Pages

Senin, 24 Desember 2018

60 Pound Reward Pertama-mu

Hari libur yang penuh air mata itu terasa sempit. Berusaha untuk memperbaiki rusaknya cara berfikir yang diawali dengan bisikan perasaan dan prasangka buruk yang selalu diikuti.

Iman itu selalu naik turun. Saat turun itulah, tak sedikitpun ada ketengan yang ada dalam hati. Setiap detik yang berjalan terasa berat. Hampir satu bulan aku kuliah di tahun kedua ini. Tapi belum ada semangat yang menggebu yang membuatku tak rela ketinggalan satu kata pun yang disampaikan oleh Duktur. Rutinitas. Formalitas tanpa ada ruh disana.

Iya. Nasehat. Aku butuh nasehat yang membuatku tertampar dan bangkit. Tidak ada salahnya meminta nasehat untuk diri yang benar-benar ambruk ini. Sahabat yang saling mencintai karena Allah tak akan segan dan enggan memberi nasehat dan teguran.

Lagi-lagi sosok wanita yang pertama kali aku kenal di atas muka bumi ini. Tak hanya sebagai ibu, tapi apapun pertanyaan dan keresahan lantaran kebodohanku ini akan terjawab.

"Bu, mbak pengen cerita sesuatu dan minta nasehat. Setelah 4 bulan liburan, mbak bisa membandingkan bedanya belajar di kuliah dan Talaqi : Pertama, Kitab-kitab nya yg dipake. Kalau talaqi kan kitab-kitab Turats. Sedangkan kuliah pake kitab kontemporer, buatan dosen, yang disana pasti banyak sekali manhaj yang terkadang berbeda atau bahkan bertolak belakang dengan pemahaman kita. Kedua, cara pengajaran : kalau di Talaqi pasti pakai Fushah, jarang sekali ada amiyah. Kalau Kuliah campur, dan lebih dominan dengan amiyah.
Ktiga, kondisi kelas atau tempat belajar : Talaqi jelas jauh lebih kondusif karena di Ruwaq Masjid Azhar atau di Madyafah. Ber-ac, atau kipas, luas, yg ikut tidak sebanyak dan sepnuh kuliah. Kalau kuliah antri masuk, saling berebut tempat duduk, cepet-ceptan, desak-desakan, berisik, telat sedikit pasti ngga bisa masuk. Dulu di tingkat satu dibagi dua kelas (Alif dan Ba'), sekarang di tingkat kedua dijadikan satu. Jadi semakin desak-desakan.
Keempat, target kuliah hanya imtihan / ujian untuk dapat nilai yang bagus, dan itu beberapa dosen selalu menekankan belajar seolah untuk itu saja. Talaqi jelas tidak ada standar nilai, tapi terkadang di absen. Belum bisa move on dari talaqi bu.."

"Apalagi setelah mengetahui banyak Kitab Muqaraar kuliah yg berbeda dg Syaikh Taqi. Banyak bahkan...Seperti Mashadir Tasyri', Ta'rifat (definisi-definisi), dan lainnya. Ada jg yg sudah benar2 kelihatan sekuler nya.Terutama di jurusan Syariah Islamiyah. Dengan kondisi seperti ini bagaimana caranya agar kita tetap Ihtiram kpd para dosen? Bersyukur,  Husnudzon dan tetap semangat kuliah? Untuk membuat kuliah tak hanya sekedar rutinitas tanpa ruh, formalitas untuk mendapat gelar, atau sekedar mengisi waktu dan masa muda. Karena melihat banyak kurikulum  yg berbeda dengan apa yang kita fahami, jadi sering kecewa..Tapi disisi lain mba selalu berusaha bersyukur, banyak temen mba yang ingin kesini tapi belum kesampaian. Bahkan kuliah saja sampai sekarang belum bisa,malah kerja. Atau kuliah bukan untuk mendalami Islam.."

"Bismillah..Nak, Allah telah memberi kesempatan kepadamu untuk melihat langsung kenyataan ini, yang mana kesempatan seperti ini didapat oleh hanya sebagian kecil dari sekian banyak pengemban dakwah di seluruh dunia, oleh karenanya perbanyak syukur kepada Allah sehingga akan melahirkan hal-hal yang baik berikutnya"

"Bagaimanapun kondisi guru, kita harus tetap mendahulukan adab daripada ilmu- bukankah begitu Ndhuk?-, terlepas dari kekurangan apapun yang ada pada diri beliau. Beliau (para dosen) yang saat ini kau bisa lihat dengan jelas bagaimana cara berfikir, memahami dien yang mulia ini, bahkan kaupun bisa melihat langsung bagaimana cara pandangnya terhadap kehidupan ini, tiada lain mereka itu adalah bagian dari korban massifnya pemikiran-pemikiran kufur yang diusung oleh orang-orang kafir. Fakta itu sungguh sangat cukup untuk kelak kau jadikan bekal, menjelaskan kepada umat akan keberhasilan perjuangan mereka saat ini. Karena sebagaimana kita tahu, bahwa untuk melemahkan umat Islam, tidaklah terlalu penting untuk membawa mereka keluar dari Islam (murtad), biarlah mereka tetap beragama Islam, namun mainset/cara pandang mereka terhadap kehidupan ini sesuai dengan misi mereka (kapitalis-sekuler). Ketika kau sadar, bahwa para dosen itu adalah bagian dari korban, tentu kita sebagai sesama muslim ingin menyelamatkannya. Ingatkan mereka jika kau mampu, namun jika kau merasa tak mampu, maka mendoakannya adalah perkara minimal yang bisa kita lalukan Ndhuk. Jangan lupa, selalu mohonlah kekuatan kepada Sang Pemilik Kekuatan, agar kau senantiasa diberi kekuatan fisik dan fikr, agar apa yang engkau dapatkan di sana, kelak bisa memberikan manfaat besar bagi umat Ndhuk..."

Mengucurlah air mata dari kedua kelopak mata ini. Betapa terpukulnya hati saat menerima nasehat yang dapat memukul diri. Nasehat yang sangat kunanti itu harus kutunggu beberapa hari. Kesibukan ibuku yang membuat tak bisa membalas dengan balasan panjang dan cepat.

Tak berhenti disitu. Masih berat. Aku tahu, hanya berawal dari niat yang kurang lurus semua menjadi terasa membosankan, tak ada kata semangat apalagi bisa fokus.

Sebuah nikmat yang sangat besar tak akan terasa secuil pun keindahan nya saat hati tak pernah mensyukuri. Yang terlihat hanya kekurangan dan keburukan. Al Azhar. Sebuah karunia Allah yang begitu indah untuk diriku serasa tak sedikitpun membuat ku senang atau bangga. Melihat kecacatan yang begitu banyak. Sekulerisasi yang semakin menjadi-jadi. Birokrasi yang tak pernah memiliki aturan yang rapi.

Aku pun memutuskan untuk meminta nasehat kepada seorang Ustadzah alumni Al Azhar tahun 2000. Delapan belas tahun yang lalu, saat aku baru berusia dua tahun. Dan nasihat itu yang sangat menampar diri.

"Ustadzah ana mau minta nasehat. Ana terkadang bosan kuliah karena di kelas itu ribut, desak-desakan, pusing karena ramai banget.
Apalgi tingkat 2 itu dijadikan 1 Mudaraj. Dulu tingkat 1 dibagi Alif dn Ba'. Telat sedikit aja udah tidak b bisa duduk, bahkan masuk kelas tidak bisa"

"Belajar kan bukan hanya tentang mendapatkan ilmu. Tapi, juga tentang pengalaman. Bagaimana berinteraksi dg mereka. Bosan  adalah karena kawannya mahasiswa yang kuliah di mesir. Itu harus dihadapi"

"Ustadzah dulu kuliah nya rajin ya?
Ana malah nyaman klo talaqi karena kan ga desak-desakan, pakai fushah, tenang,"

"Saya rajin kuliah walaupun tidak ada absen tapi saya tetap rajin kuliah."

"Masya Allah"

"Saya ambil filsafat yg tidak ada orang Indonesianya. Meskipun banyak Indonesianya ketika sanah 1 dan 2, saya tetap kuliah. Pengalaman bertemu native, dengan latar belakang sosial yg beragam. Dikerjain anak-anak mesir. Berantem dengan mereka"

"Kalau sesekali kita bolos kuliah buat baca muqaraar di rumah, apa kita termasuk sombong dn meremehkan kuliah ustadzah?"

"Ya. menurut saya begitu. Itu yang akan mahasiswa yang kuliah di timur tengah dapatkan, kalau bukan kuliah di Mesir. Hati-hati dengan rasa ngga nyaman belajar sama orang-orang yang ribut, meremehkan mereka, dan lain-lain Menurut saya, itu salah satu faktor pendukung barokahnya ilmu Azhary"

"Jazakillah Khairan Katsiran Ustadzah sudah diingatkan. Ana juga sering berfikir duktur-dukturah aja sudah sangat sabar dan ikhlas ribut dan desak-desakan tanpa mengurangi jumlah mahasiswi terutama wafidat , masa kita meremehkan... Mohon doanya ya ustadzah"

"Iya habibty. Membaurlah dengan  wafidat dari mana saja. Juga dengan orang Mesir. Pelajari bahasa amiyah mereka, kebudayaan mereka, makanan mereka, dan lainnya. Nikmati keberuntungan yang Allah berikan untuk menimba ilmu sebanyak-banyak nya. Belajar bukan hanya talaqqi dan muqoror saja. Jalan-jalan ke kampung mereka. Rihlah dll. Itu penting banget. Siapa tahu nanti anti jd mentri kebudayaan? Jadi kepala pendidikan?"

"Ya Rabb.. Jazakillah Khairan ustadzah. Gimana menurut ustadzah kalau ada yang lebih mementingkan talaqi daripada kuliah ? Dengan alasan pakai turast, pake fushah, ilmu nya masih murni, belajar lebih nyaman."

"Itu pilihan dia. Kalau saya, sesudah pulang sih, merasa sayang ya. Karena pengalaman berinteraksi secara internasional di S1 itu pengalaman paling penting bagi saya secara pribadi. Kalau S2 atau S3, kita sudah akan sangat fokus ke bidang keilmuan yg kita kaji. Ngga bisa bergaul banyak-banyak lagi.

"Iya ustadzah. Dulu ustadzah kalau duduk pas muhadhoroh sama anak Mesir nya itu-itu aja, Istiqomah dgn teman terdekat, ..atau ganti-ganti teman?"

"Sama anak Mesir, saya secukupnya ajah. Ngga terlalu dekat banget. Hanya tetap bergaul sama mereka. Acak ajah. Sesuka kita"

Setidaknya aku mendapat suatu teladan seorang Ustadzah yang sudah sekitar 18 tahun yang lalu lulus dari Universitas ini. Sebuah tamparan yang mengingatkan ku bahwa belajar tak hanya seputar kitab dan nash-nash gundul itu. Betapa banyak ilmu yang lupa aku kejar di luar kitab-kitab itu. Sebuah pecutan bagi diri ini untuk senantiasa hati-hati dengan sifat sombong walau hanya seberat biji sawi.

Bukankah sombong itu merendahkan orang lain dan tak mau menerima kebenaran?

Rasa kecewa terkadang membisikkan kepada diri kita untuk tidak menghargai orang-orang di sekitar kita. Sekalipun ia lebih baik dari kita, atau bahkan banyak sekali kebenaran yang kita peroleh darinya.

Sebuah pecutan yang jauh lebih keras pun telah aku dapatkan dari beberapa kawan dekat ku di Pesantren. Rasa sayang yang senantiasa kami ikat karena Allah, walah sudah bertahun-tahun tak berjumpa membuat mereka tak sedikitpun keberatan untuk memberikan nasehat saat aku benar-benar membutuhkan nya.

"Emang dari faktor keluarga ku sendiri, yang kelas menengah kebawah yang dimana mimpi-mimpi ku tinggi banget dan mungkin umi abiku berfikir kalau mimpiku juga blm bisa terwujut untk bisa kesana-sana. Tapi sampai detik ini aku masih berjuang qon, dan aku masih bisa bersyukur juga masih diberi ortu yang Masyaa Allah tegarnya itu banget"

"Iya has. Orang tua yang mendidik kita dengan iman dan Islam adalah orang tua terbaik..Itu yg harus selalu kita syukuri. Jazakillah Khairan tambparannya.."

"Iya qonn waiyyaki, doain ya qon biar aku bisa nyusul di tanah timur sana"

"Insya Allah pasti aku doakan yg terbaik"

Harapan itu masih ada. Saat kita dulu memiliki mimpi yang sama, untuk bisa menjelajah ke luar Negeri Ibu Pertiwi untuk menuntut ilmu. Ke sebuah Negara dimana Daulah Islam terkahir kalinya tegak menjadi pusat peradaban. Turki. Tetapi, Allah menghendaki jalan lain yang jauh lebih baik.

Tak cukup darinya. Beberapa teman yang lain itu semakin memecut diri yang benar-benar lunglai dengan segala hiruk pikuk Kota ini.

