang membuatku kian terpuruk. Disiu justru aku menemukan indahnya persaudaraan sesama Muslim. Rasa percaya dan tanggung jawab.

Ternyata anak Malaysia itu punya aplikasi yang aku sendiri baru tau saat itu. Find Divice. Aplikasi canggih itu sudah terpasang di hape nya tanpa ia sadari. Ia pun tak mengerti cara menggunakan nya. Setelah aku tanya, segera ia membuka aplikasi tersebut.

"Awak masukkan email, dan password, juga number awak saat buat email", dia menyodorkan hape nya kepada ku.

"Waahh... nomor hape lama itu. Nomor Indonesia. Ya Allah, masih ingat ngga ya?"

Akhirnya setelah aku ulang beberapa kali ingatanku, akhirnya kutemukan. Nomor Telkomsel warisan kakak laki-laki ku yang sudah bertahun-tahun menemani ku dari hape ke hape yang lain.

Berhasil. Aplikasi yang langsung terhubung dengan GPS itu seketika menulusuri letak handphone ku berada. Tak jauh hanya sekitar satu kilo meter dari Masjid Azhar.

Tak perlu lama berfikir, setelah kami sepakat untuk mengejar pelaku yang sepertinya tak jauh tinggal di kawasan Darosah, segera kami menghentikan taxi. Syari' Manshuriyah itu yang harus kami datangi. Kami sempat bertanya kepada salah satu satpam di Masjid Azhar tapi tak ada respon sedikitpun untuk ingin membantu. Bahkan dengan enteng menjawab "ana musy 'arif (aku tidak tau)". Hanya jawaban singkat dengan muka yang sangat cuek yang kami dapatkan. Sebenernya kami membutuhkan paling tidak seorang Mishriyah untuk membantu kami bertatap muka dan berbicara dengan lantang jika pencuri itu tertangkap. Namun, beberapa petugas perempuan di Masjid Azhar yang sejak tadi antusias  membantu mencari tak ada satupun yang bersedia mengikuti kami naik taxi untuk mengejarnya. Entah mungkin tidak percaya, atau sebenernya kurang faham dan masih asing dengan aplikasi yang nampak mustahil untuk bisa menemukan benda kecil itu.

Akhirnya kami memutuskan untuk pergi berempat. Aku, Kak Nida, dan dua anak Malaysia yang senior diantara mereka. Walaupun bukan mereka yang kami titipkan tas, tapi rasa tanggung jawab terhadap kesalahan mereka, tak sedikit pun membuat mereka ragu membantu kami.

"Awak... saya kasih sedikit duit untuk awak. Saye berikan ke kawan saye. Maaf lah tak bisa ikut bantu cari", tiba-tiba salah satu anak Malaysia yang sejak tadi tak  nampak dari pandanganku menghentikan langkah ku yang berjalan menuju taxi.

"Kak..kenapa kayak gitu? Ngga usah. Doakan saja, kalau memang masih rezeki kembali", percuma. Aku tak bisa mencegah. Uang itu tidak di tangan ku juga tidak di tangan nya. Tapi di salah kawan mereka yang sudah berdiri di sisi taxi beberapa meter di depanku. Dia pun segera pergi setelah bersalaman denganku. Terburu- buru pulang karena sudah ditunggu kawan-kawannya sejak tadi.

Akhirnya setelah Kak Nida menjelaskan rute yang berada di layar hp kawan Malaysia, juga menjelaskan apa maksud kami mengejar jalan itu, akhirnya sopir taxi itu setuju. Karena tidak semua taxi mau mengantarkan penumpang ke arah yang terkadang tak sejalan dengan tujuan akhir dia. Atau karena jarak terlalu dekat, tak sedikit yang menolak. Kami pun segera masuk. Mobil jadul berwarna putih, mungil dan pendek  versi film Ayat-Ayat Cinta itu meluncur menyusuri jalan satu arah. Meninggalkan Masjid Azhar, melewati Jamiah Banin, Mustasyfa Husain, Pom Bensin di pertigaan jalan, hingga ujung jalan Masyikhah melewati Masyikhah (Kantor Rektorat Azhar) dan belok arah ke kiri hingga bertemu Darul Ifta' kemudian putar arah hingga kembali ke Mahathoh Darosah yang bersebrangan dengan Masjid Shalih Ja'fari. Semua kami yang mengarahkan. Mengikuti arahan GPS yang bersuara itu. Walau sempat salah, dan harus memutar jalan kembali melalui gank kecil, beruntung sopir taxi itu tak marah dan menurunkan kami karena hampir saja tidak bisa mencari jalan untuk berputar arah.

Sampai sebuah pertigaan yang menghubungkan gank dan jalan besar, GPS itu menunjukkan bahwa hanya beberapa menit saja untuk berjalan dari tempat itu. Akhirnya kami turun karena tak mungkin mobil melawan arus. Setelah membayar ugroh (ongkos) sebesar 10 pound, kami pun segera melangkah mengikuti arah itu.

Berkali-kali kak Nida bertanya dan meminta tolong dengan Mishriy yang kami temukan di sepanjang jalan. Bertanya nama jalan dan gank yang ditunjukkan GPS. Berkali-kali pula kami keluar masuk dari gank satu ke gank lain. Bahkan satu gank, yang disana banyak bapak-bapak yang sedang beraktivitas untuk bekerja ikut turut tangan. Kami menjelaskan maksud dari aplikasi yang jelas masih asing bagi mereka. Beberapa dari mereka mau membantu asalkan imarah dan syaqoh yang dituju sudah akid (pasti).

"Musy mumkin ya Ustadz..(tidak mungkin, pak)", berkali-kali kalimat itu muncul. Memang mustahil jika GPS bisa sampai menjelaskan pada imarah nomor berapa, lantai berapa, dan syaqoh ke berapa.

Mulai dari pemilik makhbaz (pabrik dan toko roti), penjaga baalah, tukang cukur, dan bapak-bapak yang lain tak mau kalah untuk ingin tau dan ingin membantu. Walau hasilnya nihil.

"Kita tidak mungkin untuk mengetok satu persatu syaqoh yang ada di imarah ini untuk memastikan dia pelaku atau bukan. Ini bukan adab dan hak kita untuk menggeledah orang. Bahkan kalaupun itu saudara juga bukan hak kami untuk menggeledah".

Jelas sudah. Tidak mungkin kami mendapatkan handphone itu sekali pun ada di sekitar kami. Orang-orang Mesir yang sejak tadi antusias membantu tidak akan mampu mungkin mengetuk satu persatu syaqoh yang ada di imarah itu.

"Kalau mau panggil syurthoh (polisi). Kamu kasih limapuluh atau seratus. Dia yang punya hak untuk menggeledah", usul seorang bapak yang nampak sangat bijak.

Tak perlu lama. Kaki kami segera berjalan menuju jalan besar. Keluar dari gank tersebut. Memanggil polisi hanya satu-satunya cara. Tiba-tiba salah satu bapak yang sejak tadi membantu kami tak mau kehilangan kesempatan. Dia seorang sopir taxi yang seketika menawarkan mobil nya yang terparkir tak jauh dari situ.

Hanya sekitar 200 meter dari tempat kami naik taxi itu, kami sampai di sebuah kantor pusat polisi yang cukup besar. Sepuluh pound kami keluarkan lagi. Disana banyak polisi yang berseragam ataupun tidak. Seketika mereka antusias saat melihat wafidat yang datang meminta tolong dengan penjelasan yang sangat gamblang dari kak Nida. Akhirnya setelah mampu meyakinkan mereka, kami pun naik taxi lagi berempat yang sengaja menunggu kami.

Polisi itu meminta handphone kawan Malaysia kami yang dengan jelas menunjukkan lokasi handphone ku berdasarkan GPS. Setelah diskusi dengan kawan-kawan nya, akhirnya dua dari mereka yang berpakaian kemeja berlengan panjang dengan handy talky yang digenggam tak meragukan bahwa beliau adalah petugas keamanan. Justru dengan tanpa menggunakan seragam akan lebih memudahkan pencarian.

Ada sedikit kekhawatiran pada kami. Dua polisi yang menggunakan motor Vespa itu berjalan di belakang taxi kami. Memegang handphone kawan Malaysia itu, yang kami berharap besar tak akan terulang kejadian yang sama.

Sampai di tempat semula, polisi beraksi. Penduduk sekitar yang sejak tadi membantu kami pun turut menyaksikan aksi mereka. Layaknya detektif yang sedang menyelesaikan sebuah kasus besar yang tak ada yang mampu menyelesaikan kecuali mereka. Masuk gank dan keluar kembali. Masuk gank lain, naik ke sebuah imarah, tak lama turun kembali. Terjadi beberapa kali dan di beberapa gank serta imarah. Kami hanya diam setengah kagum penuh-penuh harap. Jangankan kami ajak mengobrol, bertanya sepatah katapun kepada kami sepertinya sudah tak mereka perlukan.

"Lau samah, sa'ah kem? (Permisi, jam berapa ya?)", Suara seorang ibu yang sedang berjalan dan melewati dua polisi yang nampak sedang serius itu memecah keheningan.

"Sa'ah khamsah", jawab polisi itu setelah mengangkat salah satu alis nya karena kaget. Tawa yang tertahan tak lama terlepas setelah ibu itu beranjak melangkah kan kaki.

"Astagfirullah.." , tawa kita pun menyusul saat ibu itu dengan ringan melangkahkan kaki dengan anaknya meninggalkan kami setelah mendapat jawaban. Para bapak yang sejak tadi berdiri dekat kami pun tak kalah menahan gelakak tawa.

Saat sang polisi begitu serius dan tampak sedang berfikir keras, hening, tiba-tiba dia datang tanpa menyadari siapa yang ditanya dan sedang apa orang yang ditanya itu. Setelah kami cukup puas tertawa, dua polisi itu hanya saling bertatapan dengan memberi balasan senyuman. Mereka pun larut dalam pencarian. Masih menggunakan handphone kawan Malaysia itu.

Imarah terakhir yang dimasuki oleh polisi itu tepat sekali di depan imarah yang akan menjadi syaqoh baru ku. Tepat sekali. "Jika pelaku itu benar tinggal disitu, apakah aku harus bertetangga dengannya? Kabar baik atau buruk kah ini?"

Syaqoh yang sudah aku bayar dengan tiga temanku sejak dua bulan sebelum kejadian itu, pagi itu aku datangi dengan niat ingin dibersihkan sebelum kami pindahan. Sore hari ternyata aku kembali kesitu dengan keperluan dan kasus yang tak terduga.

"Kamu kan yang mau tinggal disini kan?", Pertanyaan itu muncul seketika oleh salah seorang bapak yang bekerja di bawah syaqoh kami. Karena kak Nida pagi itu juga menemaniku ke tempat itu, jadi untunglah bukan aku yang ditanya.
Karena aku yakin pasti akan bingung harus menjawab apa.

Orang Mesir yang memang dikenal sangat pandai mengenali orang sekalipun menggunakan cadar membuat kita jadi sangat mudah untuk diawasi. Walau mungkin ada juga keuntungan yang bisa kita dapat dari sana. Tapi tetap saja rasa was-was sering kita alami.

Sudah berkali-kali dua polisi itu naik dan turun di beberapa imarah. Dan tak ada kabar baik sedikitpun. Lebih tepatnya polisi itu tak mau mengetuk satu per satu syaqoh yang ada di imarah yang sangat mendekati dengan petunjuk GPS.

"Ini sangat sulit. Kita ke gank sana, GPS nya menunjukkan ke arah imarah sini. Saya kesini dia menunjukkan ke seberang. Sedikit-sedikit mudah berubah-ubah. Ini tidak valid"

"Lalu bagaimana?"

"Kalau kamu bisa memastikan imarah dan syaqoh mana pencuri itu, kalian panggil kita lagi. Kita akan dobrak rumah itu"

"Ya Sallam... Apa gunanya kita panggil polisi kalau bukan untuk mendobrak syaqoh-syaqoh itu? Darimana kita bisa tau dan memastikan jika memang pelakunya ada di salah satu syaqoh (apartemen) di antara beberapa imarah di gank ini?", kekecewaan kami dengan dengan kerja polisi yang tampak tak serius itu sudah wajar.

"Ana ta'ban..(aku lelah)", kata salah satu dari keduanya yang aku tangkap sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi dengan pespa mereka.

Nihil. Tak terdeteksi. Tak nampak jejak sedikit pun. Harapan untuk bisa bertemu sudah pupus.

"Ah.. itu hanya bahasa mereka untuk minta dibayar", kata seorang Banin yang akhirnya turun tangan membantu kami.

