Hari libur yang penuh air mata itu terasa sempit. Berusaha untuk memperbaiki rusaknya cara berfikir yang diawali dengan bisikan perasaan dan prasangka buruk yang selalu diikuti.
Iman itu selalu naik turun. Saat turun itulah, tak sedikitpun ada ketengan yang ada dalam hati. Setiap detik yang berjalan terasa berat. Hampir satu bulan aku kuliah di tahun kedua ini. Tapi belum ada semangat yang menggebu yang membuatku tak rela ketinggalan satu kata pun yang disampaikan oleh Duktur. Rutinitas. Formalitas tanpa ada ruh disana.
Iya. Nasehat. Aku butuh nasehat yang membuatku tertampar dan bangkit. Tidak ada salahnya meminta nasehat untuk diri yang benar-benar ambruk ini. Sahabat yang saling mencintai karena Allah tak akan segan dan enggan memberi nasehat dan teguran.
Lagi-lagi sosok wanita yang pertama kali aku kenal di atas muka bumi ini. Tak hanya sebagai ibu, tapi apapun pertanyaan dan keresahan lantaran kebodohanku ini akan terjawab.
"Bu, mbak pengen cerita sesuatu dan minta nasehat. Setelah 4 bulan liburan, mbak bisa membandingkan bedanya belajar di kuliah dan Talaqi : Pertama, Kitab-kitab nya yg dipake. Kalau talaqi kan kitab-kitab Turats. Sedangkan kuliah pake kitab kontemporer, buatan dosen, yang disana pasti banyak sekali manhaj yang terkadang berbeda atau bahkan bertolak belakang dengan pemahaman kita. Kedua, cara pengajaran : kalau di Talaqi pasti pakai Fushah, jarang sekali ada amiyah. Kalau Kuliah campur, dan lebih dominan dengan amiyah.
Ktiga, kondisi kelas atau tempat belajar : Talaqi jelas jauh lebih kondusif karena di Ruwaq Masjid Azhar atau di Madyafah. Ber-ac, atau kipas, luas, yg ikut tidak sebanyak dan sepnuh kuliah. Kalau kuliah antri masuk, saling berebut tempat duduk, cepet-ceptan, desak-desakan, berisik, telat sedikit pasti ngga bisa masuk. Dulu di tingkat satu dibagi dua kelas (Alif dan Ba'), sekarang di tingkat kedua dijadikan satu. Jadi semakin desak-desakan.
Keempat, target kuliah hanya imtihan / ujian untuk dapat nilai yang bagus, dan itu beberapa dosen selalu menekankan belajar seolah untuk itu saja. Talaqi jelas tidak ada standar nilai, tapi terkadang di absen. Belum bisa move on dari talaqi bu.."
"Apalagi setelah mengetahui banyak Kitab Muqaraar kuliah yg berbeda dg Syaikh Taqi. Banyak bahkan...Seperti Mashadir Tasyri', Ta'rifat (definisi-definisi), dan lainnya. Ada jg yg sudah benar2 kelihatan sekuler nya.Terutama di jurusan Syariah Islamiyah. Dengan kondisi seperti ini bagaimana caranya agar kita tetap Ihtiram kpd para dosen? Bersyukur, Husnudzon dan tetap semangat kuliah? Untuk membuat kuliah tak hanya sekedar rutinitas tanpa ruh, formalitas untuk mendapat gelar, atau sekedar mengisi waktu dan masa muda. Karena melihat banyak kurikulum yg berbeda dengan apa yang kita fahami, jadi sering kecewa..Tapi disisi lain mba selalu berusaha bersyukur, banyak temen mba yang ingin kesini tapi belum kesampaian. Bahkan kuliah saja sampai sekarang belum bisa,malah kerja. Atau kuliah bukan untuk mendalami Islam.."