"Hmmmm. Aku mah apa atuh.. daku juga belum bisa ngasih nasihat, banyak dosa, cuma teh sama Allah aib nya belum di buka..ini mah sedikit semangat aja ya buat saudariku yang jauh disana. Kuat kuat belajar disana. Jujur, aku punya harapan buat bisa kenal bahasa Arab lebih awal dan kenal Islam lebih dalam seperti kalian,, aku lebih milih jadi kalian.. hanya saja takdir berkata lain.. dosa dan kebodohan ku lebih banyak dari kalian.. sehingga Allah kasih nikmat buat nuntut ilmu di negeri penuh sejarah ke kalian..
Satu dua kali atau mungkin lebih mah mungkin ada lelahnya, atau mungkin ada pengandaian 'seandainya aku tidak disini, mungkin aku ...' dan mungkin dirimu sedang ada di posisi itu neng shalihah.. tapi kurasa, seandainya memang hal itu benar terjadi, sepertinya semua orang juga merasa hal yang sama..
Ishbir ya shalihah.. jalan menuju tempat yang tinggi tak mudah diraih.. akan banyak medan terjal yang harus dilalui.. ishbir ya shalihah.. Allah selalu jadiin kita kuat kok dengan segala tantangan yang ada.. bismillah..Jangan lupa sering sering mohon doa restu sama orang tua ya. Bagaimanapun langkah sejauh ini belum tentu bisa kamu capai tanpa kehadiran orang orang di sisimu.. semangat ya"

Nasehat dari kakak kelas yang cukup dekat denganku ini, begitu mengena. Tapi, salah satu yang lupa aku syukuri adalah kenikmatan belajar dan menguasai Bahasa Arab. Bahasa ummat Islam, bahasa ahli surga, bahasa yang Rasulullah wariskan. Yang sudah menjadi sewajarnya kita sebagai pemuda Islam menguasainya. Namun, buktinya tak semua mampu dan mau. Tak semua Allah beri kesempatan dan jalan. Tak semua memiliki tekad dan keinginan yang besar untuk belajar. Karena kondisi pendidikan saat ini yang rusak, sehingga memisahkan ilmu Islam dengan ilmu-ilmu duniawi yang untuk menguasai satu bidang saja terpaksa harus menempuh pendidikan bertahun-tahun.

Bahasa terindah dan tertinggi yang tak akan mampu merasakan nya melainkan yang mendalaminya.

Tak cukup sampai situ. Hari Kamis itu aku segera ke masjid Shalih Ja'fari yang berada di sebrang Mahathoh Darosah. Dan memang jadwal rutinku untuk datang kesana setiap hari Kamis. Entah apa yang mendorong ku untuk tiba-tiba mendekati seorang Ustadzah yang sebelumnya sama sekali tidak dekat melainkan menyetorkan hafalan saja. Ustadzah Ummu Islam. Salah satu pengajar Tahfidz dan Tahsin di Markaz Syaikh Nabil. Ibu Mishriyah yang begitu cantik dan masih tampak muda ini selalu murah senyum dan tak pernah marah sekalipun kita sering salah dalam melafadzkan makharijul huruf.

"Ustadzah, ana merasa bosan dan lelah dalam murajaah hafalan. Gimana caranya agar ana bisa semangat lagi?"

"Sayang, kamu apakah tidak ingat keutamaan menghafal Al-Quran?"

"Bagaimana kamu memurajaah hafalan mu selama ini? Selesaikan lah hafalan mu itu setiap sepuluh hari biar tidak berat.."

"Iya ustadzah. Aku sudah menyetorkan hafalan disini sampai Juz 19. Dan untuk 19 Juz itu, aku selalu mengulangnya setiap satu minggu. Jadi satu hari sekitar tiga juz. Dan untuk hafalan baru yang akan kusetorkan lagi, aku menghafal satu atau dua halaman per hari"

"Masya Allah. Itu sangat bagus"

"Iya ustadzah, tapi saya kadang merasa bosan dan lelah. Apalagi aktivitas di kampus dan kegiatan lainnya sangat banyak. Jadi waktu saya untuk murajaah tak lain hanya di bus, dan saat saya berjalan. Saya lelah ustadzah setiap hari seperti itu"

"Jangan kamu lupa untuk memberikan reward pada dirimu sendiri setiap kau selesai satu atau dua Juz. Jadi kamu bisa semangat dan menghargai usahamu.."

"Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al Qur'an dan mengajarkannya. Kamu harus selalu ingat hadits itu. Kelak penghafal Al-Quran bisa memberikan mahkota dan jubah kepada kedua orangtuanya.."

Reward? Itulah perkara penting yang selama ini tak pernah terfikirkan sama sekali oleh ku. Sembilan belas Juz sudah aku setorkan kepada para ustadzah, ustadz, dan Syaikh yang ada di Markaz Tahfidz itu. Tak satu pun juz yang aku berikan hadiah atas perjuangan mengulangnya yang jauh lebih sulit dari menghafal hafalan baru.

Reward? Sesuatu yang nampak remeh, tapi memang berpengaruh besar untuk memberi semangat untuk kita. Bukan untuk itu niat kita, karena janji dan pahala yang Allah sediakan jauh lebih indah dan tak tergantikan. Tapi dengan reward itu, setidaknya kita menghargai jerih payah serta keistiqomahan kita dalam berusaha.

Tak perlu jauh-jauh berfikir. Baju? Sepatu? Khimar? Jilbab? Tas? Makanan terenak di Matham (rumah makan) Asia. Semua itu tak pernah sama sekali terlukis dalam benak. Kitab. Begitu banyaknya deretan kitab yang aku dambakan dan butuhkan, sederet keinginan yang semu itu seakan telah terkubur dalam. Aku putuskan untuk membeli sebuah kitab yang aku perlukan untuk mengikuti sebuah daurah Sirah Nabawiyah dengan menggunakan kitab Asy-Syifa' Bi Ta'rif Huquq Al- Musthofa, karya Qadhi 'Iyadh Ibnu Musa Al-Yahshubiy. Dengan mengeluarkan uang 60 pound, reward untuk Juz 19 dan mungkin sekaligus 18 Juz sebelumnya yang terlupakan sudah terbayarkan.

Walaupun kantong sudah mulai menipis, dan pada saat itu aku berniat untuk menggunakan kitab di PDF di handphone saja, tapi semuanya tertepis. Aku ingat, bukankah membeli kitab akan semakin memperluas rezeki kita? Bukankah infaq terbaik adalah untuk penuntut ilmu? Dan jika kita niatkan sedekah, Allah akan melipatgandakan?

Bismillah, walaupun aku tidak bisa membeli cetakan mu'tamad (terbaik), tapi setidaknya aku tidak menyia-nyiakan daurah yang mungkin hanya sekali setahun diadakan ini. Belajar Sirah Nabi adalah impian ku sejak awal datang kesini. Apalagi seminggu tiga kali. Lalu apakah hanya tak mampu membeli kitab kemudian kita menelantarkan nikmat yang begitu besar ini?

"Ya Rabb, jadikan setiap uang yang aku keluar kan di jalan-Mu mengalir pahalanya kepada kedua orang tua ku. Dan lipatgandakan rezeki itu dengan yang lebih baik", doa ku yang selalu aku bisikkan saat mulai ragu untuk mengeluarkan uang yang tak sedikit demi ilmu.

"Nak, jangan pelit untuk ilmu. Allah itu Maha Kaya", nasehat seorang wanita terhebat yang selalu aku genggam kuat dalam setiap langkahku.

Semangat itu kembali terkumpul dan tersusun layaknya puzzle yang baru saja berserakan di berbagai tempat yang kotor. Satu per satu sudah kutemukan jawaban dari segala ketidaktenangan. Semua pihak layaknya membentak ku untuk tersadar atas segala bentuk kelalaian ini.

Sejak saat itu, aku benar-benar senantiasa mengingat hadits yang menjelaskan keutamaan penghafal Al Qur'an saat rasa lelah mulai menghampiri. Sejak saat itu pula aku perbarui niatku dalam menuntut ilmu, terutama untuk kuliah. Tak boleh lagi terbesit 'kuliah hanya rutinitas, hanya formalitas, hanya mencari nilai dan beasiswa atau sekedar gelar memperpanjang nama'.

Sejak saat itu pula, setiap satu Juz yang sudah aku murajaah dan setorkan, aku memberikan reward untuknya. Tak perlu yang mahal-mahal, tapi apa yang kubutuhkan saat itu, yang tidak terlalu aku pedulikan menjadi terbeli dengan dorongan yang lebih kuat. Memecut diri.

Sejak saat itu, aku selalu melafadzkan hadits-hadits Nabi saat melangkahkan kaki keluar dari apartemen. Menuruni puluhan anak tangga, berjalan menuju Mahathoh Gamalia. "Ya Rabb, jadikan setiap langkah yang kutempuh di jalan-Mu, setiap huruf yang kulafadzkan dari ayat-ayat Mu, setiap majelis ilmu yang kuhadiri, dan setiap harta yang ku keluarkan menjadi pemberat timbangan ku di akhirat kelak dan mengalir pahala nya kepada kedua orang tua ku.."

"Ya Allah jika aku mati hari ini, maka jemput lah aku sebagai Syahidah Fii Sabilik.."

"Man Kharaja Fii Thalabil 'ilmi fa huwa Fii Sabilillah Hatta Yarji'"

Pada Juz 20, aku membeli sebuah kitab Taysir Mustholah Hadits karya Duktur Mamhmud Thohan. Sebuah kitab mu'ashiroh (kontemporer) yang cocok untuk mubtadi' yang sudah jatuh cinta dengan ilmu hadits. Kitab yang ditulis oleh seorang Profesor ternama di Universitas Kuwait ini, memang menjadi rujukan di banyak pesantren di Indonesia. Dan aku baru mengenalnya disini. Sesaat setelah kubeli, aku langsung melahapnya. Bahasanya yang ringan dan renyah membuat siapapun yang membaca tak harus pusing dengan istilah yang masih asing. Dengan membaca ini, setidaknya sangat membantu siapapun yang ingin mendalami Mustholah Hadits dengan kitab rujukan utama yaitu Muqaddimah Ibnu Sholah. Cukup mengeluarkan uang 50 pound, daripada membeli seporsi makanan Padang atau Aceh yang hanya sekali kenyang, atau membeli khimar atau sepasang baju yang mungkin tak kan cukup dengan harga semurah itu.

Untuk reward Juz 21, aku kembali lagi membeli Kitab Ulumul Hadits, yaitu Al-Baits Al-Hastis Syarah Ikhtisar Ulumul Hadits. Kitab karya Syaikh Ahmad Muhammad Syakir ini merupakan penjelasan kitab Ibnu Katsir. Harganya hanya 30 pound, tapi ilmu yang ada di dalamnya tak akan mampu untuk dibandingkan dengan harga setinggi apapun. Sedikit lebih berat dan sulit dibandingkan dengan kitab Ulumul Hadits yang aku beli sebelumnya.

"Jika belum suka atau belum sempat membaca, rasa cinta untuk membeli dan mengumpulkan kitab tetap harus kalian tanamkan", sebuah nasehat dari Ustadzah Millah, dosen di Ma'had ku dulu selalu terngiang saat aku terkadang malu dan sedih saat belum sempat membaca semua kitab yang aku koleksi. Setidaknya rasa cinta untuk mengoleksinya dalam diriku sudah mengalahkan rasa suka untuk mengoleksi barang-barang lain yang tak ada kaitannya dengan ilmu.

Next...

Selasa, 18 Desember 2018

Menjadi Pelopor Bukan Pengekor

"Terlepas Apapun Harakah nya, kalau dia tulen mengenal pergerakan itu pasti ngga akan main-main belajar di Mesir".

Satu pelajaran berharga dari kawan  yang sudah aku anggap bagai kakak. Benar. Betapa indahnya ukhuwah saat sama-sama berjuang di jalan-Nya untuk meraup ilmu. Menempuh jalan menuju surga yang penuh lika-liku. Tak perlu memandang latar belakang, harakah, organisasi atau kelompok. Kita berjalan dalam satu kalimat tauhid. Yang tak hanya menyatukan ummat Islam dari suatu Negeri, atau satu jenis kulit, atau rumpun, atau bahasa tertentu. Semua memiliki peran besar untuk masa depan ummat Islam.

Ukhuwah karena persatuan aqidah memang begitu indah. Suatu hari dalam sebuah daurah Ulumul Syar'iyah yang menghabiskan waktu liburan kami, dan hampir satu bulan penuh selama kami kuliah, kemudian ditutup dengan imtihan marhalah khorithoh itu, semakin mempererat pertemanan kami.

Hurun dan Kak Mutmainnah berasal dari Johor, Malaysia. Jannah yang sangat kental dengan bahasa Medan nya. Kak Firda yang sangat tulen dengan ajaran turun temurun dari keluarga serta lingkungan Nahdhatul Ulama. Orang Jawa Timur yang pasti tak jauh berbeda lingkungan hidup nya dengan diriku sejak pertama kali didengarkan.

Selama sekitar dua minggu, aku Hurun dan kakaknya, kak Mutmainnah, Jannah belajar bersama. Kami bergantian untuk saling mengunjungi tempat tinggal kami. Darrosah dan Sabi'. Sembilan maddah yang akan diujikan itu membuat kami tak bisa main-main. Apalagi terkadang kita tak hadir dalam muhadhoroh di ruwaq itu saat ada jadwal lain yang tak bisa ditinggalkan.

"Hari ini kita harus dapat lima maddah, minimal tiga"

Belajar yang kami mulai sejak pagi, ketika harus mengorbankan kuliah, hingga malam tiba. Jannah pun menginap di rumahku agar sejak pagi bisa segera kita mulai.

