Hakikat Ta’aruf
Istilah ta’aruf semakin firal ketika dakwah semakin
luas, dan kampanye #Indonesiatanpapacaran semakin tersebar, sehingga banyak
umat Islam, terutama para pemudanya yang berhijrah. Pada dasarnya ta’aruf
adalah bagian dari syariat untuk menuju jenjang pernikahan, agar kedua insan
yang mau menikah, namun awalnya belum saling mengenal satu sama lain, belum
mengetahui kualitas, kesalihan, dan hal- hal yang perlu diketahui sebelum
menikah bisa menjadi yakin untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan.
Allah swt memberikan
manusia sejumlah potensi dalam hidupnya, selain hajat fisik, juga gharizah, yang
terduru dari gharizah baqa’, tadayun, dan nau’. Masing- masing gharizah
tersebut menuntut adanya pemenuhan jika ada factor yang membangkitkan baik itu
pemikiran ataupun fakta. Dan Islam telah menjelaskan bagaimana pemenuhan
potensi tersebut dengan cara yang benar dan bisa menjadi ladang ibadah dan
pahala.
Dan sebagaimana akal,
gharizah pun juga akan mengalami perkembangan, seiring berkembangnya manusia.
Maka dalam gharizah nau’, semakin seseorang itu dewasa maka akan semakin
memiliki ketertarikan pada lawan jenis dan memiliki penilaian terhadap lawan
jenis.
Rasulullah saw
bersabda di hadapan para sahabat yang muda, dan ketika itu Abdullah bin Mas’ud
mengatakan bahwa kami sedang tidak punya apa- apa. Artinya menunjukkan ketika
menikah tidak harus memiliki nafkah sekian. Rasulullah saw bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ
فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah,
maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih
memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia
berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng)” (HR. Bukhari)
Maksud dari syabab, adalah yang sudah baligh
hingga usia 40 atau bahkan lebih. Adapun maksud dari baah, adalah mampu
dalam memikul beban yakni mencari nafkah dan mampu secara biologis, dimana
hanya laki- laki yang bisa menggauli perempuan. Dan tidak ada ketentuan apakah
nafkah tersebut sudah mapan atau belum, namun takaran nafkah ada penjelesannya
menurut para ulama. Adapun maksud bahwa menikah dapat lebih memelihara kemaluan,
yakni syahwat yang ada pada laki- laki ataupun perempuan, dan juga lebih menjaga
pandangan.
Petunjuk syariat
dalam pernikahan:
-
Islam melarang kerahiban
-
Islam tidak menolak namun mengatur dalam pemenuhan tersebut, Allah swt
berfirman:
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. Ali Imran: 14)
-
Islam melihat naluri seksual sebagai ibadah, apabila disalurkan kepada
yang halal, dimana Islam menjaga tidak mengumbar, dan hanya membatasi pada
pernikahan agar menjaga manusia, dan menjaga kenikmatan tersebut. Sebagaimana
di dalam hadits:
“Hubungan badan kalian (dengan istri atau hamba sahaya
kalian) adalah sedekah. Para sahabat lantas ada yang bertanya pada Rasulullah
saw: “Wahai Rasulullah, apakah dengan kami mendatangi istri kami dengan syahwat
itu mendapatkan pahala?”, beliau menjawab: ‘Bukankah jika kalian bersetubuh
pada yang haram, kalian mendapatkan dosa. Oleh karenanya jika kalian bersetubuh
pada yang halal, tentu kalian akan mendapatkan pahala” (HR. Muslim)
-
Regenerasi Khalifah fil ardhi (QS. Al- BAqoroh: 30)
-
Menjaga kehormatan merupakan kewajiban (QS. Al- Mu’minun: 5)
- Islam menutup celah maksuat melalaui perniakhan
Dasar Hukum:
Manusia diciptakan berpasangan dan hidup bersama, bahkan hingga akhirat mereka juga tidak hidup sendiri. Dan ada ibadah- ibadah yang bisa dilakukan hanya ketika sudah menikah. Maka sebelum menikah pun butuh persiapan dan ilmu sebelum menjalankan ibadah terpanjang tersebut, bahkan sampai akhirat.