"Bismillah..Nak, Allah telah memberi kesempatan kepadamu untuk melihat langsung kenyataan ini, yang mana kesempatan seperti ini didapat oleh hanya sebagian kecil dari sekian banyak pengemban dakwah di seluruh dunia, oleh karenanya perbanyak syukur kepada Allah sehingga akan melahirkan hal-hal yang baik berikutnya"
"Bagaimanapun kondisi guru, kita harus tetap mendahulukan adab daripada ilmu- bukankah begitu Ndhuk?-, terlepas dari kekurangan apapun yang ada pada diri beliau. Beliau (para dosen) yang saat ini kau bisa lihat dengan jelas bagaimana cara berfikir, memahami dien yang mulia ini, bahkan kaupun bisa melihat langsung bagaimana cara pandangnya terhadap kehidupan ini, tiada lain mereka itu adalah bagian dari korban massifnya pemikiran-pemikiran kufur yang diusung oleh orang-orang kafir. Fakta itu sungguh sangat cukup untuk kelak kau jadikan bekal, menjelaskan kepada umat akan keberhasilan perjuangan mereka saat ini. Karena sebagaimana kita tahu, bahwa untuk melemahkan umat Islam, tidaklah terlalu penting untuk membawa mereka keluar dari Islam (murtad), biarlah mereka tetap beragama Islam, namun mainset/cara pandang mereka terhadap kehidupan ini sesuai dengan misi mereka (kapitalis-sekuler). Ketika kau sadar, bahwa para dosen itu adalah bagian dari korban, tentu kita sebagai sesama muslim ingin menyelamatkannya. Ingatkan mereka jika kau mampu, namun jika kau merasa tak mampu, maka mendoakannya adalah perkara minimal yang bisa kita lalukan Ndhuk. Jangan lupa, selalu mohonlah kekuatan kepada Sang Pemilik Kekuatan, agar kau senantiasa diberi kekuatan fisik dan fikr, agar apa yang engkau dapatkan di sana, kelak bisa memberikan manfaat besar bagi umat Ndhuk..."
Mengucurlah air mata dari kedua kelopak mata ini. Betapa terpukulnya hati saat menerima nasehat yang dapat memukul diri. Nasehat yang sangat kunanti itu harus kutunggu beberapa hari. Kesibukan ibuku yang membuat tak bisa membalas dengan balasan panjang dan cepat.
Tak berhenti disitu. Masih berat. Aku tahu, hanya berawal dari niat yang kurang lurus semua menjadi terasa membosankan, tak ada kata semangat apalagi bisa fokus.
Sebuah nikmat yang sangat besar tak akan terasa secuil pun keindahan nya saat hati tak pernah mensyukuri. Yang terlihat hanya kekurangan dan keburukan. Al Azhar. Sebuah karunia Allah yang begitu indah untuk diriku serasa tak sedikitpun membuat ku senang atau bangga. Melihat kecacatan yang begitu banyak. Sekulerisasi yang semakin menjadi-jadi. Birokrasi yang tak pernah memiliki aturan yang rapi.
Aku pun memutuskan untuk meminta nasehat kepada seorang Ustadzah alumni Al Azhar tahun 2000. Delapan belas tahun yang lalu, saat aku baru berusia dua tahun. Dan nasihat itu yang sangat menampar diri.
"Ustadzah ana mau minta nasehat. Ana terkadang bosan kuliah karena di kelas itu ribut, desak-desakan, pusing karena ramai banget.
Apalgi tingkat 2 itu dijadikan 1 Mudaraj. Dulu tingkat 1 dibagi Alif dn Ba'. Telat sedikit aja udah tidak b bisa duduk, bahkan masuk kelas tidak bisa"
"Belajar kan bukan hanya tentang mendapatkan ilmu. Tapi, juga tentang pengalaman. Bagaimana berinteraksi dg mereka. Bosan adalah karena kawannya mahasiswa yang kuliah di mesir. Itu harus dihadapi"
"Ustadzah dulu kuliah nya rajin ya?
Ana malah nyaman klo talaqi karena kan ga desak-desakan, pakai fushah, tenang,"
"Saya rajin kuliah walaupun tidak ada absen tapi saya tetap rajin kuliah."
"Masya Allah"
"Saya ambil filsafat yg tidak ada orang Indonesianya. Meskipun banyak Indonesianya ketika sanah 1 dan 2, saya tetap kuliah. Pengalaman bertemu native, dengan latar belakang sosial yg beragam. Dikerjain anak-anak mesir. Berantem dengan mereka"
"Kalau sesekali kita bolos kuliah buat baca muqaraar di rumah, apa kita termasuk sombong dn meremehkan kuliah ustadzah?"