"Tak ada jam molor ya. Kalau mulainya kesiangan, nanti cuma bisa dapat sedikit"

Pagi yang sudah memasuki musim dingin itu, membuat pukul tujuh pagi, terbitnya matahari belum sempurna. Kabut dan dingin mulai memcekam.

"Maafkan kami semalam ambik makcik kat Airport. Kite orang tak bisa tidur tempat awak"

Malam itu, syaqoh ku yang sudah aku siapkan untuk tiga kawan yang akan menginap, ternyata yang dua membatalkan.

Salut. Walau mereka baru tiba dari bandara tengah malam, mereka sama sekali tidak melanggar perjanjian untuk datang pagi-pagi buta. Pukul delapan pagi kami sudah bisa memulai belajar. Sarapan nikmat bersama kitab Syarah Arba'in an-Nawawiyyah.

Sekitar sebelas hadits kami selesaikan sebelum sholat Dzuhur. Setelah sholat, dan makan, kami melanjutkan maddah Aqidah. Sebuah kitab tipis, Khulashotul Kalam Syarah Nudzum Aqidah 'Awwam karangan Syaikh Hisyam Kamil memang menjadi kitab favorit bagi Azhary yang baru saja memulai belajar dalam fan ilmu ini. Penjelasan yang tak serumit pada kitab-kitab Aqidah, yang lain membuat kita mudah untuk membaca, memahami dan saling memahamkan. Pembahasan terkait Ilahiyat (Tuhan), Nabawat (Nabi dan Rasul), serta Sam'iyat (perkara-perkara ghaib) yang dikupas secara detail serta ringkas membuat kita harus benar-benar harus fokus. Aku dan Hurun yang sudah mempelajari Ilahiyat secara mendalam di kampus, membuat membaca Khulashoh semacam itu sangat ringan. Kak Mutmainnah yang sudah menyelesaikan S1 nya pun merasa mudah saja untuk memahami. Sedangkan Jannah yang baru saja masuk jurusan Syariah Islamiyah merasa sedikit kesulitan karena materi yang masih cukup asing. Tapi kecerdasan nya menembus segala kesulitan yang ia hadapi.

Hingga adzan asar berkumandang, maddah kedua yang cukup menguras pikiran walaupun tidak banyak itu belum usai. Kami putuskan untuk sholat Ashar terlebih dahulu. Kemudian dilanjutkan hingga sekitar pukul setengah lima. Setelah maddah Aqidah, tanpa istirahat, kami lanjutkan ke maddah Ulumul Qur'an. Kali ini aku yang mendapat giliran untuk menjelaskan sebagimana kesepakatan kami sebelumnya. Kitab Itmam Dirayah Li Quraai Nuqayah yang berisi lebih dari sepuluh fan ilmu itu merupakan Khulashoh atau ringkasan kitab Turats karangan Imam Jalaluddin Abdurrahman Asy-Syuyuthi. Bahasanya yang cukup berat membuat kita tak akan mampu untuk memahami tanpa mendengarkan Syarah yang diberikan Syaikh Yasir Mursi. Bagaikan Imam Syuyuthi zaman now, yang seolah sudah menghafal isi kitab dan penjelasan nya diluar kepala. Jika mengandalkan kemampuan membaca ku yang masih pada batas kitab-kitab kontemporer, maka kitab ini tak akan mampu aku jelaskan. Pilihan bahasa yang sangat mendalam, tepat, dan cukup berat menjadikan penjelasan Syaikh Yasir begitu menarik dan menakjubkan.

Hingga Maghrib tiba, belum ada setengah muqaraar yang sudah kami pelajari bersama. Setelah kak Muthmainnah yang gugur dalam lelap ketika Hurun menjelaskan maddah Aqidah, sekarang Hurun pun gugur saat aku menjelaskan Ulumul Qur'an. Jannah pun menyusul saat adzan isya berkumandang, sedangkan aku masih terus melanjutkan syarah. Berat memang. Berjam-jam berkutat dengan kitab-kitab gundul, apalagi turats yang bahasanya cukup berat.

Tiga maddah yang tidak ringan pun menguras semua tenaga, fikiran. Hadits, Aqidah, dan Ulumul Qur'an. Hingga sekitar pukul delapan malam, akhirnya kami memutuskan untuk berhenti. Hurun dan kakaknya yang tidak bisa menginap karena esoknya setelah shubuh ada dars tajwid dan tahsin  Al Qur'an, akhirnya berpamitan untuk pulang. Sedangkan Jannah sudah nyenyak tertidur di atas shofa. Tak berkutik sedikit pun hingga kedua temannya pulang. Kitab yang kami pelajari diletakkan di atas mukanya menjadikan semakin lelap.

Itu ketiga kalinya kami belajar bersama. Pertemuan pertama juga kami belajar di rumah ku, untuk maddah Ushul Fiqh dengan kitab Itmam Dirayah Li Quraai Nuqayah dan Mustholah Hadits dengan kitab Minhatul Mugits Fii Mustholah Hadits, karya 'Allamah Hafidz Hasan Su'udi, salah seorang Ulama Azhar. Kitab yang sudah masyhur dikalangan pelajar Indonesia yang menempuh pendidikan nya di pesantren ini sangat indah. Singkat, tapi berbobot. Padat juga berat. Walaupun kami belum menyelesaikan semua Mustholah, tapi syarah yang diberikan Syaikh Aiman Abdul Hajar sangatlah mendetail. Tidak kalah seru saat menjelaskan kitab Muqaddimah Ibnu Sholah yang jauh lebih berat. Sedangkan Ushul Fiqh yang sangat masih sangat asing bagi ku, penjelasan Syaikh Abu Yazid sangatlah berat. Apalagi terkadang masih bercampur dengan bahasa Amiyah, dengan gaya penjelasan yang cepat. Dan itu semakin membuat ku tertantang dan penasaran untuk semakin serius mempejarinya. Dengan bantuan Kak Mutmainnah yang sudah sangat memahami Ushul Fiqh dari kuliah, yang notabene selalu dipelajari di setiap tingkat, sudah tak asing lagi dengan semua Mustholah yang ada di dalamnya. Satu hal yang sangat aku kagumi dari kakak ini, semangat dan tawadhu nya dalam menuntut ilmu. Tak pernah merasa malu, gengsi, atau malas untuk belajar apalagi di Ruwaq Ulumu Syar'iyah yang rata-rata diikuti oleh orang-orang awam dari Mesir, atau Mahasiswa Mahasiswi Mesir yang tidak mengambil jurusan Dirasat Islamiyah, atau wafidin wafidat yang masih di tingkat satu atau belum masuk bangku kuliah. Kitab-kitab yang dipelajari nya pun memang untuk merhalah mubtadi', atau pemula, yang mungkin sudah pernah atau bahkan sering dikaji. Bukan halangan sama sekali untuk memulai atau mengulang kembali. Karena memang hakikat seorang yang berilmu itu akan semakin merunduk layaknya padi yang semakin terisi dengan biji beras nya. Semakin berat dan berisi semakin tunduk dan merasa tak memiliki apa-apa.

Pertemuan kedua, kami belajar di rumah Hurun dan Kak Mutmainnah di Hay Sabi'. Kali itu, hari Jum'at terjebak macet Suq Sayyarat, akhirnya ba'da Ashar kami baru mulai. Nahwu dengan Kitab Syarah Al Jurumiyah yang kali ini Jannah yang menjelaskan. Kemampuan nya dalam memahami Nahwu sangatlah aku kagumi. Pantas karena memang dia anak yang sangat berprestasi di Pesantren nya, yang masih pesantren tradisional di pelosok Medan sana. Walaupun baru sampai materi 'Alamat I'rab, tapi banyak hal baru yang aku dapatkan dari kitab karangan Syaikh Khalid Abdullah Al-Azhary. Setelah itu kami melanjutkan Sirah Nabawiyah dengan kitab Nurul 'Uyun Fii Talkhis Sirah Al-Amin Al-Ma'mun Shalallahu alaihi wasallam, karya Syaikh 'Allamah Syamsyuddin Abi 'Abdillah. Karena kitab ini aku beli dari cetakan terbaik, yaitu Darul Minhaj, pilihan beberapa kata yang cukup sulit di dalamnya membuatku betah membuka kamus berkali-kali. Sungguh indah, sedih, dan semakin rindu saat membaca Sirah Baginda ini.

Hingga tanggal 11 November tiba. Di tengah aktivitas kuliah, dan dars, serta daurah Kitab Asy-Syifa, selama satu minggu, dalam tiga hari yang masing-masing tiga maddah, imtihan pun dimulai dari pukul empat sore,  hingga pukul tujuh malam. Istirahat saat sholat Maghrib saja. Masih ada dua maddah yang sama sekali belum kami murajaah bersama, yaitu Tafsir dengan Kitab Jalalain, dan Manhaj Azhary yang merupakan karya Syaikh Muhammad Abdul Shomad Al Muhanna. Ulumul Qur'an pun yang sebelumnya aku jelaskan belum usai.

Sekitar setengah jam sebelum ujian di dimulai, kami sudah datang. Kami berlima belajar bersama secara mendadak. Duduk di sebuah kursi memanjang, dan salah satu dari kami membacakan kitab atau teks rangkuman dengan suara yang sedikit lantang. Waktu beberapa menit itu membuat kami harus benar-benar fokus dan serius. Membaca semua muqaraar tanpa ada yang terlewat, saling membantu dan menambahi.

Satu Minggu, mulai dari hari Sabtu, Senin, dan Kamis itu terasa sangat cepat. Wafidat bisa dihitung dengan jari, dan mayoritas ada ibu-ibu juga mahasiswi dari kampus selain Azhar. Dalam daurah ini, walaupun soal ujian nya tidak sesulit ujian di kampus, tapi dari sana aku bisa tau betapa istiqomah itu sangat penting dan berat. Memuliakan ilmu  yang mungkin nampak remeh adalah sesuatu kesalahan yang besar. Semangat belajar hanya karena nilai, ijazah atau gelar sesuatu yang salah kaprah. Sejak awal daurah, jumlah peserta yang sangat banyak di awal daurah, hingga kelas membludak dan duduk-duduk di lantai hingga berdiri, semakin berjalan semakin berguguran. Apalagi sejak kuliah sudah mulai aktif. Seolah-oleh menjadi penghalang untuk terus melanjutkan daurah yang istimewa ini. Tampaklah dari sana, siapa yang benar-benar belajar Lillahi ta'ala atau sekedar mengisi waktu luang, atau bahkan cuma ikut-ikutan.

Pertemanan kami semakin erat, dan aku melihat keseriusan berada pada teman-teman yang memang lahir dari orang tua yang serius dalam sebuah pergerakan. Memegang erat ajaran dan tempaan sebuah harakah yang entah aku sendiri tidak tahu. Namun, indahnya bersahabat karena ikatan aqidah itu sama sekali tak memandang dari mana harakah kita dan apa latar belakang kita. Iya, karena tujuan kita hanya satu. Menuntut ilmu Lillahi Ta'ala, dengan harapan besar kelak berguna untuk Islam dan Muslimin dimanapun berada.

Ini kisah ku di Ruwaq 'Ulumu Syar'iyah.

Next..

Senin, 22 Oktober 2018

Pesan Allah di Kiblat Ilmu

Pada saat itu, aku dan kak Nida sedang mencari rumah di Darosah untuk tempat tinggal nya bersama adiknya dan beberapa teman adiknya. Setelah setengah hari kami berkeliling, kami pun istirahat sejenak di Masjid Dardiri. Namun karena disana tidak terdapat tempat berwudhu untuk sayyidat akhirnya saat adzan ashar berkumandang kami segera beranjak ke Masjid Azhar.

"Ayo kak... Langsung ke hamam", kataku sambil melangkah jalan lebih cepat. Pintu gerbang masjid yang terbuka setengah itu aku biarkan saja.

"Ehh...titipin aja kali tas nya biar ga berat", timpalnya mencegah langkah ku.

"Oh gitu. Yaudah.."

Segera kami melangkah kan kaki ke dalam masjid yang sudah mulai ramai dengan orang, baik yang hanya berkunjung atau mengikuti dars di ruwaq-ruwaq. Sore itu ada kajian Daurah Muqaddimah Kutubut Sittah yang diadakan selama sekitar tiga pekan. Dan wajar jika semakin banyak yang datang ke Jami' Azhar untuk mengikuti Daurah yang langka ini. Dihadiri oleh Ulama-ulama besar hadits yang berada di Negeri ini. Rencana kami pun akan mengikuti itu setelah sholat Ashar.

"Kak, kami nitip tas ya. Mau ke kamar mandi ambil wudhu sebentar", kuberikan tas ku kepada sekumpulan anak Malaysia yang sudah sangat kami percaya. Sudah menjadi kebiasaan kami untuk menaruh kepercayaan kepada sesama wafidat dari Asia. Baik Malaysia, Thailand, atau Singapura. Sekalipun belum kenal, kami tak kan ragu untuk menitipkan barang penting dan berharga kepada mereka. Mereka pun juga sudah percaya dengan wafidat Indonesia jika memang tak ada kawan yang bisa dititipi barangnya.

"Oh.. iya, boleh", jawabnya singkat dengan senyuman.

Segera kami berdua berjalan ke kamar mandi yang terletak beberapa puluh meter dari Masjid. Karena kondisi hamamat yang sempit dan cukup kotor, menitipkan tas di Masjid memang pilihan yang lumayan tepat. Tapi tidak untuk saat itu. Usai berwudhu kami segera kembali ke Masjid yang sudah selesai dilakukan sholat Ashar berjamaah. Karena cukup mengantre, jadi kami harus sabar menunggu dan rela tertinggal sholat jamaah.