"Kalau tadi kalian kasih seratus atau dua ratus mungkin dia lebih serius kerjanya. Tapi juga ngga menjamin sampai ketemu"

Dengan usaha terkahir yang kami lakukan aku semakin pasrah, sudah tak berharap lagi untuk kembali. Seorang banin yang tadi sempat sulit dihubungi akhirnya datang. Dengan salah satu aplikasi yang lain masih diusahakan. Dengan mengirim identitas, alamat email, alamat rumah juga kode yang ada pada setiap handphone ke sebuah alamat email yang bisa melacak lokasi handphone itu. Jika memang terlacak alamat email itu akan membalas. Dan itu hanya dalam waktu 24 jam. Jika lebih dari itu, maka sudah tak dapat terlacak lagi.

Awan sudah semakin gelap, adzan maghrib sudah berkumandang sejak tadi.

"Kakak segera pulang. Kalian tak boleh pulang malam kan?"

"Ada sedikit duit di kawan awak"

Tak lama mereka segera pulang menggunakan Uber. Selain karena rumah mereka yang jauh, peraturan untuk wafidat Malaysia memang tak boleh keluar rumah tanpa Musyrif atau pendamping jika malam hari. Rumah mereka yang berada di Manshuriyah diluar Madinah Nasr dan aku sendiri belum tau dimana itu harus ditempuh beberapa jam dengan metro (kereta api).

Aku tak bisa menolak. Uang itu sudah berada di tangan Kak Nida. Dan mereka seketika menaiki Uber yang sudah menunggu setelah mengatakan itu.

"Udah qon. Kamu pake dulu aja uangnya. Nanti diganti kalau udah ada. Ntar aku antar beli"

Kaki kami melangkah ke sebuah masjid yang sudah menjadi tempat peristirahatan juga dars wafidin wafidat. Masjid Ja'fari. Dan aku sangat terkejut saat uang yang diberikan itu sejumlah 1000 pound.
Itu jumlah yang sangat banyak bagiku, walau jika untuk membeli handphone dengan standar handphone lama ku tidak akan cukup. Tapi aku tak tau berapa orang yang mengumpulkan itu.

"Handphone Mesir dapat kalau 1000. Tujuh ratus juga ada"

Aku berusaha optimis saja. Ada sedih dan syukur yang tak terkira. Esoknya aku kabarkan ini kepada ibuku.

"Innalillahi wa Innalillahi rajiaun. Insya Allah diganti yang lebih baik"

Aku tidak mungkin untuk meminta uang lagi di bulan itu. Sudah lebih dari dua kali lipat aku meminta uang dari biasanya karena pindah syaqoh dan membuka syaqoh baru.  Aku katakan jika uangnya cukup dan tak perlu meminta dikirim lagi.
Walaupun bukan sepenuhnya salahku, tapi semua ini pasti diluar kuasa manusia yang lemah dan serba terbatas.

"Masalah nya aku lagi perlu banyak komunikasi dengan adik-adik kelas di Indonesia. Jadi butuh banget pegang hape mas.."

Aku beranikan untuk sedikit menganggu kakak laki-laki ku. Sosoknya yang nampak selalu tenang, sabar dan bersifat dewasa tak pernah menolak untuk mendengar segala kecohan dan keluhan ku. Beberapa hari aku menumpang handphone teman rumahku. Mereka tak keberatan sama sekali. Tapi tetap saja aku merasa sangat mengganggu. Hingga aku jatuh sakit. Pusing. Sakit gigi. Tubuh serasa remuk tak bertenaga. Setiap malam terbangun dan menangis.

Bertumpuk-tumpuk masalah memenuhi kepalaku. Hari-hari itu adalah waktu menunggu turunnya natijah (nilai di kuliah). Aku memikirkan handphone lebih tepatnya banyak hal yang harus dikomunikasikan dengan adik adik kelas. Memikirkan uang 1000 itu, dan pengeluaran yang membengkak untuk keperluan syaqoh baru. Ditambah gigi ku yang sakit menjadi sebab utama pusing yang tak tertolong.

Setelah akupuntur di salah satu klinik milik orang Indonesia, dan aku sampaikan semua keluhan, akhirnya dokter itu menyarankan ku untuk membeli obat herbal untuk gigi. Jika sudah tidak kuat, maka lebih baik ke dokter spesialis gigi.

Selama hampir satu tahun di Mesir baru kali ini aku sakit begitu parah.
Akupunktur yang biasanya membuatku terlepas dari pusing, saat itu sepertinya semakin parah. Aku tidak terlalu peduli dengan gigiku. Karena aku kira bukan itu penyebab utamanya. Hingga beberapa hari, tak ada yang berubah. Obat herbal yang disarankan untuk aku beli di 'Athoroh (toko sembako) sudah kuminum setiap hari.

"Apa penyebab pusing ini? Jangankan untuk berjalan, untuk tidur saja aku tak mampu.."

Hingga akhirnya dokter itu menyarankan agar aku segera ke dokter. Dokter Mesir. Entahlah aku belum pernah kecuali pengambilan darah saja. Rasa enggan bertemu dengan alat-alat pemeriksaan dan bau obat kimia harus ku lawan.

"Alhamdulillah.. Untung saja sakit ini sewaktu liburan kuliah"

Malam itu aku diantar satu-satunya temanku yang tersisa di rumah. Ke sebuah klinik praktek dokter gigi yang mulai buka pukul sembilan malam. Satu jam menunggu. Dan sudah lewat dari jadwal yang ditentukan. Pasien yang sudah mengantri jauh sebelum aku datang hanya berdiam. Menunduk menahan sakit gigi yang tak karuan.

"Sabar ya Jannah.. maafin aku kamu jadi cape nunggu juga", pinta maaf kepada temanku yang sama sekali tak mengeluh untuk mengantarkan ku.

"Janah... Mulutku kayak mati rasa tadi. Ga bisa gerak. Bibirku kaku, miring ke kanan. Aku kira gigiku diputar tau, ternyata dicabut. Ngga kerasa kalau dicabut"

"Iya qon. Ngeri banget. Tapi ga sakit banget kan?"

"Alhamdulillah..langsung lega tau. Udah hilang pusingnya"

Biaya cabut gigi yang cukup terjangkau walaupun tanpa kartu jaminan layaknya di Indonesia, padahal di klinik tempat dokter praktek membuat orang tuaku cukup terkejut. Dokter yang sudah sepuh, ramah dan menjadi langganan wafidin dan wafidat itu tampak sudah sangat berpengalaman untuk menangani hanya sekedar sakit gigi akibat saraf yang bermasalah karena pertumbuhan gigi tidak normal. Perkiraan ku yang hanya diperiksa dan diberi obat ternyata salah. Tanpa berpikir panjang, setelah tau penyebab utama sakit itu solusi nya memang hanya dicabut. Tak perlu banyak cakap, setelah disuntik bius dan beberapa menit menunggu dokter pun beraksi membedah isi mulutku.

Satu kelebihan yang mungkin masih menjadi salah satu jejak adanya Islam. Walau benteng itu telah hancur dan habis, tapi pelayanan kesehatan adalah salah satu yang cukup diperhatikan. Dokter-dokter spesialis di Kota ini sangat banyak di berbagai tempat. Biaya pengobatan di rumah atau klinik tempat praktek pribadi pun sangat terjangkau. Selain itu kita akan mudah menemukan shoidaliyah (apotek) di berbagai tempat. Tak perlu naik kendaraan hanya untuk membeli satu jenis obat. Apotek benar-benar tersebar dimana-mana.

Hanya kalimat thayibah yang terucap lirih dalam hati yang menemani rasa sakit yang tersekat mulut yang dibius.

Sekitar satu Minggu dari itu, sudah ada handphone baru yang aku genggam. Meski bukan handphone bermerk berkualitas bagus, yang terpenting sudah bisa aku gunakan untuk komunikasi dengan orang tua dan adik adik kelas. Selain WhatsApp tak ada yang lebih kuperlukan.

Aktifitas kembali seperti semula. Menghabiskan liburan yang hampir terhitung empat bulan itu bersama -kitab -kitab baru di berbagai majelis talaqi. Hingga pengumuman natijah turun. Atas izin dan pertolongan Allah aku bisa menyandang nilai Jayyid Jiddan.

Tak lama dari itu, pembukaan taqdim minhah (pengajuan beasiswa) tiba. Pengajuan berkas bisa dimulai tanggal 2 bulan September. Masih ada sekitar satu minggu untuk menyiapkan berkas berkas yang diperlukan. Selain itu aku harus menunggu visa yang turun. Karena fotocopy visa adalah salah satu syarat wajib.

Seperti biasa jika akhir bulan adalah waktu penghabisan. Uang habis dan kuota internet pun telah habis. Karena terjadi salah paham dalam beli kuota dengan Rashid (pulsa), akhirnya uang sebanyak 70 pound hilang hanya menyisakan
4 rashid yang hanya bisa untuk beberapa kali menelpon. Uang terakhirku yang sudah aku korbankan untuk membeli pulsa itu melayang tak sesuai harapan.

"Innalillahi wa Innalillahi rajiaun"

Hingga pada tanggal 30 Agustus saat aku sudah bisa beli kembali dengan uang pinjaman sebelum esoknya mendapat kiriman dari orang tua, aku membaca pengumuman yang mengatakan bahwa pendaftaran sudah ditutup khusus untuk mahasiswa Indonesia.

Bulan Agustus belum berakhir. Yang seharusnya pendaftaran belum dimulai, tapi karena diajukan sekitar satu pekan lebih awal, dan karena jumlah Mahasiswa Indonesia yang taqdim auraq (pengajuan berkas) sangat banyak membuat pengumuman itu diberikan. Hanya dalam hitungan 48 Jam. Dibuka tanggal 28 dan ditutup khusus untuk anak Indonesia pada tanggal 29 Agustus.

"Tak ada salah mencoba. Apapun hasilnya kak. Setidaknya sudah berusaha.."

Senin, 24 September 2018

Taqdir Terbaik


"Kak, tidak harus ikut gladi kan? Ana ga bisa soalnya..", siang itu setelah aku pulang dari Hay Asher aku segera menghubungi teman sekaligus kakak kelas ku. Iya sejak aku harus kuliah pada tahun pertama aku berada di negeri ini, semua teman ku selalu aku panggil 'kak, atau mbak'.

Pagi itu aku ada keperluan ke Asher untuk kepentingan dakwah, siangnya aku mengajak sahabat ku, Salma untuk pergi ke Markaz Tahfidz. Rasa cinta terhadap Al Quran yang membuatku semakin dekat dengan-Nya ingin rasanya kuberikan kepada siapa pun yang aku cintai karena-Nya. Yakinlah bahwa kenikmatan yang kita rasakan tak kan rela kita ambil sendiri, melainkan ingin memberikan kepads orang terdekat dan tercinta.

Sudah setahun aku berada di Markaz Tahfidz itu, dan sudah lebih dari setengah Al Qur'an yang aku setorkan kepada para Syaikh, Ustadz, dan Ustadzah di Markaz itu. Dan aku ingin sekali kebahagiaan ini kubagi dengannya.
Setelah melakukan pendaftaran, menulis dan membayar uang 50 pound, kami segera mengantri untuk menyetorkan hafalan murajaah kami.

"Iya, gapapa kok.."

"Alhamdulillah..besok acara nya jam berapa? Bajunya gimana?"

"Insya Allah jam 7, pakai jubah hitam dan khimr merah marun"

Usai tahfidz, tepat bakda Ashar aku harus segera melangkahkan kaki ke Fakultas Ushuluddin Banin yang letaknya hanya 10 menit dari Markaz Tahfidz Syaikh Nabil. Hari itu ada dars yang jauh lebih berharga bagiku. Muqaddimah Ibnu Sholah yang membuatku akan menangis jika harus izin walaupun hanya sekali. Mempelajari Mushtholah Hadits yang sejak dulu selalu menjadi hujaman pertanyaan dalam benak ku. Dan aku tak kan rela untuk terlewatkan satu katapun untuk mendengar apa yang Syaikh Aiman sampaikan. Manisnya setiap kalimah yang beliau katakan dengan bersihnya bahasa Arab Fushah membuat kami hanya perlu fokus tanpa harus merasa berat dengan bahasa Amiyah yang sering kita temukan di bangku kuliah.

Pagi harinya, itu hari yang dinantikan oleh semua wafidin dan wafidat dari semua Negara yang berada di Jamiah Azhar. Mereka yang sudah selesai pada tingkat empat akan diwisuda, dan mereka yang mendapat taqdir atau nilai tinggi pada setiap tingkat (satu hingga tiga) akan diadakan sebuah haflah takrim (acara penghargaan) yang diadakan oleh Parlemen Pelajar Wafidin Al Azhar Asy Syarif.