Jika di masa Rasulullah saw, dan di masa para generasi setelahnya, lingkungan mereka, dan orang- orang di sekitar mereka adalah orang- orang yang shalih, dan berilmu. Sehingga tidak perlu jauh- jauh untuk mencari jodoh, atau menjodohkan. Akan tetapi kondisi zaman ini sungguh berbeda, dan begitu rusak, sehingga untuk mendapatkan pasangan yang shalih/ah, berilmu, akhlaknya baik tidaklah mudah. Bahkan seseorang yang sudah mengaji, aktif di dalam dakwah pun tidak menjamin dia menjadi seorang yang bertanggung jawab dan mampu untuk memikul tanggung jawab dalam keluarga. Sehingga ta’aruf memang diperlukan, yang dimana hal tersebut terdapat syariatnya, sehingga bisa mewujudkan pernikahan yang barokah.
Allah swt berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ
اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Al Hujurat ayat
13)
Walau maksud
dari ayat ini adalah untuk manusia secara umum, namun bisa bermaksud secara
khusus, untuk mengenal dalam rangka menikah. Ta’aruf
dari bahasa arab dari kata ta’arafa, yang artinya saling mengenal untuk
lebih dekat bukan hanya sekedar mengenal nama, baik itu mengenal teman atau
sahabat. Adapun dalam konteks pernikahan, maka saling mengenal calon pasangan
hidup sebelum melanjutkan ke jenjang pernikahan.
Menakar Kesiapan Diri: Benar Siap Atau Baru Hawa Nafsu
Saja?
1. Kematangan fisik dan mental: banyak orang
yang sudah siap secara fisik, namun mentalnya belum, terutama bagi yang masih
suka bermain atau berkumpul dengan teman- temannya sebelum menikah.
2. Ridha orangtua, terutama yang masih muda,
yang biasanya oangtua masih memiliki harapan yang lain untuk anaknya misal
dalam masalah pendidikan, dan karir, sehingga hal tersebut menjadi tantangan
yang harus dihadapi.
3. Ilmu, yang mencakup hukum hadhanah,
radhaah, thalaq, dan kewajiban serta hak masing- masing istri dan suami.
4. Finansial, yakni minimal bisa untuk menafkahi, dan mengetahui ilmu management keuangan.
Mengapa Harus Dengan Ta’aruf?
§
Perintah Allah swt dan Rasul-Nya
§
Kehormatan tetap terjaga, baik berlanjut maupun tidak, dimana hanya
orang- orang yang bersangkutan yang tahu dan tidak disebar, sehingga menjadi pembicaraan
banyak orang.
§ Efektif dan efesien, karena yang digali
adalah perkara yang penting dan esensial untuk pernikahan, menghemat waktu, dan
tenaga. Tidak seperti pacaran, selain dosa, menghabiskan biaya dan waktu, juga
yang dibicarakan adalah perkara- perkara yang esensial dalam pernikahan, dan
bahkan banyak hal yang dibuat- buat, atau tidak disampaikan apa adanya.
§ Fokus, detil dan to the point, dimana
dalam rangka untuk menguatkan keyakinan dalam mendapatkan pasangan.
§ Ta’aruf punya peranan penting untuk
meneguhkan keyakinan atas pasangan yang dipilih. Melalui ta’aruf setidaknya
bisa dibentuk kesepahaman atau perjanjian yang harus disepekati bersama ketika
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di kemudian hari. Bahkan ta’aruf menjadi
sarana preventif atau pencegah terhadap berbagai peristiwa perkawinan yang
terkadang menimbulkan persoalan yang berdampak pada salah satu pasangan maupun
terhadap anaknya.