Memasuki kembali gerbang Masjid, melepas sepatu dan menyelusuri lorong yang tak terlalu panjang. Betapa terkejutnya diriku saat melihat segerombolan anak Malaysia yang tadinya duduk di salah satu pojok ruangan salah satu Ruwaq yang tak lain digunakan untuk jamaah Sayyidat sudah tidak ada. Namun tas ku dan kawanku berada disana. Dijaga oleh seorang ibu Mishriyah, yang nampak menunggu seseorang.

"Ya Rabb mereka kemana kak? Tas kita kok ngga dibawa aja?", kataku spontan saat melihat mereka tak tersisa satupun.

"Lahh..iya. Kemana mereka?"

"Wahhh.. aku yakin pasti ada yang hilang. Ada hapeku disana", bisikku dalam hati sudah mulai khawatir.

"Fein shadiqat hena?", tanyaku kepada ibu itu.

Dia bilang mereka masuk karena ada dars, dan menitipkan tas kami kepadanya. Dan benar saja, seketika aku periksa handphone di dalam tas yang tak pernah aku pindah posisi. Di tempat terdalam, di bagian laptop biasanya diletakkan. Nihil. Tak ada. Dan aku sudah mengira sejak melihat tas kami dalam pangkuan ibu mishriyah itu.

"Kak, hape ku ga ada.."

"Apaan sih qon?..", jawab kawanku tak percaya.

"Beneran kak. Aku ngga pernah mindahin tempat hape itu. Selalu aku taruh sini", tangan ku masih berusaha mencari barang kecil itu di bagian tas yang lain "ana udah nebak, pasti bakal hilang"..

"Beneran qon?"

"Kak.. kita harus cari anak Malaysia yang tadi. Mereka kemana? Kenapa ngga tanggung jawab? Kalau emang mau pindah tempat ya dibawa aja tas kita nya.."

"Ya Rabb ujian apa lagi ini? Sabar.. sabar itu pada pukulan pertama. Ikhlas. Kalau memang rezeki Allah kembalikan atau Allah ganti yang lebih baik. Kalau memang bukan rezeki, apalah handphone itu. Semua dari Allah, dan Allah yang berhak mengambilnya", kataku dalam benak. Aku sudah ridho jika memang tak kan  kembali. "Mungkin Allah sedang menugurku. Bahwa hape itu hanyalah bagian dari dunia yang terkadang melenakan kita"

Spontan aku langsung ingin berlari mengejar mereka. Menanyai dan minta pertanggungjawaban. Tanpa sedikitpun berfikir dan ingin mengejar ibu Mishriyah yang tadi menunggu tas kami. Bukan karena tak curiga kepada orang itu. Justru aku yakin kemungkinan besar adalah orang itu yang mengambil. Tapi mana mungkin orang sudah menjaga tas kami, tiba-tiba aku tanya kemana handphone ku. Lebih tepatnya aku tidak berani, padahal setelah aku menyadari ketiadaan nya di dalam tas, orang itu masih sempat berdiri di depan ku beberapa detik sebelum pergi. Tanpa sedikitpun menampakkan wajah bersalah atau setidaknya mencurigakan.

Kami berdua menghambur. Entah aku tak berfikir apapun kecuali mencari segerombolan anak Malaysia yang jumlahnya sekitar sepuluh anak itu. Kutemukan mereka sedang asyik berfoto di latar dalam Jami' Azhar. Dan sebagian dari mereka sudah mengakhiri foto-foto itu, sedang melangkahkan kaki keluar Masjid. Menentang sepatu mereka untuk segera pergi meninggalkan tempat itu. Aku segera mencari anak yang benar-benar aku serahi tas kami. Aku perhatikan satu per satu dari mereka.

"Kak, tadi yang ana titipin tas kan ya?", kataku sambil mencegah langkahnya keluar.

"Hmm.. iye. Ada ape?", jawabannya tetap ramah.

"Kak, hape saya hilang. Tadi kalau mau pindah seharusnya bawa aja tasnya"

"Haahh?..iya kah?", jawabnya dengan bertanya "Maaf kan kite"

"Coba tanyain kawan-kawan kakak itu yang sudah diluar", tanganku menunjuk beberapa temannya yang sudah berada di luar. Melangkah keluar lebih dahulu. Sama sekali tak ada kecurigaan kepada mereka. Tapi tetap diri ini ingin memastikan. Tak ada yang tau siapa pelakunya.

Perempuan berbalut jilbab dan khimar yang rapi itu pun segara memanggil teman-temannya. Kawan yang berdiri di sampingnya pun membantunya. Akhirnya semua berhenti dan bergerombol di gerbang pagar besi yang memisahkan jalan besar dengan halaman Jami' Azhar.

Aku dan kak Nida sudah berada di antara mereka. Sebagian mereka ada yang berdiri di luar gerbang, dan sebagainya di dalam. Tapi obrolan kami pasti akan saling terdengar.

"Ini handphone dia hilang. Ada yang tau tak?", Kakak itu mulai berbicara.

"Tadi kan ana sama dia nitipkan tas kami ke kalian. Kita kan udah saling percaya sesama wafidat walau beda Negara, walau belum kenal. Tapi kenapa dikasihkan ke orang Mesir?", tanpa diminta aku segera menjelaskan.

"Tadi kami nak masuk, tak ada siapapun selain ibu itu. Jadi kami titipkan"

"Orang Mesir mana ada yang bisa dipercaya. Kalau emang kalian mau pindah tempat dibawa aja tas kita. Itu pasti lebih aman", aku benar-benar menumpahkan kekecewaan.
Wajah-wajah polos mereka hanya tertunduk dan merasa bersalah. Walau sebagian nampak tak ada beban. Mungkin itu yang sama sekali tak menyaksikan kami berdua menitipkan tas kepada beberapa orang diantara mereka.

"Kak.. saya itu baru satu minggu disini hape saya sudah hilang. Dan belum lama kemarin hape saya juga diambil waktu di bus. Saya teriak sekencang-kencangnya tak ada yang merespon. Tak ada yang mau bantu..", tambah Kak Nida meyakinkan mereka. Mencoba menjelaskan betapa ngerinya kehidupan di ibukota ini.

"Maaf kan kami. Kami tak tau. Mereka baru saja tiba semalam..",
lidahku seolah tercekat. Semalam?aku membayangkan baru tadi malam. "Ini budak-budak baru saja tiba kat Mesir Sabtu kemarin", tambah yang lain meyakinkan kami.

"Yasudah tak apa.. saya juga minta maaf. Jadi merepotkan kalian", aku pun bisa memaklumi mereka. Setelah mencerna maksud dari perkataan mereka, ternyata mereka memang belum lama datang di Mesir. Belum sampai seminggu. Pelajaran berharga untuk mereka diminggu pertama hidup di Negeri orang.

Kami pun segera bubar. "Coba aku tanya penjaga-penjaga masjid qon..",

"Iya kak..", kami berdua melangkah ke dalam. Diikuti mereka yang satupun akhirnya memutuskan untuk tidak pulang terlebih dahulu. Entah apa yang bisa kita atau mereka lakukan. Kami segera masuk kembali ke dalam Masjid.

"Udah kak, sholat dulu aja biar tenang. Gapapa kalau bukan rezeki Allah ganti insya Allah..", kataku menenangkan kawanku yang nampak jauh lebih shock dan kecewa. Dengan sigap dan berani ia meminta tolong serta menanyai orang yang berada di Masjid itu. Sudah banyak petugas yang kawanku kenal. Jadi bercerita dan mengadu kepada mereka tak sulit. Bahkan salah satu dari petugas itu baru saja kami temui di baalah (warung) belakang masjid saat sebelum kami menitipkan tas kepada mereka.

"Jangankan di Jami' Azhar ya Mama.. di Ka'bah tempat ibadah ada aja orang yang kehilangan hape..", bahasa amiyyah meluncur tanpa ada jeda."Ya Sallam.. Jami' dih makan Lil ibadah, makan liil Ilmi..", tambahnya mengungkapkan kemarahan dengan tangan yang ikut mengekspresikan.

"Kak.. sholat dulu yuk"

"Percuma. Aku tak berharap handphone itu kembali. Sudahlah aku ikhlaskan saja. Tak ada sesuatu yang berharga disana. Toh itu dari Allah dan Allah pula yang berhak mengambil nya", diriku benar-benar sudah ridho. Ringan saja. Seperti tak ada beban atau kehilangan. Jika memang musibah itu menjadi penggugur dosa ku atau penambah pahala bagiku, itu lebih baik.

Setelah kami sholat, aku sempat menitikkan air mata. Bukan karena hilang benda kecil nan berharga itu. Betapa lemahnya diri ini, dan betapa teguran Allah itu selalu tepat sasaran. Mungkin Allah mengingatkan ku agar aku tak terlena dengannya, menjadi jauh dari Allah karena terkadang lebih sibuk dengan benda kecil itu. Betapa nikmat dunia itu tak ada bandingannya dengan ganjaran yang telah Allah siapkan. Betapa dosa ini sangat banyak tak terkira, sehingga harus ditebus dengan cobaan yang memang mengagetkan itu.

"Jadi memang saat ini giliranku untuk kehilangan handphone", itulah kalimat yang terlintas dalam fikiranku sejak kutemukan tempat dimana aku meletakkan handphone kosong. Iya. Memang seperti cerita-cerita masisir, bahwa kehilangan handphone itu sudah biasa. Menjadi santapan harian. Dan kini memang giliranku yang merasakan. Menelan santapan yang seolah menjadi kewjiban kita, setidaknya sekali selama menginjakkan kaki di bumi ini. Inilah secuplik rusaknya kehidupan di zaman kapitalis. Dimana sudah jarang sekali Muslim yang masih berpegang teguh dengan standar halal haram. Berbuat kriminal sudah menjadi jalan yang lumrah untuk mencari uang dan keuntungan. Berawal dari krisis yang mendorong siapapun untuk mendapat penghasilan dari segala jalan.

"Ada temen kakak yang tau cara ngelacak handphone?", usai sholat dan doa kami pun melanjutkan obrolan untuk berusaha mencari.

"Siapa ya?.. oh ada, coba aku telpon", tak perlu berfikir kawanku itu segera mencari salah satu nomor kenalannya. Masisir. Banin.

"Mereka pada lagi dars qon, pasti ga diangkat", beberapa nomor yang kira-kira mengerti masalah aplikasi canggih itu sudah dipanggil. Tak ada satupun yang merespon. "Semua pasti ikut Kutubut Sittah..."

"Qon.. tinggu aku coba bilang ke Syaikh", kata kawanku tiba-tiba sambil melangkahkan kaki keluar dari tempat jamaah sayyidat.

Hanya kubalas anggukan, karena sekalipun aku larang tak akan menghentikan tekadnya. Tak hanya kawanku itu yang bergerak cepat membantuku. Dua anak Malaysia yang ternyata senior diantara mereka, mendekatiku walau dia sepertinya juga tak tau cara membantu. Setidaknya berbela sungkawa menunjukkan rasa penyesalan serta mengakui kesalahan. Seorang ibu penjaga Masjid yang sudah cukup akrab dengan kak Nida pun tak kalah aksinya. Beliau dengan sigap menanyai setiap jamaah yang ada di ruangan dimana hape ku hilang. Walau nampkanya percuma, tapi setidaknya aku sangat berterima kasih atas bentuk kekecewaan nya. Beberapa pemudi yang tak jauh duduknya dari kami pun juga mengungkapkan keterkejutan nya, diikuti dengan doa lirih yang seolah ingin menenangkan ku. Hanya kubalas senyuman, tanpa sepatah katapun.

"Awak.. maafkan kite orang, kite kesilap lah..", anak Malaysia itu mendekati ku. Dari kebimbangan wajahnya itu, justru aku yang berusaha mencoba menenangkan dia.

"Tak apa kak.. bukan salah kalian. Saya yang minta maaf malah merepotkan, dan kalian jadi ngga segera pulang"

Kami pun berbincang dan berkenalan di tempat itu. Tak ada beban yang membuatku kian terpuruk. Disiu justru aku menemukan indahnya persaudaraan sesama Muslim. Rasa percaya dan tanggung jawab.

Ternyata anak Malaysia itu punya aplikasi yang aku sendiri baru tau saat itu. Find Divice. Aplikasi canggih itu sudah terpasang di hape nya tanpa ia sadari. Ia pun tak mengerti cara menggunakan nya. Setelah aku tanya, segera ia membuka aplikasi tersebut.

"Awak masukkan email, dan password, juga number awak saat buat email", dia menyodorkan hape nya kepada ku.

"Waahh... nomor hape lama itu. Nomor Indonesia. Ya Allah, masih ingat ngga ya?"

Akhirnya setelah aku ulang beberapa kali ingatanku, akhirnya kutemukan. Nomor Telkomsel warisan kakak laki-laki ku yang sudah bertahun-tahun menemani ku dari hape ke hape yang lain.

Berhasil. Aplikasi yang langsung terhubung dengan GPS itu seketika menulusuri letak handphone ku berada. Tak jauh hanya sekitar satu kilo meter dari Masjid Azhar.