"Ya. menurut saya begitu. Itu yang akan mahasiswa yang kuliah di timur tengah dapatkan, kalau bukan kuliah di Mesir. Hati-hati dengan rasa ngga nyaman belajar sama orang-orang yang ribut, meremehkan mereka, dan lain-lain Menurut saya, itu salah satu faktor pendukung barokahnya ilmu Azhary"
"Jazakillah Khairan Katsiran Ustadzah sudah diingatkan. Ana juga sering berfikir duktur-dukturah aja sudah sangat sabar dan ikhlas ribut dan desak-desakan tanpa mengurangi jumlah mahasiswi terutama wafidat , masa kita meremehkan... Mohon doanya ya ustadzah"
"Iya habibty. Membaurlah dengan wafidat dari mana saja. Juga dengan orang Mesir. Pelajari bahasa amiyah mereka, kebudayaan mereka, makanan mereka, dan lainnya. Nikmati keberuntungan yang Allah berikan untuk menimba ilmu sebanyak-banyak nya. Belajar bukan hanya talaqqi dan muqoror saja. Jalan-jalan ke kampung mereka. Rihlah dll. Itu penting banget. Siapa tahu nanti anti jd mentri kebudayaan? Jadi kepala pendidikan?"
"Ya Rabb.. Jazakillah Khairan ustadzah. Gimana menurut ustadzah kalau ada yang lebih mementingkan talaqi daripada kuliah ? Dengan alasan pakai turast, pake fushah, ilmu nya masih murni, belajar lebih nyaman."
"Itu pilihan dia. Kalau saya, sesudah pulang sih, merasa sayang ya. Karena pengalaman berinteraksi secara internasional di S1 itu pengalaman paling penting bagi saya secara pribadi. Kalau S2 atau S3, kita sudah akan sangat fokus ke bidang keilmuan yg kita kaji. Ngga bisa bergaul banyak-banyak lagi.
"Iya ustadzah. Dulu ustadzah kalau duduk pas muhadhoroh sama anak Mesir nya itu-itu aja, Istiqomah dgn teman terdekat, ..atau ganti-ganti teman?"
"Sama anak Mesir, saya secukupnya ajah. Ngga terlalu dekat banget. Hanya tetap bergaul sama mereka. Acak ajah. Sesuka kita"
Setidaknya aku mendapat suatu teladan seorang Ustadzah yang sudah sekitar 18 tahun yang lalu lulus dari Universitas ini. Sebuah tamparan yang mengingatkan ku bahwa belajar tak hanya seputar kitab dan nash-nash gundul itu. Betapa banyak ilmu yang lupa aku kejar di luar kitab-kitab itu. Sebuah pecutan bagi diri ini untuk senantiasa hati-hati dengan sifat sombong walau hanya seberat biji sawi.
Bukankah sombong itu merendahkan orang lain dan tak mau menerima kebenaran?
Rasa kecewa terkadang membisikkan kepada diri kita untuk tidak menghargai orang-orang di sekitar kita. Sekalipun ia lebih baik dari kita, atau bahkan banyak sekali kebenaran yang kita peroleh darinya.
Sebuah pecutan yang jauh lebih keras pun telah aku dapatkan dari beberapa kawan dekat ku di Pesantren. Rasa sayang yang senantiasa kami ikat karena Allah, walah sudah bertahun-tahun tak berjumpa membuat mereka tak sedikitpun keberatan untuk memberikan nasehat saat aku benar-benar membutuhkan nya.
"Emang dari faktor keluarga ku sendiri, yang kelas menengah kebawah yang dimana mimpi-mimpi ku tinggi banget dan mungkin umi abiku berfikir kalau mimpiku juga blm bisa terwujut untk bisa kesana-sana. Tapi sampai detik ini aku masih berjuang qon, dan aku masih bisa bersyukur juga masih diberi ortu yang Masyaa Allah tegarnya itu banget"
"Iya has. Orang tua yang mendidik kita dengan iman dan Islam adalah orang tua terbaik..Itu yg harus selalu kita syukuri. Jazakillah Khairan tambparannya.."