Dan atas kemurahan-Nya, Allah memberikan ku kesempatan untuk mengikuti haflah ini. Sebenarnya aku merasa tak pantas untuk mendapatkan kesempatan ini, hingga aku tiba di dalam ruangan yang besar ini. Mengingat belajar ku yang hanya sekedar nya, ilmu ku yang belum ada apa-apanya. Bisa duduk menggunakan seragam yang sama, dan selendang berwarna emas bertuliskan "Barlemen Thulab Wafidin bil Azhar Asy-Syarif", dan dibawahnya "Mutafawwiqin 2017-2018". Aku serasa mimpi. Acara ini yang didatangi dan disambut oleh Kibar Masyayikh Azhar, dan Rais (Pimpinan) Universitas Azhar, serta para Rektor dari berbagai Fakultas, juga duta perwakilan dari setiap Negara untuk memberikan penghargaan kepada nama-nama yang dipanggil ke atas panggung. Belum lagi jepretan kamera para kameramen dari berbagai media memenuhi setiap sudut ruangan, bahkan di setiap lorong dan ruang kosong. Aku merasa mimpi berada di tempat ini. Bersama orang-orang terpilih yang memang pantas untuk mendapatkan hal ini.

Aku hanya diam melihat teman-teman yang sedang sibuk berfoto dengan berbagai background yang tampak menarik. Tiga jepretan sepertinya tidak puas. Ingin lagi dan lagi. Dengan berbagai pose dan latar yang berbeda. Tak peduli ada belasan atau puluhan pasang mata yang mengawasi. Para Ikhwan yang ada di kursi seberang juga belakang. Menyaksikan tingkah perempuan yang selalu ingin eksis.

Hanya kalimat syukur yang tak dapat terhitung atas segala nikmat-Nya. Bisa diberi kesempatan untuk melahap ilmu di Universitas Islam tertua ini. Berguru kepada orang-orang hebat yang tak sembarangan dipilih menjadi Dosen pengajar.

Bukan karena kepintaran, usaha atau doa ku yang bisa membuat ku ada disini. Semua itu karena doa-doa orang tua dan pemberian dan karunia Allah. Dan aku yakin segala kebaikan yang dilakukan kedua orang tua ku juga menjadi wasilah yang mengantarkanku meraih semua ini.

Walau kebahagiaan itu tak terbendung, rasa bangga dan bahagia itu seolah membuatku tak percaya, tetap saja dalam hati yang terdalam ada bisikkan yang membuatku tetap tenang dan tidak heboh dengan semua kesenangan itu. Aku tatap satu persatu nama yang dipanggil ke atas panggung. Mulai dari yang mendapatkan taqdir Mumtaz, baik dari tingkat satu hingga tingkat tiga. Baik dari Fakultas Lughoh Arabiyyah, Syariah Islamiyah, Syariah Wal Qanun, dan Ushuluddin. Kemudian dipanggil pula para Wisudawan, yatitu yang telah lulus tingkat empat. Semua Negara ada. Mulai dari Spanyol, Nigeria, China, India, Suriah, Palestina, Vietnam, Malaysia, Australia, Sudan, Brunei Darussalam, terkahir Indonesia dan Thailand yang paling banyak. Bukan karena jumlah mahasiswa yang Mutafawwiqin dari dua negara itu yang banyak. Tapi mahasiswa dari kedua negara itulah yang paling antusias untuk mengikuti takrim ini. Rela lelah megantre saat mendaftar dan juga bersabar menunggu hari yang dinanti. Padahal sejatinya tidak ada sedikit pun kewajiban untuk mengikuti ini. Namun karena ini adalah haflah pertama kali yang diadakan oleh Parlemen Wafidin Azhar Asy Syarif, maka wajar jika tak sedikit yang antusias untuk mengikuti.

Sebelum nama-nama itu dipanggil, beberapa Duktur atau Rektor memberi sambutan. Ada salah satu dari mereka yang menyatakan kebanggaannya kepada mahasiswa Wafidin, karena mereka adalah duta negara untuk membawa risalah Islam ke seluruh dunia. Beliau mengatakan ada sekitar 130 Negara yang memiliki mahasiswa di Al Azhar Asy Syarif. Dan total seluruh mahasiswa non Mesir atau biasa disebut Wafidin dan wafidat sekitar 33000. Sungguh jumlah yang sangat menakjubkan.

Setelah mahasiswa yang meraih taqdir Mumtaz selesai dipanggil, maka berikutnya satu persatu diesbut nama para Wisudawan yang mendapat nilai akhir Imtiyaz  (Mumtaz) dan Jayyid Jiddan 'ala martabtish syaraf. Mereka yang menggunakan selendang hijau, baju toga yang nampak sangat besar serta topi khas wisuda yang berwarna hitam persegi lima itu nampak sangat wibawa walau sederhana. Tentu bisa mempertahankan prestasi hingga tingkat terkahir tidaklah mudah bagi siapapun. Karena semakin tinggi tingkat belajar nya, semakin banyak dan berat pula maddah kuliah nya. Takhasus terutama untuk yang mengambil Fakultas Ushuluddin pasti lebih menguras tenaga serta pikiran. Apalagi Banin yang dikenal lebih tinggi angka kesulitannya dibanding Banat.

Tak banyak yang bisa mendapatkan   nilai ini, sekalipun dari berbagai Negara pasti memiliki nama-nama yang dipanggil dari kalangan mereka. Berbagai macam warna kulit, paras muka, dan bahasa disatukan dalam naungan Al Azhar Asy Syarif ini. Setelah habis nama-nama para wisudawan yang Mutafawwiqin itu dipanggil, maka berikutnya adalah Mutafawwiqin dari tingkat satu hingga tiga yang mendapat taqdir Jayyid Jiddan. Tentu jumlah nya juah lebih banyak lagi. Dan lagi-lagi Indonesia serta Thailand yang memborong nama-nama itu. Satu per satu teman dan kakak kelas ku yang duduk di samping kanan kiri, depan dan belakang, banat dan banin maju ke depan. Setelah nama lengkap mereka, serta asal Negara disebut kan mereka harus segera berjalan ke atas panggung untuk menerima syahadah dari Parlemen Wafidin Azhar oleh panitia yang sudah berdiri berjam-jam disana. Bersalaman dan berfoto dengan Syaikh atau Syaikahah yang sudah rapi berdiri di atas panggung.

Dari situ aku sudah mulai tak tenang. Bukan karena namaku tak dipanggil-panggil, lebih tepatnya jika aku harus dipanggil dan maju ke depan mengambil syahadah itu kemudian akan ada banyak kamera yang akan menangkap ku berfoto bersama salah satu atau beberapa syaikh. Walau tidak menutup kemungkinan yang akan memberikan syahadah itu adalah Dukturah/Syaikhah yang hanya ada satu dari enam atau tujuh Syaikh yang ada di atas panggung itu.

"Bukan kah itu termasuk ikhtilat?" Batinku bergeming. "Mengapa mereka mengganggap biasa saja berfoto dengan yang bukan mahram? Apalagi jika sampai terkesan atau tertangkap kamera dalam keadaan berdua?.."

Hingga pukul satu siang, sang pembawa acara menghentikan acara sejenak untuk istirahat dan shalat Dzuhur. Mayoritas teman-teman ku, baik yang jurusan Syariah, Lughoh Arabiyyah dan Ushuluddin sudah dipanggil satu persatu. Mereka yang duduk di kanan kiri ku, depan dan belakang ku sudah memegang kertas syahadah berwarna merah. Kebanyakan adalah teman setingkat, tapi kakak tingkat pun tak sedikit duduk di beberapa kursi belakang kami.

Ruangan itu semakin sepi, karena kebanyakan bergegas untuk melaksanakan sholat Dzuhur. Aku dan Kak Farah segera keluar mencari hamam Li sayyidat.

Setelah berwudhu dan kembali menggunakan kain kuning emas itu, kami segera mencari musholla yang terletak tak jauh dari tempat berwudhu. Sempit sekali. Tapi beruntung saat kami kesana sedang sepi. Hanya ada beberapa sayyidat saja yang sedang shalat dan hampir selesai.

Sudah pukul dua siang. Dan saat ini nama-nama yang dipanggil tidak lagi nama-nama mutafawwiqin, baik dari tingkat satu hingga yang wisuda. Nama-nama berikutnya dan tepatnya yang terakhir adalah nama para wisudawan yang tidak mendapatkan taqdir Mumtaz atau Jayyid Jiddan. Mereka dipanggil di urutan terakhir, dan tentu jumlah mereka tak terhitung. Bahkan antar satu dengan berikutnya tak dijeda sedikitpun layaknya nama-nama mutafawwiqin, sehingga membuat barisan di jalan menuju panggung hingga atas panggung penuh. Mereka seperti mengantre untuk mendapatkan sesuatu yang sangat berharga. Berbeda dengan nama-nama mutafawwiqin yang dipanggil satu per satu hingga di atas panggung hanya ada satu orang saja sehingga begitu nampak.

"Qonita. ..ana laper..", keluh Kak Farah yang duduk di depan ku.

"Hmm. Iya kak sama. Udah jam dua  pantesan udah laper banget"

"Ga ada snack ya?"

"Katanya sih ada tapi udah habis. Adanya teh..", balas ku memelas.

"Kata siapa?"

"Tadi kata temen ana, mau keluar aja yuk kak.."

"Jauh ga sih? Ehh..tapi kamu belum dipanggil kan?"

"Iya belum."

"Yaudah jangan keluar dulu"

Kak Rahmi. Salah satu teman ku yang mendapat kan beasiswa Azhar tinggal di Madinah Buuts mengerti seluk beluk acara ini. Dan dia pun mendapat nasib yang sama dengan ku. Nama kami belum dipanggil, padahal dia sendiri adalah salah satu pengurus di Parlemen Wafidin Azhar untuk bagian Banat. Saat aku menyerahkan berkas pertama kali untuk pendaftaran ini juga ke beliau.

Anak Aceh yang sangat ramah ini nampak begitu tenang, walau tak dipanggil-panggil namanya. Padahal dia berada di urutan sangat awal, dan sudah terlewatkan oleh puluhan atau ratusan nama-nama mahasiswa/i yang lain.

"Alhamdulillah.. malah ga maju. Malu ke depan", katanya begitu santai saat aku tanya.

Maklum kan banyak sekali yang harus dipanggil. Ada satu lagi teman kami yang sama-sama tingkat satu Ushuludin yang nampak begitu resah dan kecewa saat namanya tak terdengar.

"Ini kan udah nama-nama mutakharijin non mutafawwiqin yang dipanggil, jadi kita ga akan dipanggil lagi", tambahnya meyakinkan.

"Kayaknya mereka juga sama kayak kita kak", kataku sambil menunjuk beberapa mahasiswa berwajah hitam setengah sawo matang. Berjenggot tak terlalu lebat. Layaknya wajah-wajah pemain figur di Film Hollywood. Wajah-wajah India, yang duduk beberapa kursi di depan kami.

"Iya kayaknya, mereka lapor ke Ustadz itu. Yaudah kita kesitu yuk..", ajaknya memebri solusi.

"Iya kak itu Ustadz yang sewaktu itu di Parlemen yang ngurus penyerahan selendang itu"

Kami pun berjalan mendekati segerombolan mereka, dan menjelaskan sedikit maksud kami kepada Ustadz itu. Tanpa panjang lebar beliau sudah faham, karena nasib kami sama dengan sekumpulan Banin itu. Kami pun diminta menuliskan nama lengkap,  taqdir (nilai), jinsiyah (kewarganegaraan), dan firqoh (tingkat).

Kami hanya bertiga. Walaupun sebenarnya pasti masih banyak yang mendapatkan kasus yang sama. Tak lama ustadz itu kembali ke dekat panggung. Nampak dari tempat kami duduk, beliau berdiri di samping pembawa acara yang sedang memanggil nama satu per satu.

Hanya beberapa menit dari itu, satu dua mahasiswa India itu maju ke depan. Dan mereka bukanlah mutakharijin, namun berbaris di antara mutakharijin yang namanya tak habis-habis itu.

"Ahh..lebih baik ga usah dipanggil kak. Yang penting bisa ambil syahadah nya aja Alhamdulillah"

"Iya bener"

Aku semakin tidak kuat dan tidak tenang. Bukan karena itu, tapi perutku semakin panas menahan lapar yang menyiksa. Aku ingin segera memutuskan untuk pulang, tapi disisi lain aku tidak ingin pulang dengan tangan kosong.

"Kak, tadi denger ngga sih ada Duktur yang ngomong yang dapat uang itu Mutafawwiqin semuanya ya? Ana denger alfu junaih dan minhah Azhar?", tanyaku kepada kak Farah yang sejak tadi duduk di kursi depanku.

"Iya. Katanya yang Jayyid Jiddan seribu, yang Mumtaz duaribu"

"Masa sih?", tanyaku tak percaya.

"Nah itu masih dipertanyakan. Mana mungkin jumlah sebanyak ini", jawabnya tak yakin.

Itulah yang menjadi alasan bagiku mengikuti haflah ini. Jika memang ada rezeki yang didapat, apa salahnya? Banyak kitab yang sedang kuimpikan untuk segera dibeli. Ada nazar yang ingin segera kuselesaikan jika ada rezeki lebih.