Tak perlu lama berfikir, setelah kami sepakat untuk mengejar pelaku yang sepertinya tak jauh tinggal di kawasan Darosah, segera kami menghentikan taxi. Syari' Manshuriyah itu yang harus kami datangi. Kami sempat bertanya kepada salah satu satpam di Masjid Azhar tapi tak ada respon sedikitpun untuk ingin membantu. Bahkan dengan enteng menjawab "ana musy 'arif (aku tidak tau)". Hanya jawaban singkat dengan muka yang sangat cuek yang kami dapatkan. Sebenernya kami membutuhkan paling tidak seorang Mishriyah untuk membantu kami bertatap muka dan berbicara dengan lantang jika pencuri itu tertangkap. Namun, beberapa petugas perempuan di Masjid Azhar yang sejak tadi antusias  membantu mencari tak ada satupun yang bersedia mengikuti kami naik taxi untuk mengejarnya. Entah mungkin tidak percaya, atau sebenernya kurang faham dan masih asing dengan aplikasi yang nampak mustahil untuk bisa menemukan benda kecil itu.

Akhirnya kami memutuskan untuk pergi berempat. Aku, Kak Nida, dan dua anak Malaysia yang senior diantara mereka. Walaupun bukan mereka yang kami titipkan tas, tapi rasa tanggung jawab terhadap kesalahan mereka, tak sedikit pun membuat mereka ragu membantu kami.

"Awak... saya kasih sedikit duit untuk awak. Saye berikan ke kawan saye. Maaf lah tak bisa ikut bantu cari", tiba-tiba salah satu anak Malaysia yang sejak tadi tak  nampak dari pandanganku menghentikan langkah ku yang berjalan menuju taxi.

"Kak..kenapa kayak gitu? Ngga usah. Doakan saja, kalau memang masih rezeki kembali", percuma. Aku tak bisa mencegah. Uang itu tidak di tangan ku juga tidak di tangan nya. Tapi di salah kawan mereka yang sudah berdiri di sisi taxi beberapa meter di depanku. Dia pun segera pergi setelah bersalaman denganku. Terburu- buru pulang karena sudah ditunggu kawan-kawannya sejak tadi.

Akhirnya setelah Kak Nida menjelaskan rute yang berada di layar hp kawan Malaysia, juga menjelaskan apa maksud kami mengejar jalan itu, akhirnya sopir taxi itu setuju. Karena tidak semua taxi mau mengantarkan penumpang ke arah yang terkadang tak sejalan dengan tujuan akhir dia. Atau karena jarak terlalu dekat, tak sedikit yang menolak. Kami pun segera masuk. Mobil jadul berwarna putih, mungil dan pendek  versi film Ayat-Ayat Cinta itu meluncur menyusuri jalan satu arah. Meninggalkan Masjid Azhar, melewati Jamiah Banin, Mustasyfa Husain, Pom Bensin di pertigaan jalan, hingga ujung jalan Masyikhah melewati Masyikhah (Kantor Rektorat Azhar) dan belok arah ke kiri hingga bertemu Darul Ifta' kemudian putar arah hingga kembali ke Mahathoh Darosah yang bersebrangan dengan Masjid Shalih Ja'fari. Semua kami yang mengarahkan. Mengikuti arahan GPS yang bersuara itu. Walau sempat salah, dan harus memutar jalan kembali melalui gank kecil, beruntung sopir taxi itu tak marah dan menurunkan kami karena hampir saja tidak bisa mencari jalan untuk berputar arah.

Sampai sebuah pertigaan yang menghubungkan gank dan jalan besar, GPS itu menunjukkan bahwa hanya beberapa menit saja untuk berjalan dari tempat itu. Akhirnya kami turun karena tak mungkin mobil melawan arus. Setelah membayar ugroh (ongkos) sebesar 10 pound, kami pun segera melangkah mengikuti arah itu.

Berkali-kali kak Nida bertanya dan meminta tolong dengan Mishriy yang kami temukan di sepanjang jalan. Bertanya nama jalan dan gank yang ditunjukkan GPS. Berkali-kali pula kami keluar masuk dari gank satu ke gank lain. Bahkan satu gank, yang disana banyak bapak-bapak yang sedang beraktivitas untuk bekerja ikut turut tangan. Kami menjelaskan maksud dari aplikasi yang jelas masih asing bagi mereka. Beberapa dari mereka mau membantu asalkan imarah dan syaqoh yang dituju sudah akid (pasti).

"Musy mumkin ya Ustadz..(tidak mungkin, pak)", berkali-kali kalimat itu muncul. Memang mustahil jika GPS bisa sampai menjelaskan pada imarah nomor berapa, lantai berapa, dan syaqoh ke berapa.

Mulai dari pemilik makhbaz (pabrik dan toko roti), penjaga baalah, tukang cukur, dan bapak-bapak yang lain tak mau kalah untuk ingin tau dan ingin membantu. Walau hasilnya nihil.

"Kita tidak mungkin untuk mengetok satu persatu syaqoh yang ada di imarah ini untuk memastikan dia pelaku atau bukan. Ini bukan adab dan hak kita untuk menggeledah orang. Bahkan kalaupun itu saudara juga bukan hak kami untuk menggeledah".

Jelas sudah. Tidak mungkin kami mendapatkan handphone itu sekali pun ada di sekitar kami. Orang-orang Mesir yang sejak tadi antusias membantu tidak akan mampu mungkin mengetuk satu persatu syaqoh yang ada di imarah itu.

"Kalau mau panggil syurthoh (polisi). Kamu kasih limapuluh atau seratus. Dia yang punya hak untuk menggeledah", usul seorang bapak yang nampak sangat bijak.

Tak perlu lama. Kaki kami segera berjalan menuju jalan besar. Keluar dari gank tersebut. Memanggil polisi hanya satu-satunya cara. Tiba-tiba salah satu bapak yang sejak tadi membantu kami tak mau kehilangan kesempatan. Dia seorang sopir taxi yang seketika menawarkan mobil nya yang terparkir tak jauh dari situ.

Hanya sekitar 200 meter dari tempat kami naik taxi itu, kami sampai di sebuah kantor pusat polisi yang cukup besar. Sepuluh pound kami keluarkan lagi. Disana banyak polisi yang berseragam ataupun tidak. Seketika mereka antusias saat melihat wafidat yang datang meminta tolong dengan penjelasan yang sangat gamblang dari kak Nida. Akhirnya setelah mampu meyakinkan mereka, kami pun naik taxi lagi berempat yang sengaja menunggu kami.

Polisi itu meminta handphone kawan Malaysia kami yang dengan jelas menunjukkan lokasi handphone ku berdasarkan GPS. Setelah diskusi dengan kawan-kawan nya, akhirnya dua dari mereka yang berpakaian kemeja berlengan panjang dengan handy talky yang digenggam tak meragukan bahwa beliau adalah petugas keamanan. Justru dengan tanpa menggunakan seragam akan lebih memudahkan pencarian.

Ada sedikit kekhawatiran pada kami. Dua polisi yang menggunakan motor Vespa itu berjalan di belakang taxi kami. Memegang handphone kawan Malaysia itu, yang kami berharap besar tak akan terulang kejadian yang sama.

Sampai di tempat semula, polisi beraksi. Penduduk sekitar yang sejak tadi membantu kami pun turut menyaksikan aksi mereka. Layaknya detektif yang sedang menyelesaikan sebuah kasus besar yang tak ada yang mampu menyelesaikan kecuali mereka. Masuk gank dan keluar kembali. Masuk gank lain, naik ke sebuah imarah, tak lama turun kembali. Terjadi beberapa kali dan di beberapa gank serta imarah. Kami hanya diam setengah kagum penuh-penuh harap. Jangankan kami ajak mengobrol, bertanya sepatah katapun kepada kami sepertinya sudah tak mereka perlukan.

"Lau samah, sa'ah kem? (Permisi, jam berapa ya?)", Suara seorang ibu yang sedang berjalan dan melewati dua polisi yang nampak sedang serius itu memecah keheningan.

"Sa'ah khamsah", jawab polisi itu setelah mengangkat salah satu alis nya karena kaget. Tawa yang tertahan tak lama terlepas setelah ibu itu beranjak melangkah kan kaki.

"Astagfirullah.." , tawa kita pun menyusul saat ibu itu dengan ringan melangkahkan kaki dengan anaknya meninggalkan kami setelah mendapat jawaban. Para bapak yang sejak tadi berdiri dekat kami pun tak kalah menahan gelakak tawa.

Saat sang polisi begitu serius dan tampak sedang berfikir keras, hening, tiba-tiba dia datang tanpa menyadari siapa yang ditanya dan sedang apa orang yang ditanya itu. Setelah kami cukup puas tertawa, dua polisi itu hanya saling bertatapan dengan memberi balasan senyuman. Mereka pun larut dalam pencarian. Masih menggunakan handphone kawan Malaysia itu.

Imarah terakhir yang dimasuki oleh polisi itu tepat sekali di depan imarah yang akan menjadi syaqoh baru ku. Tepat sekali. "Jika pelaku itu benar tinggal disitu, apakah aku harus bertetangga dengannya? Kabar baik atau buruk kah ini?"

Syaqoh yang sudah aku bayar dengan tiga temanku sejak dua bulan sebelum kejadian itu, pagi itu aku datangi dengan niat ingin dibersihkan sebelum kami pindahan. Sore hari ternyata aku kembali kesitu dengan keperluan dan kasus yang tak terduga.

"Kamu kan yang mau tinggal disini kan?", Pertanyaan itu muncul seketika oleh salah seorang bapak yang bekerja di bawah syaqoh kami. Karena kak Nida pagi itu juga menemaniku ke tempat itu, jadi untunglah bukan aku yang ditanya.
Karena aku yakin pasti akan bingung harus menjawab apa.

Orang Mesir yang memang dikenal sangat pandai mengenali orang sekalipun menggunakan cadar membuat kita jadi sangat mudah untuk diawasi. Walau mungkin ada juga keuntungan yang bisa kita dapat dari sana. Tapi tetap saja rasa was-was sering kita alami.

Sudah berkali-kali dua polisi itu naik dan turun di beberapa imarah. Dan tak ada kabar baik sedikitpun. Lebih tepatnya polisi itu tak mau mengetuk satu per satu syaqoh yang ada di imarah yang sangat mendekati dengan petunjuk GPS.

"Ini sangat sulit. Kita ke gank sana, GPS nya menunjukkan ke arah imarah sini. Saya kesini dia menunjukkan ke seberang. Sedikit-sedikit mudah berubah-ubah. Ini tidak valid"

"Lalu bagaimana?"

"Kalau kamu bisa memastikan imarah dan syaqoh mana pencuri itu, kalian panggil kita lagi. Kita akan dobrak rumah itu"

"Ya Sallam... Apa gunanya kita panggil polisi kalau bukan untuk mendobrak syaqoh-syaqoh itu? Darimana kita bisa tau dan memastikan jika memang pelakunya ada di salah satu syaqoh (apartemen) di antara beberapa imarah di gank ini?", kekecewaan kami dengan dengan kerja polisi yang tampak tak serius itu sudah wajar.

"Ana ta'ban..(aku lelah)", kata salah satu dari keduanya yang aku tangkap sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi dengan pespa mereka.

Nihil. Tak terdeteksi. Tak nampak jejak sedikit pun. Harapan untuk bisa bertemu sudah pupus.

"Ah.. itu hanya bahasa mereka untuk minta dibayar", kata seorang Banin yang akhirnya turun tangan membantu kami.

"Kalau tadi kalian kasih seratus atau dua ratus mungkin dia lebih serius kerjanya. Tapi juga ngga menjamin sampai ketemu"

Dengan usaha terkahir yang kami lakukan aku semakin pasrah, sudah tak berharap lagi untuk kembali. Seorang banin yang tadi sempat sulit dihubungi akhirnya datang. Dengan salah satu aplikasi yang lain masih diusahakan. Dengan mengirim identitas, alamat email, alamat rumah juga kode yang ada pada setiap handphone ke sebuah alamat email yang bisa melacak lokasi handphone itu. Jika memang terlacak alamat email itu akan membalas. Dan itu hanya dalam waktu 24 jam. Jika lebih dari itu, maka sudah tak dapat terlacak lagi.

Awan sudah semakin gelap, adzan maghrib sudah berkumandang sejak tadi.

"Kakak segera pulang. Kalian tak boleh pulang malam kan?"

"Ada sedikit duit di kawan awak"

Tak lama mereka segera pulang menggunakan Uber. Selain karena rumah mereka yang jauh, peraturan untuk wafidat Malaysia memang tak boleh keluar rumah tanpa Musyrif atau pendamping jika malam hari. Rumah mereka yang berada di Manshuriyah diluar Madinah Nasr dan aku sendiri belum tau dimana itu harus ditempuh beberapa jam dengan metro (kereta api).

Aku tak bisa menolak. Uang itu sudah berada di tangan Kak Nida. Dan mereka seketika menaiki Uber yang sudah menunggu setelah mengatakan itu.

"Udah qon. Kamu pake dulu aja uangnya. Nanti diganti kalau udah ada. Ntar aku antar beli"

Kaki kami melangkah ke sebuah masjid yang sudah menjadi tempat peristirahatan juga dars wafidin wafidat. Masjid Ja'fari. Dan aku sangat terkejut saat uang yang diberikan itu sejumlah 1000 pound.
Itu jumlah yang sangat banyak bagiku, walau jika untuk membeli handphone dengan standar handphone lama ku tidak akan cukup. Tapi aku tak tau berapa orang yang mengumpulkan itu.