"Iya qonn waiyyaki, doain ya qon biar aku bisa nyusul di tanah timur sana"
"Insya Allah pasti aku doakan yg terbaik"
Harapan itu masih ada. Saat kita dulu memiliki mimpi yang sama, untuk bisa menjelajah ke luar Negeri Ibu Pertiwi untuk menuntut ilmu. Ke sebuah Negara dimana Daulah Islam terkahir kalinya tegak menjadi pusat peradaban. Turki. Tetapi, Allah menghendaki jalan lain yang jauh lebih baik.
Tak cukup darinya. Beberapa teman yang lain itu semakin memecut diri yang benar-benar lunglai dengan segala hiruk pikuk Kota ini.
"Hmmmm. Aku mah apa atuh.. daku juga belum bisa ngasih nasihat, banyak dosa, cuma teh sama Allah aib nya belum di buka..ini mah sedikit semangat aja ya buat saudariku yang jauh disana. Kuat kuat belajar disana. Jujur, aku punya harapan buat bisa kenal bahasa Arab lebih awal dan kenal Islam lebih dalam seperti kalian,, aku lebih milih jadi kalian.. hanya saja takdir berkata lain.. dosa dan kebodohan ku lebih banyak dari kalian.. sehingga Allah kasih nikmat buat nuntut ilmu di negeri penuh sejarah ke kalian..
Satu dua kali atau mungkin lebih mah mungkin ada lelahnya, atau mungkin ada pengandaian 'seandainya aku tidak disini, mungkin aku ...' dan mungkin dirimu sedang ada di posisi itu neng shalihah.. tapi kurasa, seandainya memang hal itu benar terjadi, sepertinya semua orang juga merasa hal yang sama..
Ishbir ya shalihah.. jalan menuju tempat yang tinggi tak mudah diraih.. akan banyak medan terjal yang harus dilalui.. ishbir ya shalihah.. Allah selalu jadiin kita kuat kok dengan segala tantangan yang ada.. bismillah..Jangan lupa sering sering mohon doa restu sama orang tua ya. Bagaimanapun langkah sejauh ini belum tentu bisa kamu capai tanpa kehadiran orang orang di sisimu.. semangat ya"
Nasehat dari kakak kelas yang cukup dekat denganku ini, begitu mengena. Tapi, salah satu yang lupa aku syukuri adalah kenikmatan belajar dan menguasai Bahasa Arab. Bahasa ummat Islam, bahasa ahli surga, bahasa yang Rasulullah wariskan. Yang sudah menjadi sewajarnya kita sebagai pemuda Islam menguasainya. Namun, buktinya tak semua mampu dan mau. Tak semua Allah beri kesempatan dan jalan. Tak semua memiliki tekad dan keinginan yang besar untuk belajar. Karena kondisi pendidikan saat ini yang rusak, sehingga memisahkan ilmu Islam dengan ilmu-ilmu duniawi yang untuk menguasai satu bidang saja terpaksa harus menempuh pendidikan bertahun-tahun.
Bahasa terindah dan tertinggi yang tak akan mampu merasakan nya melainkan yang mendalaminya.
Tak cukup sampai situ. Hari Kamis itu aku segera ke masjid Shalih Ja'fari yang berada di sebrang Mahathoh Darosah. Dan memang jadwal rutinku untuk datang kesana setiap hari Kamis. Entah apa yang mendorong ku untuk tiba-tiba mendekati seorang Ustadzah yang sebelumnya sama sekali tidak dekat melainkan menyetorkan hafalan saja. Ustadzah Ummu Islam. Salah satu pengajar Tahfidz dan Tahsin di Markaz Syaikh Nabil. Ibu Mishriyah yang begitu cantik dan masih tampak muda ini selalu murah senyum dan tak pernah marah sekalipun kita sering salah dalam melafadzkan makharijul huruf.
"Ustadzah, ana merasa bosan dan lelah dalam murajaah hafalan. Gimana caranya agar ana bisa semangat lagi?"
"Sayang, kamu apakah tidak ingat keutamaan menghafal Al-Quran?"