"Tetap jangan berharap pada manusia. Nanti yang ada malah sakit hati", bisikku pada diri ini yang masih terus bertanya-tanya kebenaran informasi.

"Entahlah ana juga kurang faham. Kalaupun ada mungkin seribu itu dibagi semua yang dapet Jayyid Jiddan", jawaban Kak Rahmi saat kuberi pertanyaan yang sama. Semakin meragukan.

"Sudahlah pasrah saja", batinku menguatkan diri sendiri. "Semoga ada ilmu dan pengalaman baru dari sini"

"Kak, itu kak Nida sama temannya, kakak tingkat kita Ushuluddin juga maju ke depan", kataku sambil menunjuk dua akhwat berkerudung merah yang sedang berjalan ke depan melalui tangga turun. Semakin tertutup oleh ratusan orang yang duduk dan berdiri. Keduanya juga sama seperti kami.

"Belum dipanggil juga mereka?"

"Iya kak. Kesana aja yuk kak, kayaknya mau ambil syahadah nya langsung ke panitia di belakang panggung"

Kami pun segera mengikuti langkah dua kakak itu. Ternyata di dalam salah satu ruangan di belakang panggung itu sudah bergerombol mahasiswa/i dengan berbagai warna kulit. Dari berbagai negara. Semua mendapat kasus yang sama. Mereka melingkari sebuah kursi yang duduk disitu seoang Ustadz berkulit gelap yang sangat ramah. Dengan sabar dan sangat teliti membolak-balik satu per satu kertas syahadah. Ada yang berwarna hijau artinya milik mutakharijin dan berwarna merah untuk mutafawwiqin yang buka mutakharijin.

Kami pun segera melingkar diantara mereka.

"Kalau ada nama kalian atau nama yang kalian kenal, sampai kan", kata beliau sambal membolak-balik ratusan kertas itu. Tak sedikit dari mereka yang rela mengantre hanya untuk mengambilkan punya kawan. Atau sengaja hanya mengambil milik diri sendiri. Dan adapula yang ingin mengambil milik sendiri, justru mendapat belasan nama kawannya. Seorang mahasiswi yang memangku bayi mungilnya duduk di sebelah Ustadz itu. Setiap beberapa kali nama yang tertera dalam syahadah itu disebut, mahasiswi itu selalu mengambilnya. Berwarga negara Brunei Darussalam, dan sepertinya banyak kawannya yang tak bisa hadir.

"Sungguh mulia sekali ibu plus mahasiswi ini", batinku.

Tak lama, namaku pun terpampang. Dan aku segera mengambilnya. Sedangkan kedua kawanku dan dua kakak Kelas yang tadi kami ikuti jejaknya belum mendapatkan nama mereka.

"Kak, afwan ya ana duluan..", kataku berisik di telinga kak Rahmi.

"Iya, gapapa. Hati hati", jawabnya mempersilakan.

Jika bukan karena panasnya perutku yang sudah berteriak-teriak sejak tadi aku tak kan tega pergi terlebih dahulu meninggal kan mereka. Aku sempatkan berfoto dua kali sambil memegang syahadah itu, sekedar untuk dokumentasi dan ingin ku kirimkan ke keluarga ku.

Dalam perasaan yang penuh kebahagiaan itu, aku tetap berbisik dalam hati, "Ini semua hanya penghargaan dunia dan penilaian manusia yang hanya bersifat sementara dan tak selalu benar adanya. Jika hanya ini yang kita harapkan, betapa sia-sia segala pengorbanan, kesabaran, begadang, semua lelah dan peluh. Namun jika karena ridho Allah yang kita ingin kan, kita akan menemukan penghargaan yang lebih berharga, lebih mulia, dan pasti kebenarannya. Kita tak akan silau dan berlebihan dalam mendapatkan penghargaan manusia."

Pantaskah diri ini untuk mendapatkan itu, sedangkan ilmu yang dimiliki masih jauh dari yang diharapkan?

Rab'ah, 20.09.18

Sepekan Bersamamu, Jami' Azhar

Malam itu adalah pertama kalinya aku berjalan sendiri, membawa barang yang cukup berat di pundak dan kedua tanganku. Di daerah yang sudah ku kenal tapi masih sedikit asing bagiku. Gank-gank yang banyak, baalah (warung) dengan berbagai jenis jualannya, serta pemukiman yang bervariasi usia dan kualitasnya.

Pindahan itu belum selesai. Dan aku akan segera menyelesaikan. Membawa barang-barang terakhirku dari Hay Asher tepatnya Gami yang aku titipkan selama satu Minggu di rumah sahabat seperjuanganku itu. Mungkin untuk memindahkan barang-barang terkahir itu aku membutuhkan tiga kali bolak-balik karena hanya mengandalkan kedua pundak dan kedua tangan.

Dan penantian itu semakin berat. Menunggu sosok-sosok yang dicinta karena telah terpisahkan sekian lama. Hanya pesan tertulis yang menghubungkan kita.

Malam itu setelah aku selesai masak dan makan di rumah kak Nida, aku langsung bersiap untuk pergi ke Gamalia. Sebuah bagian wilayah kecil di Darosah. Berada sekitar 15 menit dari Masjid Azhar, dan kampus Banin. Rumah baru yang sudah tiga bulan kami bayar namun tak kunjung kami tempati. Namun liburan kuliah tak lama lagi berakhir, maka sebelum kesibukan kembali menguras waktu kami dan sebelum adik-adik Maba tiba, maka kami ingin segera tinggal di syaqoh itu. Banyak yang perlu diselesaikan dan diurus.

Kulangakahkan kaki beberapa menit setelah adzan Isya' terdengar. Sekitar pukul delapan malam. Belum malam untuk ukuran Mesir memang. Tapi untuk ukuran kebiasaan hidup di desaku, di ujung Provinsi Jawa Timur, di Kota kecil pesisir pantai, isya adalah batas waktu untuk segera menghentikan pekerjaan. Waktu untuk segera beristirahat. Bukankah begitu Rasulallah mengajarkan?

Rasa takut itu seolah sirna, karena memang kehidupan di Negeri ini memberi suasana yang jauh berbeda daripada negeri kita. Malam seolah siang dan pagi hingga menjelang Dzuhur bagaikan tengah malam. Sepi. Tiada kegaduhan. Tenang. Tak ada anak-anak kecil yang berlari-lari atau bersepeda menikmati mentari yang memberi vitamin bagi kulit. Tapi malam itu begitu ramai. Layaknya suasana libur hari Minggu pagi di kampungku. Anak-anak kecil berteriak dan berlari saling mengejar. Para bapak menongkrong di tempat-tempat makan melepas lelah kerja seharian. Dan itulah yang membuat menjadi lebih aman walau harus berjalan tanpa kawan.

Setelah aku pamitan, aku pun melangkah dari apartemen itu. Aku sudah berjanji dengan teman rumah ku untuk mulai malam itu menginap di syaqoh kami. Apapun kondisinya.

Sedikit kisah-ku di apartemen sahabatku. Letaknya sangat dekat dengan Madyafah Syaikh Ismail Shadiq Al 'Adawi. Sebut saja syaqqoh yang berada di sutuh, lantai teratas tepatnya lantai empat. Bangunan tua itu mengingatkanku dengan suasana pedesaan di rumah Kakek dan nenek ku pada masa kecilku. Ubin lantai yang masih kecil-kecil, pintu dan jendela yang khas dengan dua buah daun berlubang bagaikan sisir. Lemari-lemari kayu bermodel jadul yang nampak begitu kuat, dan juga model bangunan serta dinding yang menunjukkan bahwa bangunan itu sudah berumur. Setidaknya ada beberapa generasi di atas kami sudah yang  menginjakkan kaki di syaqoh itu untuk hidup dalam perantauan di Mesir ini.

Imarah yang berlantai empat itu, tiga lantai dibawahnya semua mahasiswa yan berwarga negara Thailand. Ada yang sudah berkeluarga, dan ada yang satu syaqoh hanya ditinggali dengan Banin.

Sebenarnya aku enggan untuk beranjak dari tempat itu. Walaupun kami tinggal berdua, dan posisiku hanya menumpang itu pun karena menemani kak Nida, namun aku sangat merasa nyaman. Entah mengapa aku sangat bahagia di tempat itu, bagaimana pun kondisinya. Mengapa?
Pertama, tinggal bersama kawan yang memiliki satu visi dan pemikiran tak akan membuat kita bosan dan sedih. Walaupun satu atau dua kebiasaan kita yang berbeda, tapi selalu saja ada obrolan yang membuat hidup ini menjadi lebih hidup dan berarti. Entahlah begitu banyak hal yang sulit terungkapkan.

Kedua, syaqoh itu sangat strategis di musim liburan panjang ini. Untuk diriku yang terlalu rakus dengan semua fan ilmu yang dikaji dan dikupas tanpa ada habisnya membuat ku betah saja bolak-balik ke Jami' Azhar, Madyafah, Markaz Tahfidz atau Mudaraj yang ada di Kuliyyah Ushuluddin Banin. Setiap hari selalu ada jadwalku untuk bergelut di tempat-tempat itu. Dan kebanyakan memang di siang atau sore hari. Selama aku tinggal beberapa hari di rumah kak Nida, selalu ada hari yang dinantikan. Aku tak perlu lagi menyiapakan waktu paling tidak satu setengah jam dari rumah untuk datang ke Majlis Kajian Qotrunnada, warisan ilmu nahwu yang begitu menggiurkan. Pukul 10.30 pagi harus sudah duduk di tempat itu. Dan hanya perlu 15 menit sebelum waktu itu aku baru mulai bersiap-siap. Sepuluh menit untuk berpakaian dan lima menit untuk berjalan. Aku pun tak perlu lagi membawa tas. Cukup buku dan pulpen di tangan kanan, dan botol minum di tangan kiri. Berjalan lima menit aku pun bisa duduk paling depan di Madyafah Syaikh Ismail Shadiaq Al-Adhawi.

Tak hanya itu, untuk berangkat ke Markaz Tahfidz yang lebih dekat ke Mahathoh Darosah, aku hanya berjalan sekitar sepuluh menit. Tidak lagi harus berangkat sebelum Dzuhur hanya demi mengejar bus Tsmin atau 80 coret yang menjadi satu satunya kendaraan yang mengantarkan kami dari Hay Asher ke Darosah jika ingin menghemat ongkos. Tak perlu tergesa-gesa demi mengejar antrian agar dapat pertama. Di rumah itu, setelah sholat Dzuhur aku masih bisa tenang untuk berdoa dan makan terlebih dahulu. Dan untuk melancarkan hafalan aku pun masih bisa disana tanpa harus duduk lebih awal di Markaz sebelum ramai dengan kawan-kawan lain yang kebanyakan dari negeri sebelah. Thailand dan Malaysia.

Indahnya berada di lautan ilmu sangat terasa. Tak ada lagi uang yang setiap hari harus aku keluarkan untuk ongkos bus yang harganya sudah dua kali lipat dari saat pertama kali tiba di kota ini. Padahal belum genap satu tahun keberadaan ku disini. Tak ada lagi uang yang perlu aku keluarkan untuk membeli roti di makhbaz (toko roti), atau tha'miyah hanya untuk mengganjal perut ketika harus pulang malam hingga pukul sembilan. Cukup mengisi perut dengan makan teratur walau dengan menu apa adanya, setidaknya untuk setiap waktu makan aku tidak lagi terlambat dan bisa pulang pada waktu nya. Jauh lebih hemat. Jauh lebih nikmat. Aku membayangkan bagaimana perjuangan dulu para sahabat, tabi'in, Imam dan ulama yang rela berpanas-panasan, berjalan jauh dan waktunya habis di luar rumah hanya untuk mengumpulkan satu demi satu riwayat hadits.

Ketiga, merasakan indahnya fajar di Rumah Allah yang merupakan warisan tertua peradaban Islam yang gemilang. Iya. Apalagi kalau bukan Jami' Azhar. Sejak renovasi itu telah usai, sekitar bulan Sya'ban sebelum Ramadhan, kemewahan dan kemegahan masjid itu semakin nampak menakjubkan. Setiap doa yang kubisikkan dalam lirih itu selalu membekaskan basah di kedua pipiku. Shubuh yang sejuk. Udara yang begitu segar. Burung yang bertasbih tanpa henti. Jalanan yang masih lengang, dan lantunan adzan dari beberapa masjid yang saling bersahutan. Disusul dengan murattal yang menyentuh bagi siapapun yang mampu memahami kalam-Nya, suasana itu semakin syahdu. Aku teringat sebuah jalan di salah satu kota di negeri kelahiran ku. Kota yang menjadi saksi tumbuh nya tubuh mungil ku menjadi sosok remaja yang memiliki sejuta impi. Manakah Kota itu?