"Handphone Mesir dapat kalau 1000. Tujuh ratus juga ada"

Aku berusaha optimis saja. Ada sedih dan syukur yang tak terkira. Esoknya aku kabarkan ini kepada ibuku.

"Innalillahi wa Innalillahi rajiaun. Insya Allah diganti yang lebih baik"

Aku tidak mungkin untuk meminta uang lagi di bulan itu. Sudah lebih dari dua kali lipat aku meminta uang dari biasanya karena pindah syaqoh dan membuka syaqoh baru.  Aku katakan jika uangnya cukup dan tak perlu meminta dikirim lagi.
Walaupun bukan sepenuhnya salahku, tapi semua ini pasti diluar kuasa manusia yang lemah dan serba terbatas.

"Masalah nya aku lagi perlu banyak komunikasi dengan adik-adik kelas di Indonesia. Jadi butuh banget pegang hape mas.."

Aku beranikan untuk sedikit menganggu kakak laki-laki ku. Sosoknya yang nampak selalu tenang, sabar dan bersifat dewasa tak pernah menolak untuk mendengar segala kecohan dan keluhan ku. Beberapa hari aku menumpang handphone teman rumahku. Mereka tak keberatan sama sekali. Tapi tetap saja aku merasa sangat mengganggu. Hingga aku jatuh sakit. Pusing. Sakit gigi. Tubuh serasa remuk tak bertenaga. Setiap malam terbangun dan menangis.

Bertumpuk-tumpuk masalah memenuhi kepalaku. Hari-hari itu adalah waktu menunggu turunnya natijah (nilai di kuliah). Aku memikirkan handphone lebih tepatnya banyak hal yang harus dikomunikasikan dengan adik adik kelas. Memikirkan uang 1000 itu, dan pengeluaran yang membengkak untuk keperluan syaqoh baru. Ditambah gigi ku yang sakit menjadi sebab utama pusing yang tak tertolong.

Setelah akupuntur di salah satu klinik milik orang Indonesia, dan aku sampaikan semua keluhan, akhirnya dokter itu menyarankan ku untuk membeli obat herbal untuk gigi. Jika sudah tidak kuat, maka lebih baik ke dokter spesialis gigi.

Selama hampir satu tahun di Mesir baru kali ini aku sakit begitu parah.
Akupunktur yang biasanya membuatku terlepas dari pusing, saat itu sepertinya semakin parah. Aku tidak terlalu peduli dengan gigiku. Karena aku kira bukan itu penyebab utamanya. Hingga beberapa hari, tak ada yang berubah. Obat herbal yang disarankan untuk aku beli di 'Athoroh (toko sembako) sudah kuminum setiap hari.

"Apa penyebab pusing ini? Jangankan untuk berjalan, untuk tidur saja aku tak mampu.."

Hingga akhirnya dokter itu menyarankan agar aku segera ke dokter. Dokter Mesir. Entahlah aku belum pernah kecuali pengambilan darah saja. Rasa enggan bertemu dengan alat-alat pemeriksaan dan bau obat kimia harus ku lawan.

"Alhamdulillah.. Untung saja sakit ini sewaktu liburan kuliah"

Malam itu aku diantar satu-satunya temanku yang tersisa di rumah. Ke sebuah klinik praktek dokter gigi yang mulai buka pukul sembilan malam. Satu jam menunggu. Dan sudah lewat dari jadwal yang ditentukan. Pasien yang sudah mengantri jauh sebelum aku datang hanya berdiam. Menunduk menahan sakit gigi yang tak karuan.

"Sabar ya Jannah.. maafin aku kamu jadi cape nunggu juga", pinta maaf kepada temanku yang sama sekali tak mengeluh untuk mengantarkan ku.

"Janah... Mulutku kayak mati rasa tadi. Ga bisa gerak. Bibirku kaku, miring ke kanan. Aku kira gigiku diputar tau, ternyata dicabut. Ngga kerasa kalau dicabut"

"Iya qon. Ngeri banget. Tapi ga sakit banget kan?"

"Alhamdulillah..langsung lega tau. Udah hilang pusingnya"

Biaya cabut gigi yang cukup terjangkau walaupun tanpa kartu jaminan layaknya di Indonesia, padahal di klinik tempat dokter praktek membuat orang tuaku cukup terkejut. Dokter yang sudah sepuh, ramah dan menjadi langganan wafidin dan wafidat itu tampak sudah sangat berpengalaman untuk menangani hanya sekedar sakit gigi akibat saraf yang bermasalah karena pertumbuhan gigi tidak normal. Perkiraan ku yang hanya diperiksa dan diberi obat ternyata salah. Tanpa berpikir panjang, setelah tau penyebab utama sakit itu solusi nya memang hanya dicabut. Tak perlu banyak cakap, setelah disuntik bius dan beberapa menit menunggu dokter pun beraksi membedah isi mulutku.

Satu kelebihan yang mungkin masih menjadi salah satu jejak adanya Islam. Walau benteng itu telah hancur dan habis, tapi pelayanan kesehatan adalah salah satu yang cukup diperhatikan. Dokter-dokter spesialis di Kota ini sangat banyak di berbagai tempat. Biaya pengobatan di rumah atau klinik tempat praktek pribadi pun sangat terjangkau. Selain itu kita akan mudah menemukan shoidaliyah (apotek) di berbagai tempat. Tak perlu naik kendaraan hanya untuk membeli satu jenis obat. Apotek benar-benar tersebar dimana-mana.

Hanya kalimat thayibah yang terucap lirih dalam hati yang menemani rasa sakit yang tersekat mulut yang dibius.

Sekitar satu Minggu dari itu, sudah ada handphone baru yang aku genggam. Meski bukan handphone bermerk berkualitas bagus, yang terpenting sudah bisa aku gunakan untuk komunikasi dengan orang tua dan adik adik kelas. Selain WhatsApp tak ada yang lebih kuperlukan.

Aktifitas kembali seperti semula. Menghabiskan liburan yang hampir terhitung empat bulan itu bersama -kitab -kitab baru di berbagai majelis talaqi. Hingga pengumuman natijah turun. Atas izin dan pertolongan Allah aku bisa menyandang nilai Jayyid Jiddan.

Tak lama dari itu, pembukaan taqdim minhah (pengajuan beasiswa) tiba. Pengajuan berkas bisa dimulai tanggal 2 bulan September. Masih ada sekitar satu minggu untuk menyiapkan berkas berkas yang diperlukan. Selain itu aku harus menunggu visa yang turun. Karena fotocopy visa adalah salah satu syarat wajib.

Seperti biasa jika akhir bulan adalah waktu penghabisan. Uang habis dan kuota internet pun telah habis. Karena terjadi salah paham dalam beli kuota dengan Rashid (pulsa), akhirnya uang sebanyak 70 pound hilang hanya menyisakan
4 rashid yang hanya bisa untuk beberapa kali menelpon. Uang terakhirku yang sudah aku korbankan untuk membeli pulsa itu melayang tak sesuai harapan.

"Innalillahi wa Innalillahi rajiaun"

Hingga pada tanggal 30 Agustus saat aku sudah bisa beli kembali dengan uang pinjaman sebelum esoknya mendapat kiriman dari orang tua, aku membaca pengumuman yang mengatakan bahwa pendaftaran sudah ditutup khusus untuk mahasiswa Indonesia.

Bulan Agustus belum berakhir. Yang seharusnya pendaftaran belum dimulai, tapi karena diajukan sekitar satu pekan lebih awal, dan karena jumlah Mahasiswa Indonesia yang taqdim auraq (pengajuan berkas) sangat banyak membuat pengumuman itu diberikan. Hanya dalam hitungan 48 Jam. Dibuka tanggal 28 dan ditutup khusus untuk anak Indonesia pada tanggal 29 Agustus.

"Tak ada salah mencoba. Apapun hasilnya kak. Setidaknya sudah berusaha.."

Senin, 24 September 2018

Taqdir Terbaik


"Kak, tidak harus ikut gladi kan? Ana ga bisa soalnya..", siang itu setelah aku pulang dari Hay Asher aku segera menghubungi teman sekaligus kakak kelas ku. Iya sejak aku harus kuliah pada tahun pertama aku berada di negeri ini, semua teman ku selalu aku panggil 'kak, atau mbak'.

Pagi itu aku ada keperluan ke Asher untuk kepentingan dakwah, siangnya aku mengajak sahabat ku, Salma untuk pergi ke Markaz Tahfidz. Rasa cinta terhadap Al Quran yang membuatku semakin dekat dengan-Nya ingin rasanya kuberikan kepada siapa pun yang aku cintai karena-Nya. Yakinlah bahwa kenikmatan yang kita rasakan tak kan rela kita ambil sendiri, melainkan ingin memberikan kepads orang terdekat dan tercinta.

Sudah setahun aku berada di Markaz Tahfidz itu, dan sudah lebih dari setengah Al Qur'an yang aku setorkan kepada para Syaikh, Ustadz, dan Ustadzah di Markaz itu. Dan aku ingin sekali kebahagiaan ini kubagi dengannya.
Setelah melakukan pendaftaran, menulis dan membayar uang 50 pound, kami segera mengantri untuk menyetorkan hafalan murajaah kami.

"Iya, gapapa kok.."

"Alhamdulillah..besok acara nya jam berapa? Bajunya gimana?"

"Insya Allah jam 7, pakai jubah hitam dan khimr merah marun"

Usai tahfidz, tepat bakda Ashar aku harus segera melangkahkan kaki ke Fakultas Ushuluddin Banin yang letaknya hanya 10 menit dari Markaz Tahfidz Syaikh Nabil. Hari itu ada dars yang jauh lebih berharga bagiku. Muqaddimah Ibnu Sholah yang membuatku akan menangis jika harus izin walaupun hanya sekali. Mempelajari Mushtholah Hadits yang sejak dulu selalu menjadi hujaman pertanyaan dalam benak ku. Dan aku tak kan rela untuk terlewatkan satu katapun untuk mendengar apa yang Syaikh Aiman sampaikan. Manisnya setiap kalimah yang beliau katakan dengan bersihnya bahasa Arab Fushah membuat kami hanya perlu fokus tanpa harus merasa berat dengan bahasa Amiyah yang sering kita temukan di bangku kuliah.

Pagi harinya, itu hari yang dinantikan oleh semua wafidin dan wafidat dari semua Negara yang berada di Jamiah Azhar. Mereka yang sudah selesai pada tingkat empat akan diwisuda, dan mereka yang mendapat taqdir atau nilai tinggi pada setiap tingkat (satu hingga tiga) akan diadakan sebuah haflah takrim (acara penghargaan) yang diadakan oleh Parlemen Pelajar Wafidin Al Azhar Asy Syarif.

Dan atas kemurahan-Nya, Allah memberikan ku kesempatan untuk mengikuti haflah ini. Sebenarnya aku merasa tak pantas untuk mendapatkan kesempatan ini, hingga aku tiba di dalam ruangan yang besar ini. Mengingat belajar ku yang hanya sekedar nya, ilmu ku yang belum ada apa-apanya. Bisa duduk menggunakan seragam yang sama, dan selendang berwarna emas bertuliskan "Barlemen Thulab Wafidin bil Azhar Asy-Syarif", dan dibawahnya "Mutafawwiqin 2017-2018". Aku serasa mimpi. Acara ini yang didatangi dan disambut oleh Kibar Masyayikh Azhar, dan Rais (Pimpinan) Universitas Azhar, serta para Rektor dari berbagai Fakultas, juga duta perwakilan dari setiap Negara untuk memberikan penghargaan kepada nama-nama yang dipanggil ke atas panggung. Belum lagi jepretan kamera para kameramen dari berbagai media memenuhi setiap sudut ruangan, bahkan di setiap lorong dan ruang kosong. Aku merasa mimpi berada di tempat ini. Bersama orang-orang terpilih yang memang pantas untuk mendapatkan hal ini.

Aku hanya diam melihat teman-teman yang sedang sibuk berfoto dengan berbagai background yang tampak menarik. Tiga jepretan sepertinya tidak puas. Ingin lagi dan lagi. Dengan berbagai pose dan latar yang berbeda. Tak peduli ada belasan atau puluhan pasang mata yang mengawasi. Para Ikhwan yang ada di kursi seberang juga belakang. Menyaksikan tingkah perempuan yang selalu ingin eksis.

Hanya kalimat syukur yang tak dapat terhitung atas segala nikmat-Nya. Bisa diberi kesempatan untuk melahap ilmu di Universitas Islam tertua ini. Berguru kepada orang-orang hebat yang tak sembarangan dipilih menjadi Dosen pengajar.

Bukan karena kepintaran, usaha atau doa ku yang bisa membuat ku ada disini. Semua itu karena doa-doa orang tua dan pemberian dan karunia Allah. Dan aku yakin segala kebaikan yang dilakukan kedua orang tua ku juga menjadi wasilah yang mengantarkanku meraih semua ini.