"Bagaimana kamu memurajaah hafalan mu selama ini? Selesaikan lah hafalan mu itu setiap sepuluh hari biar tidak berat.."
"Iya ustadzah. Aku sudah menyetorkan hafalan disini sampai Juz 19. Dan untuk 19 Juz itu, aku selalu mengulangnya setiap satu minggu. Jadi satu hari sekitar tiga juz. Dan untuk hafalan baru yang akan kusetorkan lagi, aku menghafal satu atau dua halaman per hari"
"Masya Allah. Itu sangat bagus"
"Iya ustadzah, tapi saya kadang merasa bosan dan lelah. Apalagi aktivitas di kampus dan kegiatan lainnya sangat banyak. Jadi waktu saya untuk murajaah tak lain hanya di bus, dan saat saya berjalan. Saya lelah ustadzah setiap hari seperti itu"
"Jangan kamu lupa untuk memberikan reward pada dirimu sendiri setiap kau selesai satu atau dua Juz. Jadi kamu bisa semangat dan menghargai usahamu.."
"Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al Qur'an dan mengajarkannya. Kamu harus selalu ingat hadits itu. Kelak penghafal Al-Quran bisa memberikan mahkota dan jubah kepada kedua orangtuanya.."
Reward? Itulah perkara penting yang selama ini tak pernah terfikirkan sama sekali oleh ku. Sembilan belas Juz sudah aku setorkan kepada para ustadzah, ustadz, dan Syaikh yang ada di Markaz Tahfidz itu. Tak satu pun juz yang aku berikan hadiah atas perjuangan mengulangnya yang jauh lebih sulit dari menghafal hafalan baru.
Reward? Sesuatu yang nampak remeh, tapi memang berpengaruh besar untuk memberi semangat untuk kita. Bukan untuk itu niat kita, karena janji dan pahala yang Allah sediakan jauh lebih indah dan tak tergantikan. Tapi dengan reward itu, setidaknya kita menghargai jerih payah serta keistiqomahan kita dalam berusaha.
Tak perlu jauh-jauh berfikir. Baju? Sepatu? Khimar? Jilbab? Tas? Makanan terenak di Matham (rumah makan) Asia. Semua itu tak pernah sama sekali terlukis dalam benak. Kitab. Begitu banyaknya deretan kitab yang aku dambakan dan butuhkan, sederet keinginan yang semu itu seakan telah terkubur dalam. Aku putuskan untuk membeli sebuah kitab yang aku perlukan untuk mengikuti sebuah daurah Sirah Nabawiyah dengan menggunakan kitab Asy-Syifa' Bi Ta'rif Huquq Al- Musthofa, karya Qadhi 'Iyadh Ibnu Musa Al-Yahshubiy. Dengan mengeluarkan uang 60 pound, reward untuk Juz 19 dan mungkin sekaligus 18 Juz sebelumnya yang terlupakan sudah terbayarkan.
Walaupun kantong sudah mulai menipis, dan pada saat itu aku berniat untuk menggunakan kitab di PDF di handphone saja, tapi semuanya tertepis. Aku ingat, bukankah membeli kitab akan semakin memperluas rezeki kita? Bukankah infaq terbaik adalah untuk penuntut ilmu? Dan jika kita niatkan sedekah, Allah akan melipatgandakan?
Bismillah, walaupun aku tidak bisa membeli cetakan mu'tamad (terbaik), tapi setidaknya aku tidak menyia-nyiakan daurah yang mungkin hanya sekali setahun diadakan ini. Belajar Sirah Nabi adalah impian ku sejak awal datang kesini. Apalagi seminggu tiga kali. Lalu apakah hanya tak mampu membeli kitab kemudian kita menelantarkan nikmat yang begitu besar ini?
"Ya Rabb, jadikan setiap uang yang aku keluar kan di jalan-Mu mengalir pahalanya kepada kedua orang tua ku. Dan lipatgandakan rezeki itu dengan yang lebih baik", doa ku yang selalu aku bisikkan saat mulai ragu untuk mengeluarkan uang yang tak sedikit demi ilmu.
"Nak, jangan pelit untuk ilmu. Allah itu Maha Kaya", nasehat seorang wanita terhebat yang selalu aku genggam kuat dalam setiap langkahku.