Yogjakarta. Iya. Tiba-tiba aku merindukannya. Jalanan yang berada di sepanjang Mustasyfa Husain, Jamiah Azhar Banin, Masjid Azhar, dan seberang nya Idarah Azhar, serta Masjid Sayidina Husain memutar ingatan ku dengan jalanan Malioboro di pagi butanya. Hanya saja di depan Al-Azhar ini antara jalur kanan dan kiri dipisahkan dengan besi panjang melebihi tinggi tubuh kita. Dalam setiap belasan atau puluhan meter baru ada lubang untuk menyebrang. Hanya saja tak ada satupun warung makanan yang buka atau setidaknya sedang bersiap-siap untuk berjalan layaknya di kanan kiri jalan Malioboro. Justru sebaliknya. Saat subuh sudah hampir tiba, beberapa menit sebelum adzan berkumandang, baalah-baalah (warung kecil) itu segera ditutup. Mulai yang berjualan makanan pabrik, makanan tradisional khas Mesir, atau kue-kue bergengsi yang rasanya tak tertandingi. Fathair atau manisan. Hanya dua warung yang tersisa setiap kali aku berjalan menuju Masjid Azhar. 'Ashir (warung jus) dan warung kopi yang duduk di sana beberapa bapak-bapak paruh baya juga kakek-kakek yang sudah beruban. Menghisap rokok khas Mesir yang bentuknya lebih mirip dengan terompet. Entahlah aku belum memahami cara mereka manghisap asap dari benda itu. Tak jarang mereka hanya sibuk mengobrol dan tertawa, dan terkadang bermain catur, atau kartu yang sudah tak asing lagi bagi kita. Anehnya mengapa mereka tidak mengakhiri semua permainan, obrolan itu saat mereka sudah mendengar adzan yang sangat dekat. Dua masjid agung berada hanya berbeda meter dari tempat mereka duduk bercengkrama. Masjid Azhar dan Masjid Husain yang letaknya hanya berseberangan.

Benar saja kata orang, sesuatu yang istimewa akan menjadi biasa saat sudah terlalu sering mendapatkannya.

Masjid Azhar pada waktu shubuh itu begitu berbeda dibandingkan di waktu siang dan sore hari nya. Jamaah hanya sedikit sekali. Untuk perempuan hanya sekitar lima sampai sepuluh saja. Dan laki-laki nya pun tidak sebanyak saat waktu Ashar.

Mengapa? Pertama, Ya itulah kehidupan mesir, saat subuh itu layaknya waktu tahajud. Hanya segelintir orang yang mau bangun melangkahkan kaki menuju pusat panggilan Rabb Illahi. Beberapa jam sebelum waktu shubuh banyak yang baru saja mulai tidur. Sehingga Shubuh yang merupakan waktu istimewa, dan beberapa waktu sebelum adzan subuh berkumandang adalah waktu terbaik untuk memohon ampun bukanlah menjadi prioritas lagi. Apalagi yang tak memahami keutamaan ini. Aku yakin, Masisir yang tinggal tak jauh dari Masjid Azhar sangatlah banyak. Tak hanya sepuluh atau dua puluh orang saja. Namun entahlah mengapa mereka menyia-nyiakan kenikmatan Allah yang sangat indah ini.

Kedua, kondisi Azhar memang sudah tak lagi seperti dulu. Usai subuh sudah ramai dengan kajian di berbagai Ruwaqnya. Tiada kesunyian dan gelap karena lampu dipadamkan lagi setelah beberapa menit sholat jamaah usai. Kehidupan dimulai, penyelaman ilmu kembali dilakukan, suara-suara yang begitu menyejukkan dari para Masyayikh terdengar menenangkan. Ummat Nabi yang diberkahi pada pagi harinya begitu terasa. Mengisi setiap ruangan yang begitu ramai dengan mahasiswa dari berbagai penjuru negara. Berbagi bahasa dan warna kulit.

Haahh.. semua itu hanya menjadi cerita. Yang aku sendiri pun tak pernah menyaksikannya. Tapi semua kisah itu tetap saja menyayat-nyatat perasaan ini. Apa sebab itu semua? Kenapa ilmu-ilmu yang berserakan dan tersimpan rapi dalam dada para ulama seolah dibatasi, dihalangi, dan sedikit-sedikit dicurigai? Betapa mahal nya warisan Nabi itu. Seolah-olah semua harus menyesuaikan zaman, sedangkan ilmu itu semakin dibutuhkan dan harus dilestarikan tanpa ada batasan waktu.

Di hari yang ketiga, aku sholat subuh disana. Kami bertiga mempercepat langkah kaki. Tak ingin tertinggal dua rakaat sebelum subuh yang ganjarannya sebesar dunia dan seisinya. Sambil menikmati udara yang segar itu, angin yang menggoyangkan khimar dan jilbab kami, lisan kami tak henti sambil berdzikir. Nampak satu dua masisir wajah Asean berdatangan. Berjubah putih atau abu-abu dengan kopyah bulat serta sorban yang dikalungkan di leher mereka. Iya hanya satu dua. Yang mungkin jika dijumlah kan tak sampai dua puluh. Menakjubkan. Padahal aku yakin kebanyakan dari Banin lebih banyak yang memilih tinggal di kawasan kampus dan Masjid Azhar, tapi mengapa begitu sunyi saat subuh seperti itu? Husnudzon saja mungkin mereka sholat di masjd terdekat dari syaqoh mereka. Yang berada di dalam dari Masjid Azhar. Mungkin di Masjid Imam Dardiri, atau Masjid Khadrawi. Cukup husnudzon saja kepada sesama Muslim untuk menghilangkan kecurigaan, lebih tepatnya kekecewaan.

Setelah para jamaah pulang, kami bertiga memilih untuk menetap beberapa menit disitu, menikmati sisa-sisa langit gelap sebelum semburat merah menampakan dua menara indah di dalam Jami' ini. Sambil melantunkan dzikir pagi dan murajaah hafalan Al Qur'an. Di halaman dalam masjid Azhar masih banyak orang yang menikmati fajar itu dengan bercengkrama bersama kawan atau kerabat. Duduk tanpa alas diatas ubin yang lebarnya hampir satu meter.

Tak ada obrolan sedikit pun diantara kami bertiga. Semua mencari tempat ternyaman yang kami inginkan. Tapi kami kompak untuk tidak keluar dari ruangan tempat jamaah sayyidat berada. Aku bersandar pada salah satu tembok besar nan tebal yang menjadi salah satu penyangga masjid itu. Menatap latar Masjid nan putih bersih tanpa debu yang berarti melalui sela-sela kayu yang menjadi pembatas. Ukiran yang indah pada kayu itu tak membuatku sedikitpun terhalang untuk menatap sepuasanya dua menara yang berjajar di sebelah kubah Jami' ini. Membuatku tak henti mengucapakan hamdalah dan tasbih.

"Tak semua mampu menatap indahnya tempat bersejarah ini"

"Cukup duduk disini saat sejuta kesulitan hidup di Kota ini menghampiri silih berganti. Dengan mensyukuri nikmat-Nya yang tak terhitung, beban terasa ringan", bisikku dalam hati.

Beberapa halaman Al Qur'an kubaca, dan beberapa detik aku tak sadar. Memejamkan mata sekejap kemudian terbangun.  Sudah terang. Dan di pelataran itu nan sunyi.

"Dimana Aida dan Nayla? Mereka sudah pulang? Meninggalkan ku sendiri? Apakah mereka tidak melihat tubuh ku yang sebesar ini?", Batinku sambil mengucek mata dan berdiri beranjak mencari mereka.

Tidak ada sandal di rak sepatu itu selain sandal jepit ungu milikku. Segera aku membuka pintu sedikit untuk memastikan apakah ada sandal mereka diluar. Dan ternyata ada. Dua pasang. Aku segera berjalan cepat menuju ruangan khos akhwat yang dibatasi dengan tembok kayu cantik yang tinggi.

"Ya Salaam.. ternyata kalian disini", kataku sambil sedikit tertawa.

"Ehh.. kenapa kak?", Nayla terbangun dengan suara lirih ku ternyata. Tangan kanannya memegang handphone dan kiri nya memegang Qur'an.

"Lalu...apa yang membuat anak ini tertidur?", tanyaku dalam hati tanpa meminta jawaban. "Bukankah handphone sudah cukup untuk menyegarkan kantuk?"

Di sudut lain Aida terlelap dengan menyandar dinding. Tampak lelah dan nyenyak. Aku pun mengajak mereka pulang, karena perutku sudah memanggil untuk minta diisi. Kami pulang tanpa ada sedikitpun yang meminta atau mengusir layaknya hari-hari sebelumnya, saat aku dan Kak Nida menikmati udara pagi di pelatarannya. Kami tilawah bersama, dan aku diberi beberapa pertanyaan tentang i'rab di dalam beberapa ayat Al Qur'an yang kami baca. Baru mendapatkan beberapa halaman kami sudah diusir. Bukan. Tepatnya diminta untuk pulang, karena semua lampu akan dimatikan. Tapi, kata "diusir" lebih tepat untuk menggambarkan kekesalan kami.

"Mungkin karena kami tidak nampak di luar. Kami menetap di dalam ruangan jamaah sayyidat. Hmm..  jadi dengan cara ini aku ngga perlu kesal lantaran diusir", pikirku sambil melangkah keluar.

Masih segar, sepi, dan tetap syahdu. Tetap mengingatkan suasana jalan di Kota itu. 

Esoknya, hari keempat aku sholat disana lagi. Entah setelah beberapa hari kami sholat disana, hari kesekiannya ada beberapa aparat keamanan yang tiba-tiba berjaga tidak seperti biasa. Dalam hatiku, "apakah kemunculan kami yang tiba-tiba, yang membuat aparat keamanan tiba-tiba ditugaskan di pintu masuk lorong Jami' ini?"

"Bukankah pada awal-awal tidak ada? Apakah karena hanya aku dan kawanku berdua atau bertiga yang membuat kejanggalan bagi mereka? Tidak ada jamaah sayyidat wafidat selain kami sesuatu yang perlu dicurigai? Apakah niqob yang kami gunakan adalah sebuah kesalahan? Bukankah niqob menjadi sesuatu yang wajar bagi perempuan di tanah Arab ini? Dan bukankah ia suatu kehormatan untuk Muslimah? Apa yang salah dari kami?"

Entahlah, saat kawanku membawa tas, mereka meminta untuk agar dibuka untuk diperiksa. Dia berkomentar dengan logat amiyyah yang tak perlu diragukan. Mengungkapkan sedikit keheranan akibat kekecewaan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu ada ini.

Dan hari Kamis itu, aku sengaja berniat untuk menetap disitu beberapa jam setelah sholat subuh. Selain karena sedang shaum, sehingga perut ku tak perlu mengeluh lantaran lapar, aku ingin menulis beberapa hal dalam buku spesialku.

"Sudah lama aku tak menulis disitu"

Tak lupa kubawa beberapa pulpen warna-warni serta Qur'an, juga kitab Qatrunada.

"Siapa tau betah, aku bisa sekalian mudzakarah", segaja semua aku peluk dalam genggaman kedua tangan, tanpa membawa tas sama sekali. Tak ingin menambah kecurigaan, yang sebenarnya tak perlu ada.

Aku tak berfikiran sedikitpun jika akan diusir. Seperti hari sebelumnya, aku memilih duduk di dalam. Agar tak ada satupun yang melihatku.

"Kak qonita ana duluan ya..mau ke rumah Sahah", kata Nayla sambil mengulurkan tangan.

"Qonita ana duluan ya, sakit perut. Kamu mau disini dulu?", kata Aida tak lama. Aku balas anggukan ringan.

"Hati-hati.."

Alhamdulillah aku bisa sendiri. Meski agak was-was, aku mencoba tenang. Aku mencari tempat yang tak akan nampak sekalipun ada orang yang membuka pintu. Dan aku optimis tak akan ada yang mengusik rencana ku. Setelah murajaah hafalan, aku mulai membuka buku coklat kecil untuk menulis kan banyak hal yang sudah menari-nari dalam pikiran. Baru beberapa kalimat, tiba-tiba pintu diketuk keras.

"Fii ahad goa?..(ada orang di dalam)"

Aku mencoba untuk tidak menjawab. Tapi percuma ketukan itu sudah diiringi langkah cepat, memeriksa. Memasang mata menatap setiap ujung ruangan. Dan aku pun tertangkap oleh tatapan nya yang tak kubalas walau hanya sekedar lirikan. Petugas keamanan yang berseragam biru itu segera keluar dan menutup pintu kembali. Mungkin dia pikir bukan tugasnya untuk mengusirku. Dia melaporkan ke kawannya yang tak lain semacam tugas kebersihan Masjid. Kudengar langsung percakapan mereka. Tak lama beliau masuk tanpa permisi. Dan aku pun sudah bersiap untuk keluar.

Dengan basi-basi walau tanpa muka sungkan apalagi permisi, beliau mengatakan semua lampu akan dimatikan dan pintu akan ditutup.