Walau kebahagiaan itu tak terbendung, rasa bangga dan bahagia itu seolah membuatku tak percaya, tetap saja dalam hati yang terdalam ada bisikkan yang membuatku tetap tenang dan tidak heboh dengan semua kesenangan itu. Aku tatap satu persatu nama yang dipanggil ke atas panggung. Mulai dari yang mendapatkan taqdir Mumtaz, baik dari tingkat satu hingga tingkat tiga. Baik dari Fakultas Lughoh Arabiyyah, Syariah Islamiyah, Syariah Wal Qanun, dan Ushuluddin. Kemudian dipanggil pula para Wisudawan, yatitu yang telah lulus tingkat empat. Semua Negara ada. Mulai dari Spanyol, Nigeria, China, India, Suriah, Palestina, Vietnam, Malaysia, Australia, Sudan, Brunei Darussalam, terkahir Indonesia dan Thailand yang paling banyak. Bukan karena jumlah mahasiswa yang Mutafawwiqin dari dua negara itu yang banyak. Tapi mahasiswa dari kedua negara itulah yang paling antusias untuk mengikuti takrim ini. Rela lelah megantre saat mendaftar dan juga bersabar menunggu hari yang dinanti. Padahal sejatinya tidak ada sedikit pun kewajiban untuk mengikuti ini. Namun karena ini adalah haflah pertama kali yang diadakan oleh Parlemen Wafidin Azhar Asy Syarif, maka wajar jika tak sedikit yang antusias untuk mengikuti.

Sebelum nama-nama itu dipanggil, beberapa Duktur atau Rektor memberi sambutan. Ada salah satu dari mereka yang menyatakan kebanggaannya kepada mahasiswa Wafidin, karena mereka adalah duta negara untuk membawa risalah Islam ke seluruh dunia. Beliau mengatakan ada sekitar 130 Negara yang memiliki mahasiswa di Al Azhar Asy Syarif. Dan total seluruh mahasiswa non Mesir atau biasa disebut Wafidin dan wafidat sekitar 33000. Sungguh jumlah yang sangat menakjubkan.

Setelah mahasiswa yang meraih taqdir Mumtaz selesai dipanggil, maka berikutnya satu persatu diesbut nama para Wisudawan yang mendapat nilai akhir Imtiyaz  (Mumtaz) dan Jayyid Jiddan 'ala martabtish syaraf. Mereka yang menggunakan selendang hijau, baju toga yang nampak sangat besar serta topi khas wisuda yang berwarna hitam persegi lima itu nampak sangat wibawa walau sederhana. Tentu bisa mempertahankan prestasi hingga tingkat terkahir tidaklah mudah bagi siapapun. Karena semakin tinggi tingkat belajar nya, semakin banyak dan berat pula maddah kuliah nya. Takhasus terutama untuk yang mengambil Fakultas Ushuluddin pasti lebih menguras tenaga serta pikiran. Apalagi Banin yang dikenal lebih tinggi angka kesulitannya dibanding Banat.

Tak banyak yang bisa mendapatkan   nilai ini, sekalipun dari berbagai Negara pasti memiliki nama-nama yang dipanggil dari kalangan mereka. Berbagai macam warna kulit, paras muka, dan bahasa disatukan dalam naungan Al Azhar Asy Syarif ini. Setelah habis nama-nama para wisudawan yang Mutafawwiqin itu dipanggil, maka berikutnya adalah Mutafawwiqin dari tingkat satu hingga tiga yang mendapat taqdir Jayyid Jiddan. Tentu jumlah nya juah lebih banyak lagi. Dan lagi-lagi Indonesia serta Thailand yang memborong nama-nama itu. Satu per satu teman dan kakak kelas ku yang duduk di samping kanan kiri, depan dan belakang, banat dan banin maju ke depan. Setelah nama lengkap mereka, serta asal Negara disebut kan mereka harus segera berjalan ke atas panggung untuk menerima syahadah dari Parlemen Wafidin Azhar oleh panitia yang sudah berdiri berjam-jam disana. Bersalaman dan berfoto dengan Syaikh atau Syaikahah yang sudah rapi berdiri di atas panggung.

Dari situ aku sudah mulai tak tenang. Bukan karena namaku tak dipanggil-panggil, lebih tepatnya jika aku harus dipanggil dan maju ke depan mengambil syahadah itu kemudian akan ada banyak kamera yang akan menangkap ku berfoto bersama salah satu atau beberapa syaikh. Walau tidak menutup kemungkinan yang akan memberikan syahadah itu adalah Dukturah/Syaikhah yang hanya ada satu dari enam atau tujuh Syaikh yang ada di atas panggung itu.

"Bukan kah itu termasuk ikhtilat?" Batinku bergeming. "Mengapa mereka mengganggap biasa saja berfoto dengan yang bukan mahram? Apalagi jika sampai terkesan atau tertangkap kamera dalam keadaan berdua?.."

Hingga pukul satu siang, sang pembawa acara menghentikan acara sejenak untuk istirahat dan shalat Dzuhur. Mayoritas teman-teman ku, baik yang jurusan Syariah, Lughoh Arabiyyah dan Ushuluddin sudah dipanggil satu persatu. Mereka yang duduk di kanan kiri ku, depan dan belakang ku sudah memegang kertas syahadah berwarna merah. Kebanyakan adalah teman setingkat, tapi kakak tingkat pun tak sedikit duduk di beberapa kursi belakang kami.

Ruangan itu semakin sepi, karena kebanyakan bergegas untuk melaksanakan sholat Dzuhur. Aku dan Kak Farah segera keluar mencari hamam Li sayyidat.

Setelah berwudhu dan kembali menggunakan kain kuning emas itu, kami segera mencari musholla yang terletak tak jauh dari tempat berwudhu. Sempit sekali. Tapi beruntung saat kami kesana sedang sepi. Hanya ada beberapa sayyidat saja yang sedang shalat dan hampir selesai.

Sudah pukul dua siang. Dan saat ini nama-nama yang dipanggil tidak lagi nama-nama mutafawwiqin, baik dari tingkat satu hingga yang wisuda. Nama-nama berikutnya dan tepatnya yang terakhir adalah nama para wisudawan yang tidak mendapatkan taqdir Mumtaz atau Jayyid Jiddan. Mereka dipanggil di urutan terakhir, dan tentu jumlah mereka tak terhitung. Bahkan antar satu dengan berikutnya tak dijeda sedikitpun layaknya nama-nama mutafawwiqin, sehingga membuat barisan di jalan menuju panggung hingga atas panggung penuh. Mereka seperti mengantre untuk mendapatkan sesuatu yang sangat berharga. Berbeda dengan nama-nama mutafawwiqin yang dipanggil satu per satu hingga di atas panggung hanya ada satu orang saja sehingga begitu nampak.

"Qonita. ..ana laper..", keluh Kak Farah yang duduk di depan ku.

"Hmm. Iya kak sama. Udah jam dua  pantesan udah laper banget"

"Ga ada snack ya?"

"Katanya sih ada tapi udah habis. Adanya teh..", balas ku memelas.

"Kata siapa?"

"Tadi kata temen ana, mau keluar aja yuk kak.."

"Jauh ga sih? Ehh..tapi kamu belum dipanggil kan?"

"Iya belum."

"Yaudah jangan keluar dulu"

Kak Rahmi. Salah satu teman ku yang mendapat kan beasiswa Azhar tinggal di Madinah Buuts mengerti seluk beluk acara ini. Dan dia pun mendapat nasib yang sama dengan ku. Nama kami belum dipanggil, padahal dia sendiri adalah salah satu pengurus di Parlemen Wafidin Azhar untuk bagian Banat. Saat aku menyerahkan berkas pertama kali untuk pendaftaran ini juga ke beliau.

Anak Aceh yang sangat ramah ini nampak begitu tenang, walau tak dipanggil-panggil namanya. Padahal dia berada di urutan sangat awal, dan sudah terlewatkan oleh puluhan atau ratusan nama-nama mahasiswa/i yang lain.

"Alhamdulillah.. malah ga maju. Malu ke depan", katanya begitu santai saat aku tanya.

Maklum kan banyak sekali yang harus dipanggil. Ada satu lagi teman kami yang sama-sama tingkat satu Ushuludin yang nampak begitu resah dan kecewa saat namanya tak terdengar.

"Ini kan udah nama-nama mutakharijin non mutafawwiqin yang dipanggil, jadi kita ga akan dipanggil lagi", tambahnya meyakinkan.

"Kayaknya mereka juga sama kayak kita kak", kataku sambil menunjuk beberapa mahasiswa berwajah hitam setengah sawo matang. Berjenggot tak terlalu lebat. Layaknya wajah-wajah pemain figur di Film Hollywood. Wajah-wajah India, yang duduk beberapa kursi di depan kami.

"Iya kayaknya, mereka lapor ke Ustadz itu. Yaudah kita kesitu yuk..", ajaknya memebri solusi.

"Iya kak itu Ustadz yang sewaktu itu di Parlemen yang ngurus penyerahan selendang itu"

Kami pun berjalan mendekati segerombolan mereka, dan menjelaskan sedikit maksud kami kepada Ustadz itu. Tanpa panjang lebar beliau sudah faham, karena nasib kami sama dengan sekumpulan Banin itu. Kami pun diminta menuliskan nama lengkap,  taqdir (nilai), jinsiyah (kewarganegaraan), dan firqoh (tingkat).

Kami hanya bertiga. Walaupun sebenarnya pasti masih banyak yang mendapatkan kasus yang sama. Tak lama ustadz itu kembali ke dekat panggung. Nampak dari tempat kami duduk, beliau berdiri di samping pembawa acara yang sedang memanggil nama satu per satu.

Hanya beberapa menit dari itu, satu dua mahasiswa India itu maju ke depan. Dan mereka bukanlah mutakharijin, namun berbaris di antara mutakharijin yang namanya tak habis-habis itu.

"Ahh..lebih baik ga usah dipanggil kak. Yang penting bisa ambil syahadah nya aja Alhamdulillah"

"Iya bener"

Aku semakin tidak kuat dan tidak tenang. Bukan karena itu, tapi perutku semakin panas menahan lapar yang menyiksa. Aku ingin segera memutuskan untuk pulang, tapi disisi lain aku tidak ingin pulang dengan tangan kosong.

"Kak, tadi denger ngga sih ada Duktur yang ngomong yang dapat uang itu Mutafawwiqin semuanya ya? Ana denger alfu junaih dan minhah Azhar?", tanyaku kepada kak Farah yang sejak tadi duduk di kursi depanku.

"Iya. Katanya yang Jayyid Jiddan seribu, yang Mumtaz duaribu"

"Masa sih?", tanyaku tak percaya.

"Nah itu masih dipertanyakan. Mana mungkin jumlah sebanyak ini", jawabnya tak yakin.

Itulah yang menjadi alasan bagiku mengikuti haflah ini. Jika memang ada rezeki yang didapat, apa salahnya? Banyak kitab yang sedang kuimpikan untuk segera dibeli. Ada nazar yang ingin segera kuselesaikan jika ada rezeki lebih.

"Tetap jangan berharap pada manusia. Nanti yang ada malah sakit hati", bisikku pada diri ini yang masih terus bertanya-tanya kebenaran informasi.

"Entahlah ana juga kurang faham. Kalaupun ada mungkin seribu itu dibagi semua yang dapet Jayyid Jiddan", jawaban Kak Rahmi saat kuberi pertanyaan yang sama. Semakin meragukan.

"Sudahlah pasrah saja", batinku menguatkan diri sendiri. "Semoga ada ilmu dan pengalaman baru dari sini"

"Kak, itu kak Nida sama temannya, kakak tingkat kita Ushuluddin juga maju ke depan", kataku sambil menunjuk dua akhwat berkerudung merah yang sedang berjalan ke depan melalui tangga turun. Semakin tertutup oleh ratusan orang yang duduk dan berdiri. Keduanya juga sama seperti kami.

"Belum dipanggil juga mereka?"

"Iya kak. Kesana aja yuk kak, kayaknya mau ambil syahadah nya langsung ke panitia di belakang panggung"

Kami pun segera mengikuti langkah dua kakak itu. Ternyata di dalam salah satu ruangan di belakang panggung itu sudah bergerombol mahasiswa/i dengan berbagai warna kulit. Dari berbagai negara. Semua mendapat kasus yang sama. Mereka melingkari sebuah kursi yang duduk disitu seoang Ustadz berkulit gelap yang sangat ramah. Dengan sabar dan sangat teliti membolak-balik satu per satu kertas syahadah. Ada yang berwarna hijau artinya milik mutakharijin dan berwarna merah untuk mutafawwiqin yang buka mutakharijin.

Kami pun segera melingkar diantara mereka.

"Kalau ada nama kalian atau nama yang kalian kenal, sampai kan", kata beliau sambal membolak-balik ratusan kertas itu. Tak sedikit dari mereka yang rela mengantre hanya untuk mengambilkan punya kawan. Atau sengaja hanya mengambil milik diri sendiri. Dan adapula yang ingin mengambil milik sendiri, justru mendapat belasan nama kawannya. Seorang mahasiswi yang memangku bayi mungilnya duduk di sebelah Ustadz itu. Setiap beberapa kali nama yang tertera dalam syahadah itu disebut, mahasiswi itu selalu mengambilnya. Berwarga negara Brunei Darussalam, dan sepertinya banyak kawannya yang tak bisa hadir.

"Sungguh mulia sekali ibu plus mahasiswi ini", batinku.

Tak lama, namaku pun terpampang. Dan aku segera mengambilnya. Sedangkan kedua kawanku dan dua kakak Kelas yang tadi kami ikuti jejaknya belum mendapatkan nama mereka.

"Kak, afwan ya ana duluan..", kataku berisik di telinga kak Rahmi.

"Iya, gapapa. Hati hati", jawabnya mempersilakan.