Kesalahan- Kesalahan yang Biasa Terjadi Ketika Ta’aruf:
-
Perkara haram tetaplah haram
-
Masih berlaku kaidah: hukum asal wanita dan laki- laki itu terpisah
kecuali ada hajat yang diperbolehkan syariat. Maka harus diperhatikan beberapa
hal berikut:
1. Kesamanaran taaruf dengan pacaran
2. Belum ada ridha orangtua
3. Loyalitas yang kurang pas
4. Belum tergambar orientasi pernikahan
5. Tergesa- gesa
6. Samar dengan proses khitbah, dimana jika baru ta’aruf tidak harus khitbah. Adapun khitbah adalah wa’du atau janji untuk menikahi.
Tata Cara Ta’aruf:
1. Dalam batas yang diperbolehkan, tanpa
khalwat, tanpa ikhtilat. Juga bisa dilakukan secara online, atau wasilah
elektronik. Maka, walaupun dilaksanakan secara online, maka harus dengan orang
ketiga, misal via grup untuk saling mengenal, dan apabila ketemu maka harus
bertemu, maka perempuan dengan mahram.
2. Adanya kejelasan visi tentang laki- laki
dan wanita yang ideal menurut Islam. Bisa ditanyakan terkait tujuan
berkeluarga, bagaimana mamange konflik, bagaimana menyelesaikan masalah istri
dan anak, bagaimana tanggung jawab terhadap anak dan istri. Keterbukaan dan
kejujuran akan menambah kemantapan dan keyakinan.
3. Melibatkan orang tua atau wali agar bisa
mengarahkan pada pilihan yang tepat. Jika orangtua awam maka bisa bertanya ke
guru, atau teman.
4. Menyadari setiap pilihan, dan keridhaan
berimbang. Setelah menjelaskan kekurangan atau menjawab pertanyaan, maka
bertanya kepada calon tersebut apakah ridha atau tidak. Misal dalam masalah
penghasilan, belum bisa memasak, menyetrika, dll.
5. Jika ada kebimbangan, maka konsultasi dan sholat istikharah.
Adab- adab Ketika Ta’aruf:
a. Melalui perantara yang memiliki kualifikasi:
-
Paham agama: paham tentang ahwalu syakshyiyah, adab usrah.
-
Amanah: karena jika tidak, maka kekurangan keduanya yang tergali selama
proses ta’aruf bisa dibuka dan disebarkan kepada orang lain ketika tidak jadi
dilanjutkan ke jenjang berikutnya.
-
Diutamakan sudah menikah: karena bisa menengahi apabila terjadi masalah
terkait perempuan, dan juga bisa memberi arahan.
-
Berkapasitas
-
Diutamakan memiliki kedekatan dengan kedua calon
b. Tidak ada rasa memiliki atau perasaan yang
belum waktunya
c. Atas kemauan sendiri
d. Ittikad baik dari kedua belah pihak: bukan
main- main, bukan modus, atau bukan sekedar untuk menandai.
e. Terjaga rahasia: jika tidak jadi maka
harus ditutup dan tidak perlu dibicarakan
f. Jujur dan terbuka
Khitbah
Menampakkan keinginan
menikahi perempuan tertentu dan memberitahu wali perempuan tersebut. Terkadang
pemberitahuan ini diungkapkan oleh yang mengkhitbah atau melalui perantara
keluarganya. Ketika yang dikhitbah atau walinya menyetujui, maka sempurnalah
khitbah tersebut, dan terikatlah hukum- hukum syariat diantara mereka.
Khitbah terbagi dua:
-
Shorohah atau lugas:
- Kinayah atau kiasan: misal maukah engkau menjadi ibu dari anak- anak
Harus diastikan di dalam khitbah:
1. Tidak sedang ikhitbab yang lain
2. Tidak dalam masa iddah
3. Tidak sepersusuan
4. Bukan wanita yang diharamkan (QS. an- Nur
31 dan QS. an-Nisa:24)