"Huuss... gagal semua rencana ku. Belum ada yang kutuliskan, apalagi membaca kitab yang sudah kubawa", gerutuku dalam hati. "Perasaan kemarin aman-aman aja. Kenapa sekarang diusir", fikirku dalam hati. "Oh mungkin kemarin belum sesiang ini. Dan kami pergi memang saat belum waktunya untuk lampu dimatikan", bisikku mencoba berhusnudzon.

Langkahku gontai. Memang tak ada siapapun disana selain diriku dan petugas-petugas keamanan yang tak hanya satu dua itu. Seakan semua pasang mata tertuju pada diriku. Seakan semua menyalahkanku serta mengggap aneh tingkah diri ini.

Benar. Saat ini, seakan masjid adalah tempat privasi. Yang penuh penjagaan ketat, yang dimasuki dengan izin pemiliknya, yang tidak terbuka di setiap waktu, dan tak bisa berlama-lama disana. Sampai kapan kah akan seperti ini? Dan bagaimana agar Azhar bisa kembali seperti dulu seperti kisah-kisah di zaman kegemilangan Islam? Menjadi pusat ilmu yang tak kan sunyi pukul berapa pun, terlebih di waktu yang sangat utama untuk meraup keberkahan. Menjadi tempat nyaman untuk bermunajat tanpa ada rasa was-was dan buru-buru.

Sepekan bersamamu menuntunku tuk bersyukur atas nikmat yang tiada tara, dan sepekan bersamamu meninggalkan jejak besar. Kesedihan dan rasa kecewa yang entah akan terobati sampai kapan.

Darosah, 24.09.18

Kamis, 30 Agustus 2018

Kepribadian Muslimah Pengemban Da'wah

Da’wah merupakan kewajiban yang Allah bebankan kepada setiap Muslim dan Muslimah baligh yang telah mendapatkan taklif hukum. Ia merupakan aktivitas mulia yang ditempuh oleh para Nabi dan Rasul untuk menyampaikan risalah Illahi berupa ajaran tauhid dan syariat-syariat yang diperintahkan. Menjadi pengemban da’wah  tentu tidak harus berada di atas mimbar, atau setelah selesai mendapat gelar Lesenci, Sarjana Pendidikan Islam, Magister, Doktor, atau Professor.

Da’wah? Suatu kewajiban yang akan terasa berat jika seorang pengemban da’wah tidak membekali dirinya dengan ilmu dan akhlaq, sifat serta perilaku yang khas. Betapa banyak orang yang memiliki segudang ilmu dalam dadanya, dalam tulisan-tulisannya, dalam otaknya, namun karena kegagalan dalam berakhlaq dan berperilaku dalam kesehariannya, maka ilmunya itu seolah-olah menjadi sia-sia, karena hanya terpendam dan tersimpan dalam benaknya, dan tak ada orang yang mau meneladaninya atau ingin menadah ilmu Islam darinya.

Dalam ranah kehidupan Muslimah, banyak sekali akhlaq, sifat dan perilaku yang harus dimiliknya dalam setiap langkahnya, bahkan dalam setiap hembus nafas dan detiknya harus sangatlah diperhatikan. Perlu diingat, pengemban da’wah tetaplah manusia biasa. Ia tak seperti para Nabi dan Rasul yang ma’shum dari kemaksiatan, dan bukan juga malaikat yang tak pernah salah dan durhaka sekalipun. Yang setiap saat bertasbih memuji-Nya dan tak lelah dalam ketaatan kepada-Nya. Manusia biasa tentu memiliki potensi untuk melakukan kemaksiatan dan berbuat kesalahan, tapi bukan berarti alasan itu menjadikan seorang Muslimah yang sudah baligh beralasan untuk meninggalkan da’wah. “Memperbaiki diri terlebih dahulu, baru merubah orang lain. Menyempurnakan segala kekurangan dlam diri terlebih dahulu, baru berdakwah kepada orang lain”, itulah alasan yang sering dilontarkan untuk menghindari kewajiban mulia ini. Lalu apakah dengan meninggalkan perintah Allah ini kekurangannya akan menjadi sirna? Apakah meninggalkan kewajiban itu bentuk suatu kebaikan dan jalan meraih kesempurnaan?

Berdasarkan fakta yang bisa dilihat, teladan yang sudah didapatkan, serta pengalaman yang sudah dijalani, seorang pengemban da’wah terutama seorang Muslimah harus memerhatikan perkara-perkara penting dalam keseharianyya yang membuatnya akan menjadi sosok pengemban da’wah yang tangguh, diteladani, dijadikan rujukan, dan ide Islam yang ia bawa selalu didengarkan serta diyakini kebenarannya.

Pertama, ia harus menjadi sosok yang dikagumi sehingga menjadi teladan. Dalam ranah publik, yaitu dalam rumah baik itu di keluaraga, sanak saudara, asrama, kontrak atau kost-kostan, dalam menjalankan aktifitas keseharian seperti ibadah yang hukumnya wajib, ia harus menjadi orang yang memulai dan mengajak. Dalam hal ini jika Muslimah maka cakupan yang menjadi mad’u atau orang yang diajak baginya tentu sesama Muslimah, yaitu saudara atau teman-teman terdekatnya. Ia tak lelah mengajak dan mengingatkan dengan cara yang lembut, dengan penuh kedekatan, kasih sayang dan penuh pengertian. Misalkan dalam sholat-sholat fardhu. Saat adzan sudah berkumandang ia segera menghentikkan aktifitasnya, dan bersiap untuk memenuhi panggilan-Nya. Tak hanya menjadi yang pertama dalam mengajak, namun ia harus menjadi pertama kali yang bergerak. Dalam ibadah-ibadah yang sunnah ia pun menjadi pionir. Tak malas, melupakan dan meremehkan amalan-amalan sunnah atau nafilah yang ia mampu melakukannya. Seperti sholat sunnah rawatib, sholat dhuha, sholat tahajjud dan witir, puasa sunnah dan lain sebagainya, sesuai dengan kesanggupan yang ia miliki. Berbeda dengan yang fardhu, jika amalan sunnah ia tak perlu banyak mengingatkan atau mengajak dengan perkataan. Jika seorang da’iyah itu mampu secara istiqomah, bahkan hampir tak pernah terlewat dalam melakukan amalan-amalan nafilah tersebut, walau tidak banyak maka itu sudah cukup untuk menjadi teladan bagi mad’u yang tinggal atau bergaul dengannya. Ia menjadi sosok yang khas jika selalu menjaga kerutinan dalam menjalankan sunnah Rasul. Tentu, dalam segala amalan dia tetap hanya meniatkan Lillahi Ta’ala, bukan pandangan atau pujian serta penilaian orang lain. Tapi saat ia benar-benar semata-mata karena Allah, termasuk mengajak dan memberi teladan karena Allah maka menjadi sosok yang dikagumi dan diteladani menjadi sesuatu yang lumrah. Yang akan muncul sendiri tanpa ada pemaksaan yang dibuat-buat.
Tak hanya dalam masalah ibadah mahdhoh atau ibadah ritual saja, tentu dalam aktifitas utamanya selain itu ia pun selalu unggul. Dalam dunia ilmu, baik dalam bangku sekolah ataupun kuliah, baik formal maupun non formal. Dalam menuntut ilmu ia harus menjadi sosok yang serius, sabar, dan sungguh-sungguh, tidak meremahkan ilmu apapun, senantiasa menghormati guru atau dosen, serta mengerjaan semua tugas-tugasnya dengan sebaik mungkin. Dengan keseriusan dan kesungguhan ia dalam belajar, tentu ia akan berusaha menjadi sosok yang berprestasi dalam bidangnya, karena ia memahami bahwa Islam selalu mendorong ummatnya agar senantiasa memuliakan ilmu dan orang berilmu, maka prestasi yang ia kejar dan raih itu semata-mata hanya ingin menjalankan apa yang Islam perintahkan. Dengan prestasinya itulah, seorang da’iyah akan menjadi orang yang semakin dikagumi dan diteladani.

Kedua, memiliki akhlak yang mulia dalam kehidupan sehari-harinya. Berkahlaqul karimah merupanan salah satu perintah Rasulullah kepada ummat-nya. Dengan begitu, seorang pengemban da’wah akan selalu berusaha menjadikan setiap aktifitasnya sesuai dengan syari’at Islam. Karena pada hakikatnya, akhlak yang baik itu akan nampak saat seseorang melakukan aktifitas atau perbuatan dalam hidupnya. Ia senantiasa terikat dengan hukum syara’ yang sudah menentukan hukum pada setiap perbuatan. Jika haram maka ia tak akan melakukannya, jika wajib ia akan melaksanakannya tanpa terkecuali, jika makruh ia akan menghindari, jika sunnah ia akan memperbanyaknya, dan apabila mubah maka ia akan memilih sedikit saja darinya, atau bahkan meninggalkannya jika tidak ada keperluan atau justru melenakan.

Akhlaqul karimah yang perlu dicerminkan oleh seorang pengemban da’wah anatara lain gaya hidup yang sederhana, tidak hedonis, dan tidak suka berlaku boros dalam memenuhi kebutuhan bahkan hanya sekedar keinginan serta nafsunya. Harta yang dimilikinya selalu dibelanjakan di jalan yang halal dan thayyib. Mudah merasa cukup terhadap hal-hal diluar keperluan. Seperti mengoleksi jilbab dan khimar secara berlebihan padahal yang sudah dimiliki sudah lebih dari cukup. Hanya mau makan dengan menu yang mahal dan diatas standar kebiasaan kebanyakan orang. Membeli kosmetik yang tidak diperlukan atau bahkan dapat menjerumuskan dengan kesia-siasaan, seperti menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk berdandan, selalu ingin tampil menarik saat berada di luar rumah atau kehidupan umum, atau bahkan bisa terjerumus pada tabarruj.
Hidup sederhana bukan berarti hidup serba kekurangan. Namun, ia merasa cukup dengan apa yang dimiliki dan tidak mudah terbawa dengan trend-trend yang membuatnya menjadi pribadi yang hedonis.

Selain hidup sederhana, seorang pengemban da’wah seharusnya sangat dekat dengan Al-Qur’an. Ia menjadikan mushaf sebagai sahabatnya yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi. Lisannya tak lelah melantunkan ayat-ayat Allah baik itu tilawah, mengahafal atau murajaah hafalan. Al-quran baginya sudah cukup mengisi hatinya, menghiasi lisannya, dan menjadi obat bagi kesedihannya atau kegelisahannya. Ia memiliki target yang istimewa untuk Al-Qur’an. Tidak hanya membaca, namun menghafal, mentadabburi dan memahami hukum-hukum yang terkandung di dalamnya dengan membaca tafsir sehingga akan mendorongnya untuk mengamalkan apa yang sudah ia fahami.

Ia juga sosok yang sangat hati-hati dengan waktu. Bersifat pelit untuk terbuangnya waktu dalam aktifitas yang tidak menghasilkan pahala baginya. Sehingga ia senantiasa disibukkan dengan kebaikan dan kebaikan. Jauh dari aktifitas yang hanya sekedar hiburan tanpa ada nilai yang bisa didapat. Ia menjadikan setiap jam bahkan menitnya dipadatkan dengan ilmu, ibadah, Al-Quran, membantu orang lain, dan menjalanakan semua amanah, janji serta kewajibannya. Maka keresahan baginya bukan saat ia tak bisa mengikuti kebanyakan temannya mengahbiskan waktu untuk menonton film tanpa ada ilmu yang bermanfaat disana, jalan-jalan ke tempat wisata untuk dipamerkan di akun sosmednya, atau shoping ke mall untuk mencuci mata. Justru sebaliknya, ia akan resah, sedih dan menyesal jika waktunya terkuras tanpa ia sadari dalam aktifitas yang melenakan, yang tak mampu menambah ilmu dan ketaqwaan. Dan disaat ia mulai bosan dan lelah dengan aktifitasnya yang itu-itu saja, maka ia akan berpindah dari satu amalan ke amalan lain. sehingga ia akan semangat tanpa harus meninggalkan target yang sudah ia rancang. Hal ini tak lain lahir karena kesadarannya bahwa segala gerak-geriknya diawasi oleh malaikat pencatat.

Tak hanya itu, ia juga merupakan sosok yang senantiasa tawadhu’, karena Allah sendiri telah memerintahkan hamba-Nya untuk tidak congkak serta sombong terhdap orang lain. Bentuk ketawadhuannya itu ia cerminkan dengan tidak meremehkan orang lain, sekalipun mungkin dalam usia ia lebih tua, secara level dalam belajar ia lebih tinggi, secara kecakapan dalam berbicara dan pengalaman ia lebih utama, atau dalam kemampuan menghafal Al-Quran dan hadits dan menangkap ilmu baru ia lebih cepat, tapi ia senantiasa melihat orang lain dari kelebihan yang dimiliknya. Seberapun banyak kekurangan atau kelemahan orang lain di sekitarnya, ia tak pernah menjadikan itu sebagai alasan baginya untuk bersikap tinggi hati dan suudzon (prasangaka buruk) kepada orang lain tersebut.