Semangat itu kembali terkumpul dan tersusun layaknya puzzle yang baru saja berserakan di berbagai tempat yang kotor. Satu per satu sudah kutemukan jawaban dari segala ketidaktenangan. Semua pihak layaknya membentak ku untuk tersadar atas segala bentuk kelalaian ini.
Sejak saat itu, aku benar-benar senantiasa mengingat hadits yang menjelaskan keutamaan penghafal Al Qur'an saat rasa lelah mulai menghampiri. Sejak saat itu pula aku perbarui niatku dalam menuntut ilmu, terutama untuk kuliah. Tak boleh lagi terbesit 'kuliah hanya rutinitas, hanya formalitas, hanya mencari nilai dan beasiswa atau sekedar gelar memperpanjang nama'.
Sejak saat itu pula, setiap satu Juz yang sudah aku murajaah dan setorkan, aku memberikan reward untuknya. Tak perlu yang mahal-mahal, tapi apa yang kubutuhkan saat itu, yang tidak terlalu aku pedulikan menjadi terbeli dengan dorongan yang lebih kuat. Memecut diri.
Sejak saat itu, aku selalu melafadzkan hadits-hadits Nabi saat melangkahkan kaki keluar dari apartemen. Menuruni puluhan anak tangga, berjalan menuju Mahathoh Gamalia. "Ya Rabb, jadikan setiap langkah yang kutempuh di jalan-Mu, setiap huruf yang kulafadzkan dari ayat-ayat Mu, setiap majelis ilmu yang kuhadiri, dan setiap harta yang ku keluarkan menjadi pemberat timbangan ku di akhirat kelak dan mengalir pahala nya kepada kedua orang tua ku.."
"Ya Allah jika aku mati hari ini, maka jemput lah aku sebagai Syahidah Fii Sabilik.."
"Man Kharaja Fii Thalabil 'ilmi fa huwa Fii Sabilillah Hatta Yarji'"
Pada Juz 20, aku membeli sebuah kitab Taysir Mustholah Hadits karya Duktur Mamhmud Thohan. Sebuah kitab mu'ashiroh (kontemporer) yang cocok untuk mubtadi' yang sudah jatuh cinta dengan ilmu hadits. Kitab yang ditulis oleh seorang Profesor ternama di Universitas Kuwait ini, memang menjadi rujukan di banyak pesantren di Indonesia. Dan aku baru mengenalnya disini. Sesaat setelah kubeli, aku langsung melahapnya. Bahasanya yang ringan dan renyah membuat siapapun yang membaca tak harus pusing dengan istilah yang masih asing. Dengan membaca ini, setidaknya sangat membantu siapapun yang ingin mendalami Mustholah Hadits dengan kitab rujukan utama yaitu Muqaddimah Ibnu Sholah. Cukup mengeluarkan uang 50 pound, daripada membeli seporsi makanan Padang atau Aceh yang hanya sekali kenyang, atau membeli khimar atau sepasang baju yang mungkin tak kan cukup dengan harga semurah itu.
Untuk reward Juz 21, aku kembali lagi membeli Kitab Ulumul Hadits, yaitu Al-Baits Al-Hastis Syarah Ikhtisar Ulumul Hadits. Kitab karya Syaikh Ahmad Muhammad Syakir ini merupakan penjelasan kitab Ibnu Katsir. Harganya hanya 30 pound, tapi ilmu yang ada di dalamnya tak akan mampu untuk dibandingkan dengan harga setinggi apapun. Sedikit lebih berat dan sulit dibandingkan dengan kitab Ulumul Hadits yang aku beli sebelumnya.
"Jika belum suka atau belum sempat membaca, rasa cinta untuk membeli dan mengumpulkan kitab tetap harus kalian tanamkan", sebuah nasehat dari Ustadzah Millah, dosen di Ma'had ku dulu selalu terngiang saat aku terkadang malu dan sedih saat belum sempat membaca semua kitab yang aku koleksi. Setidaknya rasa cinta untuk mengoleksinya dalam diriku sudah mengalahkan rasa suka untuk mengoleksi barang-barang lain yang tak ada kaitannya dengan ilmu.
Next...