Bentuk tawadhu’ itu juga harus ia cerminkan dengan tidak suka menyebut-nyebut dan memperhitungkan usaha dan kebaikan yang sudah dia lakukan. Walaupun pada suatu sisi, memang usaha keras dan pengorbannya lah yang menjadi salah satu wasilah tercapainya prestasi atau kesuksesan dalam hidupnya. Ia tetap selalu mengangap bahwa usahanya tak kan berarti tanpa ada pertolongan serta kemurahan Allah yang diberikan kepadanya.

Sifat tidak sombong yang tercermin pada dirinya itu juga nampak saat ia mendapat teguran, nasehat atau kritik saat ia melakukan kesalahan. Jika memang dia bersalah, maka ia tak akan segan untuk mengakuinya, meminta maaf, memperbaiki dan berjanji tidak akan mengulangi. Walaupun kesalahan itu tidak disengaja atau sangat jarang ia lakukan, namun tinggi nya ilmu, besarnya usia atau pengalamannya tak membuat matanya tertutup untuk melihat kesalahan yang ia lakukan.
Selain sifat tawadhu’, ia juga selalu menghiasi dirinya dengan sifat malu. Malu untuk meminta orang lain sedangkan dia mampu membeli atau memilikinya. Malu untuk mengeluh padahal keluhan kepada orang lain tidak akan memberikan ia solusi. Malu untuk berharap belas kasih dan uluran tangan orang lain sedangkan dia bisa menahan itu semua. Ia pun malu saat tidak bisa menggunakan waktunya untuk kebaikan yang berpahala, atau membeli sesuatu yang syubhat apalagi haram. Ia pun juga akan merasa malu saat mudah sekali tersulut emosinya, sedangkan ia tak perlu marah dalam menghadapi sebuah perkara yang sedang dihadapi.

Disisi lain, saat ia senantiasa menutup wajah dan tangannya untuk meminta dan berharap kepada pemberiaan orang lain, ia justru menjadi sosok yang sangat senang berbagi dan memberi. Apa yang dimiliknya tak ingin hanya ia nikmati sendiri. Justru saat orang lain membutuhkan, sedangkan ada banyak teman yang sebenarnya lebih bisa membantu, ia tetap berusaha untuk menjadi paling pertama bergerak menolong teman tersebut. Ia merasa puas dan bahagia saat apa yang dia miliki bisa membantu kesulitan orang lain.

Akhlaqul Karimah juga ia cerminkan dengan bencinya ia dengan segala bentuk kemaksiatan. Karena rasa takut terhadap ancaman dan balasan Allah bagi pelaku kemaksiatan, maka ia akan senantiasa menghindari perbuatan tersebut. Seperti kebiasaan banyak orang yang sudah menganggap biasa ikhtilath, atau campur baur antara laki-laki dan perempuan yang terjadi interaksi antara mereka. Begitu pula khalwat yang sudah menjadi tradisi kebanyakan pelajar atau mahasiswa saat ini. Termasuk khalwat dalam dunia maya, yang seolah tak nampak dan tak mengakibatkan dosa dengan alasan tak bertemu secara langsung. Ia sangat berhati-hati dalam masalah pergaulan, muamalah atau transaksi yang didalamnya terdapat syubhat antara halal dan haramnya, apalagi yang sudah jelas hukum keharamannya.

Ketiga, ia menjadi sosok yang selalu dijadikan rujukan. Setelah dikagumi dan diteladani karena kepercayaan orang di sekitarnya akan ibadah dan prestasinya dalam ilmu, serta   akhlakul karimah yang senantiasa tercermin dalam setiap aktifitas kesehariannya,  maka sudah menjadi sesuatu yang wajar jika teman atau saudara yang hidup dan sering bergaul dengannya akan menganggap bahwa ia pantas untuk dijadikan tempat bertanya dan mencari jawaban atau solusi. Dengan keilmuan dan prestasinyanya itu, ia akan dipandang sosok yang layak untuk mampu memberi jawaban yang memuaskan. Sehingga ketika mad’u itu melihat, atau mengalami kejadian, permasalahan atau ketidaktahuan dalam suatu hal ia akan segera meminta pendapat dan penilaiann darinya. Sehinnga ia akan memberikan jawaban sesuai hukum syara’ yang selama ini menjadi landasan ia dalam berfikir dan bertindak. Dengan pemahaman dan tsaaqofah Islam yang sudah ia pelajari, maka jawaban dan pandangan itu yang akan ia katakan dalam menjawab hal baru yang ditemukan atau dialami oleh mad’u. Sehingga saat jawaban itu sesuai dengan aqidah Islam dan terdapat nash yang jelas, serta dapat memuasakan hati aqal, maka kepercayaan mad’u yang merujuk kepadanya akan semakin bertambah. Ia tak hanya meyakininya, tapi akan mempraktekkan dan menyampaikannya serta tak akan segan untuk kembali bertanya kepadanya saat menghadapai masalah baru lagi.

Lalu, disaat ia berhadapan dengan pertanyaan yang belum mampu ia jawab karena belum pernah mengkaji atau menemukannya, maka ia akan berkata jujur bahwa ia belum tahu tentang hukum permasalahan tersebut. Namun, ketidaktahuannya itu tetap mendorongnya untuk mecari tahu kepada orang yang lebih berilmu darinya, sehingga ia akan berusaha keras untuk mencari jawaban itu dengan dilandasi dalil-dalil syara’. Setelah menemukan jawaban tersebut, maka ia segera menyampaikan kepada teman yang bertanya.

Keempat, ia adalah sosok yang kritis akan kemaksiatan dan segala bentuk kezaliman yang terjadi di sekitarnya, baik yang menimpa dirinya atau menimpa teman dan saudaranya. Kekritisan yang muncul itu membuatnya gerah dan tak tahan untuk melihatnya, maka ia akan berusaha untuk menyelsaikannya atas dasar amar ma’ruf nahi munkar. Perkara yang sering muncul semisal masalah pergaulan, yang akan sangat sering ia temukan melanggar batas hukum syara’, seperti ikhtilath dan berkhalwat. Saat ia terjebak dalam kondisi ikhtilath, seperti saat ada acara atau rihlah yang itu sangat sulit dihindari, maka ia sangat menyesali dan menjelaskan kesalahan apa yang telah terjadi dalam kegiatan tersebut. Ia berjanji dalam diri sendiri untuk tidak mengulangi hal yang sama. Begitu pula saat hal itu terjadi pada temannya walaupun ia sama sekali tak bergabung, ia akan tetap berani mengingatkan dan menjelaskan bagaimana batasan-batasan interaksi antara laki-laki dan perempuan yang diperbolehkan oleh Islam.

Begitu pula saat ia melihat banyaknya terjadi khalwat di antara teman-temannya, atau bahkan saudara dekatnya sendiri. Karena mafhum yang sudah dimilikinya, maka ia tak akan rela melihat kemungkaran lalu mendiamkannya begitu saja.  Dalam kondisi sedang tidak ramai, atau dengan kata lain berdua saja dengan pelaku kemungkaran itu, ia akan tabayyun terlebih dahulu, kemudian menasehati dengan bahasa yang santun, tanpa ragu menjelaskan kebenaran yang ia fahami.
Selain masalah pergaulan, masalah muamalah juga salah satu yang sering terjadi kesalahan yang melanggar hukum syara’. Seperti pinjam-meminjam, jual-beli, sewa-menyewa, dan utang-piutang, maka ia senantiasa melihat dari sisi bagaiman hukum syara’ mengatur hal itu. Misal dalam jual beli saat ini banyak yang terjadi dua aqad dalam satu transaksi, atau melanggar janji dalam kesepekatan menyewa rumah. Baik dia menjadi pihak yang diuntungkan atau dirugikan, selama itu melanggar syara’ maka ia tak perlu berfikir lama untuk meninggalkannya, meluruskannya, dan menegur siapapun yang bermuamalah dengan jalan yang salah.

Dalam masalah makanan dan minuman yang masih dipertanyakan kehalalannya atau diragukan keharmannya, ia pun akan selalu menghindari. Semua itu termasuk syubhat yang belum bisa terbukti jelas hukumnya. Semisal makanan buatan pabrik yang disana terdapat komposisi yang berkode bahan yang mengandung babi atau minyak babi. Namun, disisi lain makanan itu adalah produksi salah satu negeri Arab, yang notabene adalah salah satu negeri Kaum Muslimin. Selezat, semurah, dan setenar apapun makanan itu, bahkan sekalipun diproduksi oleh seorang Muslim jika kehalalannya masih diragukan, maka ia tak perlu berfikir panjang untuk meninggalkannya. Termasuk juga makanan yang berada di pinggiran jalan, yang harganya sangat terjangkau, padahal bahan utamanaya adalah daging atau sejenisnya dari bahan yang terkenal memang mahal, maka kehalalannya itu masih dipertanyakan. Maka selain meninggalkan semua itu, ia pun tak segan untuk mengingatkan temannya dalam rangka untuk berhati-hati dan mengajaknya untuk berfikir terhadap yang berbau syubhat.

Kelima, ia adalah sosok yang solutif, peka dan peduli. Jika sifat yang ketiga di atas ia adalah sosok yang senantiasa dijadikan rujukan karena ilmunya dan pemahamannya terhadap dalil-dalil syara’ yang dipercaya, ia juga menjadi sosok yang spesial karena perilakunya yang selalu peka dan peduli dengan masalah-masalah teknis yang sering sekali ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, jika seorang Muslimah maka yang paling mudah dijangkau olehnya adalah masalah domestik. Masalah-masalah kecil yang nampak remeh dalam kehidupan rumah atau asrama menjadi perhatiannya yang tak ia anggap sesuatu yang sepele. Seperti masalah saluran yang mampet, sampah yang menggunung, air yang mati, gas habis, beras dan bahan makanan sudah tak tersisa, dan lain sebagainya. Ia menjadi pionir dan orang yang pertama kali berinisiatif untuk mencarikan solusi yang tepat dan cepat. Dengan begitu keberadaannya selalu dihargai dan disyukuri oleh teman-teman disekitarnya.

Keenam, sosok negarawan yang memiliki
pandangan khas serta konsisten. Negarawan tentu tak hanya seseorang yang duduk dalam kursi pemerintahan dan tak harus yang selalu berkiprah dalam memberi kebijakan politik dalam ranah kekuasaan. Sosok negarawan ialah sosok yang senantiasa update dengan kondisi yang terjadi di negaranya juga di neger-negeri kaum Muslimin, dan selalu memiliki penilaian dan pandangan tertentu terhadap peristiwa yang terjadi. Maka seorang Muslimah, walaupun kesibukkan utamanya adalah di dunia kampus, sekolah atau hanya di rumah suaminya, maka sama sekali tak menutup kemungkinan untuk senantiasa tau kondisi atau peristiwa yang sedang hangat di masayarakat atau di pemerintahan. Dari apa yang ia dapatkan itulah ia akan menilai bagaiaman pandangan dan solusi Islam terhadap apa yang terjadi tersebut. Kemudian ia akan menjadikan hal itu sebagai topik pembicaraan dan bahan diskusi bersama teman, saudara atau tetangganya. Mereka meminta pendapat mereka, dan yang terpenting ia akan mengutarakan pandangan dan pemikiran, serta solusi Islam terhadap hal itu berdasarkan nash-nash Al-qur’an, As-sunnah atau sumber Islam yang lainnya.

Kebiasaan ia yang selalu mengaitkan segala hal dengan hukum syara’ yang lahir dari aqidah Islam itu sendiri akan menjadi ke-khasan bagi pribadinya di antara kebanyakan orang di sekitarnya. Ia akan dipandang sosok berbeda dan menonjol, kritis serta solutif dengan segala hal yang terjadi di ranah domestik dan publiknya serta kaitannya dengan kebijakan-kebijakan yang terjadi di ranah kekuasaan. Sehingga pemikiran Islam akan hidup di tengah-tengah mereka. Islam tak akan lagi dipandang menjadi agama yang sempit yang hanya mengatur urusan dia dengan Rabb-nya dalam ibadah-ibadah ritual. Islam menjadi sebuah solusi yang perlu dijalankan atas dasar keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Dengan begitu, opini Islam akan menjadi santapan keseharian bagi orang-orang yang hidup atau bergaul bersamanya. Mereka tak asing bahkan takut lagi dengan hukum-hukum Islam yang sedikit banyak sering disudutkan dalam media-media. Mereka menjadi akrab dengan kata syariah Islam, hukum Syara’, serta nash-nash yang menjadi dasar ia berpendapat. Mereka tak ragu lagi untuk mengutarakan kekecewaan atas segala bentuk kezaliman yang dilakukan oleh siapapun, baik musuh Islam atau antek-anteknya yang sedang memegang jabatan. Mereka pun akan memandang bahwa hanyalah Islam yang bisa memberi jalan keluar yang tuntas.
Saat itulah, opini Islam telah berubah menjadi opini umum bagi teman-teman, saudara,keluarga atau masyarakat di sekitarnya. Kepercayaan atas pribadi yang tercermin dalam akhlak, sifat dan perilaku, juga didukung dengan ketinggian ilmu seorang Muslimah pengemban da’wah ini akan menjadi pintu keberhasilan da’wah Islam. Dan apabila semua hal tersebut bisa direalisasikan oleh setiap individu yang mengaku dan mengikhlaskan dirinya di jalan yang mulia ini, maka betapa banyak orang yang akan tercerahkan dengan Islam yang merupakan agama sekaligus mabda’ yang mampu melahirkan peraturan hidup dalam segala bidang. Betapa banyak orang yang tidak takut dan membenci lagi Islam dan ajarannya, yang merupakan agama yang diantunya.

Tak hanya itu, jika keenam point diatas senantiasa direalisasikan dalam kenyataan, maka betapa banyak pengemaban da’wah yang tak lagi dianggap aneh, dicurigai dengan pandangan-pandangannya yang khas (karena saking jauhnya ummat dengan tsaqofah agamanya sendiri) serta berbeda dari kebanyakan orang, tanpa harus banyak menunjukkan identitasnya dalam organisasi apa ia dididik serta ditempa selama ini. Karena yang ia bawa tak lain hanyalah ajaran Islam yang bersumber dari Al Quran dan As Sunnah, yang semua itu sudah terpendam dalam ruh dan jiwa setiap Muslim secara umum tanpa mereka sadari. Apapun yang dibawa akan didengar dan diyakini selama hal itu sesuai dengan hukum syara’.

Maka kemuliaan ummat ini dengan adanya sosok-sosok pengemban da’wah yang senantiasa mengikuti jejak Rasul-nya dalam bermamar ma’ruf nahi munkar akan segera terwujud.   

Wallahu a’lam bish showab

Selasa, 05 Juni 2018

Selangkah Bersamanya#4

Aku sengaja pulang lebih akhir dari teman-teman ku. Banyak yang harus aku lakukan, terutama mengemas barang-barang yang cukup banyak. Mengumpulkannya menjadi satu. Mengosongkan lemari dari pakaian dan buku-buku. Selain karena urusan itu, aku sengaja agar tidak banyak teman yang tau rencana ku ini. Aku hanya ingin mereka tau bahwa aku hanya meninggalkan pondok kami untuk sementara saja, bukan selamanya. Tapi jika disana aku menemukan yang jauh lebih baik, maka keinginananku untuk tidak kembali pasti akan terlaksana.

Sekitar 4,5 tahun aku berkecimpung di pondok itu. Menghabiskan usia anak-anak hingga aku baligh. Setiap hari dididik untuk semakin mengenal juga mencintai Islam dan ajaran-Nya. Mencintai Islam dan memahami lika-liku memperjuangkannya. Dan memahami kehidupan ini dengan membuang segala keegoisan dan tujuan yang salah dalam menuntut ilmu. Kami dicetak menjadi sosok yang memiliki jiwa kepedulian dan kempemimpinan. Yang peka dengan kondisi sekitar. Tak mementingkan kepentingan pribadi, karena kita semua adalah pemimpin, yang kelak Allah mintai pertanggungjawaban.

Jika perempuan maka kita kelak menjadi pemimpin bagi rumah laki-laki yang menjadi imam kita. Mengurus dan mengatur rumah, melayani suami, mendidik anak dan lain sebagainya. Jika tidak atau belum, setidaknya kita adalah pemimpin bagi diri kita sendiri. Bagaimana kita mengatur hidup ini? Bagaimana kita memanfaatkan waktu? Bagaimana kita sungguh-sungguh dalam ibadah kepada-Nya?

Itulah yang benar-benar tertanamkan dalam jiwa kami. Banyak yang tak mampu tergambarkan atas apa yang telah aku dapatkan. Tapi satu hal ini yang senantiasa Abah pondok kami tekankan. Tak lelah mengingatkan. Tak jarang mengulang-ulang hadits yang bermakna serta berpengaruh besar ini.

"Kullukum ra'in wa kulllukum masulun 'an ra'iyatihi..."

Aku sempat mengobrol dengan Umi pondok terkait rencanaku itu. Sebenaranya niat ku adalah memang pindah, tapi aku hanya izin beberapa bulan saja untuk fokus menyelasaikan hafalan. Dan bagaiamana keputusan akhirnya, akan kulihat sesuai situasi dan kondisi nanti. Peraturan pondok kami yang cukup longgar membuat rencana itu bisa terlaksana tanpa banyak halangan. Justru kami didukung selama itu sebuah kebaikan. Lagipula awal bulan April aku akan ke Jogja lagi, untuk mengikuti Ujian Paket C setara SMA. Berat meninggalkan semua itu. Tapi jika aku terus disitu pun akan terasa berat menurutku. 

Aku pun belum punya gambaran apapun terkait tempat yang telah aku pilih itu. Ustadz yang kami hubungi hanya memberi gambaran jika nanti kami tidak hanya tahfidz, tapi ada pembelajaran yang lain. Bahasa Arab dan Tsaqofah Islam. Dan itu kabar yang sangat baik. Pada awalnya ada tiga teman dan satu Ustadzah yang sebenaranya ingin ikut rencanaku ini. Semua berawal karena keinginan kami yang sama, dan pendapat kami yang sepadan terkait kondisi kami dan sekolah kami. Tapi karena berbagai alasan, akhirnya kami hanya berdua. Amalia. Seorang teman yang seumuran denganku. Anak yang periang, santai tapi kritis. Setidaknya ada teman.

Kisah ini panjang. Penuh lika-liku. Sulit dibayangkan. Tak mudah tuk digambarkan. Sekitar tanggal 25 bulan kedua itu aku pulang bersama satu tas besar berisi baju, tas ransel, dan kardus besar berisi buku-buku. Hampir semua barangku aku bawa pulang. Di rumah aku dan Amalia tak putus komunikasi. Dan aku berkali-kali membicarakan hal ini kepada keluarga. Termasuk uti (nenek) dan kakungku (kakek). Semuanya mendukung, bahkan aku diberi kemudahan dari mereka. Membelikan aku tas, dan beberapa kebutuhan yang lain.

Ustadz dari Griya Quran itu meminta agar kami ditemani oleh orangtua untuk datang pertama kali. Dan akhirnya ibuku yang menemaniku saat pergi itu. Aku tak tega sebenaranya. Tubuh sebesar ini, pengalaman menjelajah ke berbagai tempat apakah tak cukup untuk mengantarakan diri ini sendiri ke tempat itu?

Perjalanan itu menghabiskan waktu sekitar 12 jam. Dengan tiga kali naik bus. Aku sedih. Untuk kesekian kalinya aku tak henti-henti merepotkan dan menyusahkan kedua orangtuaku. Semua hanya untuk mengikuti perkataan dan keinginanku. Namun selama niat itu untuk kebaikan, Allah selalu memberi jalan dengan dukungan orang-oranh terdekatku. Ibuku selalu mengingatkan apapun pilihan dan keputusan yang aku ambil, aku harus siap menerima segala resiko. Tidak mundur saat menghadapi kemungkinan yang terjadi.

Pukul 06.30 pagi, tanggal 5 Maret. Aku, ayah, ibu, dan adikku sudah berada di terminal Lorok. Terminal kecil yang berada di Kecamatan kami. Bus nya bisa dihitung dengan jari. Sedikit sekali. Jika tak tahu jadwal keberangkatan bus disitu, maka harus siap menunggu berjam-jam untuk berangkat. Bus yang berada disitu pun hanya ke dua jurusan. Trenggalek yang berada di Timur Pacitan. Dan Pacitan Kota yang berada di Barat kecamatan kecil kami. Di balik bukit-bukit tinggi. Jurang dan hutan yang rimbun. Memakan waktu hampir dua jam.

Pagi yang masih dingin itu, aku dan ibuku duduk di kursi tepat di belakang sopir. Membawa tas ku yang berat itu. Ibuku yang sudah tak sekuat yang dulu. Walau senyumnya tak pernah berubah. Keikhlasannya tak pernah hilang. Kesabannya tak pernah pudar. Perjalanan itu hanya melewati hutan, bukit, laut yang nampak dari atas. Dan sesekali rumah atau warung yang berada di pinggir jalan. Dibuat tak lain untuk para musafir. Bus kecil itu berjalan pelan. Selain mungkin tanjakan yang cukup curam, mungkin bus itu sudah cukup tua. Ia ingin menikmati indahnya pagi dengan sejuknya udara. Oksigen yang segar dari pepohonan itu. Tak banyak kendaraan yang lalu lalang. Polusi udara pun tak perlu jadi masalah.

Sekitar tiga jam perjalanan, disertai berhenti yang cukup lama untuk menunggu penumpang. Kami pun sampai di Trenggalek. Kemudian mencari bus menuju Malang. Perjalanan sekitar tujuh jam. Ketika senja, kami sudah sampai di salah satu terminal besar Malang. Kami makan bakso yang sejak tadi sudah merasa lapar dan mual karena medan yang lumayan menegangkan. 

Makan bersama ibuku adalah hal yang sangat dirindukan. Apalagi sejak aku tinggalkan rumah untuk merantau ke pesantren. Dan mungkin baru kali itu saja aku makan berdua dengan sosok yang sangat kukagumi itu sejak aku berada di usia SMA. Wajahnya selalu memiliki arti perjuangan. Goresan keikhlasan yang sulit sekali tergambarkan. Penyabar dan pemalu, juga selalu ingin memberi yang terbaik kepada anak-anaknya. Tak pernah menampakkan kesulitan, walau gelombang yang begitu dahsyat sedang dialami.

Hari semakin petang, walau matahari masih bersinar sangat terang. Setelah makan dan istirahat sejenak, kami segera mencari bus lagi ke arah Dampit. Sebuah kecamatan diujung Kabupaten Malang. Yang terpisahkan dengan pegunungan dan jalan yang berkelok-kelok. Bus kecil itu mengantarkan kami sekitar dua jam perjalanan.

Gerimis mengantarkan perjalanan kami. Hutan-hutan yang rimbun, jurang yang curam berada di kiri jalan. Jalanan yang berkelok-kelok dan masih sangat asing bagi kami. Ibuku bercerita banyak hal, dan terkadang tak kuat menahan lelah dan kantuk. Terpejam tiba-tiba saat bercerita. Jalanan sudah rata dengan air dari langit. Truk dan mobil-mobil semakin ramai. Mungkin jalan itu adalah penghubung berbagai kota. Sehingga berbagai plat nomor pun ada disana.

"Salsa.., tau ngga kita bakal tinggal di rumah yang bersebelahan sama rumah ustadznya. Katanya sih buat sementara..."

"Rumahnya kayak gimana mel?"

"Serem..tapi bagus sih. Disini ada nenek-nenek yang udah tua. Kayaknya sakit apa gitu. Kamar kita ada di sebelahnya. Jadi suka teriak-teriak..."

"Wahh.. semoga kita betah ya. Selain kita ada santri lain ngga mel?"

"Belum tau. Belum ngobrol banyak sana ustadznya. Tadi kita langsung disuruh kesini buat istirahat dulu. Nunggu kamu biar sekalian ngobrolnya..."

"Oh gitu. Ini bentar lagi sampai insya Allah"

Mengikuti arahan ustadz yang tak berhenti komunikasi dengan kami, akhirnya kami sampai di sebuah tikungan. Disana terdapat beberapa pos halte sekaligus pangkalan ojek motor. Masih gerimis, walau ia malu untuk menyambut kedatangan kami di bumi yang dingin itu nan sejuk itu. 

Beberpa tukang ojek menawarkan jasanya kepada kami. Tapi kami menolak. Ustadz kami akan menjemput untuk mengarahkan jalan. Akhirnya kami jalan kaki sedangkan tas besarku dibawa beliau di bagian depan motor. Tas ransel ku yang sebenarnya bisa aku gendong diminta beliau agar dibawakan. Beliau menggunakan motor tua yang mungkin jauh lebih tua dari usiaku. Mungkin sekitar 20 tahun. Kecil dan sudah ringkih, tapi kekuatannya jangan ditanyakan. 

"Ibu jalan mboten nopo-nopo?"

"Inggih ustadz. Mboten nopo-nopo... ndak jauh kan?"

"Mboten bu.."

"Nanti lurus aja sampai pertigaan, terus ke kiri, sampai pertigaan lagi ambil kanan.."

"Oh iya Ustadz."

"Pangapunten nggih bu."

"Inggih ustadz.. mboten nopo-nopo"