Jika bukan karena panasnya perutku yang sudah berteriak-teriak sejak tadi aku tak kan tega pergi terlebih dahulu meninggal kan mereka. Aku sempatkan berfoto dua kali sambil memegang syahadah itu, sekedar untuk dokumentasi dan ingin ku kirimkan ke keluarga ku.

Dalam perasaan yang penuh kebahagiaan itu, aku tetap berbisik dalam hati, "Ini semua hanya penghargaan dunia dan penilaian manusia yang hanya bersifat sementara dan tak selalu benar adanya. Jika hanya ini yang kita harapkan, betapa sia-sia segala pengorbanan, kesabaran, begadang, semua lelah dan peluh. Namun jika karena ridho Allah yang kita ingin kan, kita akan menemukan penghargaan yang lebih berharga, lebih mulia, dan pasti kebenarannya. Kita tak akan silau dan berlebihan dalam mendapatkan penghargaan manusia."

Pantaskah diri ini untuk mendapatkan itu, sedangkan ilmu yang dimiliki masih jauh dari yang diharapkan?

Rab'ah, 20.09.18

Sepekan Bersamamu, Jami' Azhar

Malam itu adalah pertama kalinya aku berjalan sendiri, membawa barang yang cukup berat di pundak dan kedua tanganku. Di daerah yang sudah ku kenal tapi masih sedikit asing bagiku. Gank-gank yang banyak, baalah (warung) dengan berbagai jenis jualannya, serta pemukiman yang bervariasi usia dan kualitasnya.

Pindahan itu belum selesai. Dan aku akan segera menyelesaikan. Membawa barang-barang terakhirku dari Hay Asher tepatnya Gami yang aku titipkan selama satu Minggu di rumah sahabat seperjuanganku itu. Mungkin untuk memindahkan barang-barang terkahir itu aku membutuhkan tiga kali bolak-balik karena hanya mengandalkan kedua pundak dan kedua tangan.

Dan penantian itu semakin berat. Menunggu sosok-sosok yang dicinta karena telah terpisahkan sekian lama. Hanya pesan tertulis yang menghubungkan kita.

Malam itu setelah aku selesai masak dan makan di rumah kak Nida, aku langsung bersiap untuk pergi ke Gamalia. Sebuah bagian wilayah kecil di Darosah. Berada sekitar 15 menit dari Masjid Azhar, dan kampus Banin. Rumah baru yang sudah tiga bulan kami bayar namun tak kunjung kami tempati. Namun liburan kuliah tak lama lagi berakhir, maka sebelum kesibukan kembali menguras waktu kami dan sebelum adik-adik Maba tiba, maka kami ingin segera tinggal di syaqoh itu. Banyak yang perlu diselesaikan dan diurus.

Kulangakahkan kaki beberapa menit setelah adzan Isya' terdengar. Sekitar pukul delapan malam. Belum malam untuk ukuran Mesir memang. Tapi untuk ukuran kebiasaan hidup di desaku, di ujung Provinsi Jawa Timur, di Kota kecil pesisir pantai, isya adalah batas waktu untuk segera menghentikan pekerjaan. Waktu untuk segera beristirahat. Bukankah begitu Rasulallah mengajarkan?

Rasa takut itu seolah sirna, karena memang kehidupan di Negeri ini memberi suasana yang jauh berbeda daripada negeri kita. Malam seolah siang dan pagi hingga menjelang Dzuhur bagaikan tengah malam. Sepi. Tiada kegaduhan. Tenang. Tak ada anak-anak kecil yang berlari-lari atau bersepeda menikmati mentari yang memberi vitamin bagi kulit. Tapi malam itu begitu ramai. Layaknya suasana libur hari Minggu pagi di kampungku. Anak-anak kecil berteriak dan berlari saling mengejar. Para bapak menongkrong di tempat-tempat makan melepas lelah kerja seharian. Dan itulah yang membuat menjadi lebih aman walau harus berjalan tanpa kawan.

Setelah aku pamitan, aku pun melangkah dari apartemen itu. Aku sudah berjanji dengan teman rumah ku untuk mulai malam itu menginap di syaqoh kami. Apapun kondisinya.

Sedikit kisah-ku di apartemen sahabatku. Letaknya sangat dekat dengan Madyafah Syaikh Ismail Shadiq Al 'Adawi. Sebut saja syaqqoh yang berada di sutuh, lantai teratas tepatnya lantai empat. Bangunan tua itu mengingatkanku dengan suasana pedesaan di rumah Kakek dan nenek ku pada masa kecilku. Ubin lantai yang masih kecil-kecil, pintu dan jendela yang khas dengan dua buah daun berlubang bagaikan sisir. Lemari-lemari kayu bermodel jadul yang nampak begitu kuat, dan juga model bangunan serta dinding yang menunjukkan bahwa bangunan itu sudah berumur. Setidaknya ada beberapa generasi di atas kami sudah yang  menginjakkan kaki di syaqoh itu untuk hidup dalam perantauan di Mesir ini.

Imarah yang berlantai empat itu, tiga lantai dibawahnya semua mahasiswa yan berwarga negara Thailand. Ada yang sudah berkeluarga, dan ada yang satu syaqoh hanya ditinggali dengan Banin.

Sebenarnya aku enggan untuk beranjak dari tempat itu. Walaupun kami tinggal berdua, dan posisiku hanya menumpang itu pun karena menemani kak Nida, namun aku sangat merasa nyaman. Entah mengapa aku sangat bahagia di tempat itu, bagaimana pun kondisinya. Mengapa?
Pertama, tinggal bersama kawan yang memiliki satu visi dan pemikiran tak akan membuat kita bosan dan sedih. Walaupun satu atau dua kebiasaan kita yang berbeda, tapi selalu saja ada obrolan yang membuat hidup ini menjadi lebih hidup dan berarti. Entahlah begitu banyak hal yang sulit terungkapkan.

Kedua, syaqoh itu sangat strategis di musim liburan panjang ini. Untuk diriku yang terlalu rakus dengan semua fan ilmu yang dikaji dan dikupas tanpa ada habisnya membuat ku betah saja bolak-balik ke Jami' Azhar, Madyafah, Markaz Tahfidz atau Mudaraj yang ada di Kuliyyah Ushuluddin Banin. Setiap hari selalu ada jadwalku untuk bergelut di tempat-tempat itu. Dan kebanyakan memang di siang atau sore hari. Selama aku tinggal beberapa hari di rumah kak Nida, selalu ada hari yang dinantikan. Aku tak perlu lagi menyiapakan waktu paling tidak satu setengah jam dari rumah untuk datang ke Majlis Kajian Qotrunnada, warisan ilmu nahwu yang begitu menggiurkan. Pukul 10.30 pagi harus sudah duduk di tempat itu. Dan hanya perlu 15 menit sebelum waktu itu aku baru mulai bersiap-siap. Sepuluh menit untuk berpakaian dan lima menit untuk berjalan. Aku pun tak perlu lagi membawa tas. Cukup buku dan pulpen di tangan kanan, dan botol minum di tangan kiri. Berjalan lima menit aku pun bisa duduk paling depan di Madyafah Syaikh Ismail Shadiaq Al-Adhawi.

Tak hanya itu, untuk berangkat ke Markaz Tahfidz yang lebih dekat ke Mahathoh Darosah, aku hanya berjalan sekitar sepuluh menit. Tidak lagi harus berangkat sebelum Dzuhur hanya demi mengejar bus Tsmin atau 80 coret yang menjadi satu satunya kendaraan yang mengantarkan kami dari Hay Asher ke Darosah jika ingin menghemat ongkos. Tak perlu tergesa-gesa demi mengejar antrian agar dapat pertama. Di rumah itu, setelah sholat Dzuhur aku masih bisa tenang untuk berdoa dan makan terlebih dahulu. Dan untuk melancarkan hafalan aku pun masih bisa disana tanpa harus duduk lebih awal di Markaz sebelum ramai dengan kawan-kawan lain yang kebanyakan dari negeri sebelah. Thailand dan Malaysia.

Indahnya berada di lautan ilmu sangat terasa. Tak ada lagi uang yang setiap hari harus aku keluarkan untuk ongkos bus yang harganya sudah dua kali lipat dari saat pertama kali tiba di kota ini. Padahal belum genap satu tahun keberadaan ku disini. Tak ada lagi uang yang perlu aku keluarkan untuk membeli roti di makhbaz (toko roti), atau tha'miyah hanya untuk mengganjal perut ketika harus pulang malam hingga pukul sembilan. Cukup mengisi perut dengan makan teratur walau dengan menu apa adanya, setidaknya untuk setiap waktu makan aku tidak lagi terlambat dan bisa pulang pada waktu nya. Jauh lebih hemat. Jauh lebih nikmat. Aku membayangkan bagaimana perjuangan dulu para sahabat, tabi'in, Imam dan ulama yang rela berpanas-panasan, berjalan jauh dan waktunya habis di luar rumah hanya untuk mengumpulkan satu demi satu riwayat hadits.

Ketiga, merasakan indahnya fajar di Rumah Allah yang merupakan warisan tertua peradaban Islam yang gemilang. Iya. Apalagi kalau bukan Jami' Azhar. Sejak renovasi itu telah usai, sekitar bulan Sya'ban sebelum Ramadhan, kemewahan dan kemegahan masjid itu semakin nampak menakjubkan. Setiap doa yang kubisikkan dalam lirih itu selalu membekaskan basah di kedua pipiku. Shubuh yang sejuk. Udara yang begitu segar. Burung yang bertasbih tanpa henti. Jalanan yang masih lengang, dan lantunan adzan dari beberapa masjid yang saling bersahutan. Disusul dengan murattal yang menyentuh bagi siapapun yang mampu memahami kalam-Nya, suasana itu semakin syahdu. Aku teringat sebuah jalan di salah satu kota di negeri kelahiran ku. Kota yang menjadi saksi tumbuh nya tubuh mungil ku menjadi sosok remaja yang memiliki sejuta impi. Manakah Kota itu?

Yogjakarta. Iya. Tiba-tiba aku merindukannya. Jalanan yang berada di sepanjang Mustasyfa Husain, Jamiah Azhar Banin, Masjid Azhar, dan seberang nya Idarah Azhar, serta Masjid Sayidina Husain memutar ingatan ku dengan jalanan Malioboro di pagi butanya. Hanya saja di depan Al-Azhar ini antara jalur kanan dan kiri dipisahkan dengan besi panjang melebihi tinggi tubuh kita. Dalam setiap belasan atau puluhan meter baru ada lubang untuk menyebrang. Hanya saja tak ada satupun warung makanan yang buka atau setidaknya sedang bersiap-siap untuk berjalan layaknya di kanan kiri jalan Malioboro. Justru sebaliknya. Saat subuh sudah hampir tiba, beberapa menit sebelum adzan berkumandang, baalah-baalah (warung kecil) itu segera ditutup. Mulai yang berjualan makanan pabrik, makanan tradisional khas Mesir, atau kue-kue bergengsi yang rasanya tak tertandingi. Fathair atau manisan. Hanya dua warung yang tersisa setiap kali aku berjalan menuju Masjid Azhar. 'Ashir (warung jus) dan warung kopi yang duduk di sana beberapa bapak-bapak paruh baya juga kakek-kakek yang sudah beruban. Menghisap rokok khas Mesir yang bentuknya lebih mirip dengan terompet. Entahlah aku belum memahami cara mereka manghisap asap dari benda itu. Tak jarang mereka hanya sibuk mengobrol dan tertawa, dan terkadang bermain catur, atau kartu yang sudah tak asing lagi bagi kita. Anehnya mengapa mereka tidak mengakhiri semua permainan, obrolan itu saat mereka sudah mendengar adzan yang sangat dekat. Dua masjid agung berada hanya berbeda meter dari tempat mereka duduk bercengkrama. Masjid Azhar dan Masjid Husain yang letaknya hanya berseberangan.

Benar saja kata orang, sesuatu yang istimewa akan menjadi biasa saat sudah terlalu sering mendapatkannya.

Masjid Azhar pada waktu shubuh itu begitu berbeda dibandingkan di waktu siang dan sore hari nya. Jamaah hanya sedikit sekali. Untuk perempuan hanya sekitar lima sampai sepuluh saja. Dan laki-laki nya pun tidak sebanyak saat waktu Ashar.

Mengapa? Pertama, Ya itulah kehidupan mesir, saat subuh itu layaknya waktu tahajud. Hanya segelintir orang yang mau bangun melangkahkan kaki menuju pusat panggilan Rabb Illahi. Beberapa jam sebelum waktu shubuh banyak yang baru saja mulai tidur. Sehingga Shubuh yang merupakan waktu istimewa, dan beberapa waktu sebelum adzan subuh berkumandang adalah waktu terbaik untuk memohon ampun bukanlah menjadi prioritas lagi. Apalagi yang tak memahami keutamaan ini. Aku yakin, Masisir yang tinggal tak jauh dari Masjid Azhar sangatlah banyak. Tak hanya sepuluh atau dua puluh orang saja. Namun entahlah mengapa mereka menyia-nyiakan kenikmatan Allah yang sangat indah ini.

Kedua, kondisi Azhar memang sudah tak lagi seperti dulu. Usai subuh sudah ramai dengan kajian di berbagai Ruwaqnya. Tiada kesunyian dan gelap karena lampu dipadamkan lagi setelah beberapa menit sholat jamaah usai. Kehidupan dimulai, penyelaman ilmu kembali dilakukan, suara-suara yang begitu menyejukkan dari para Masyayikh terdengar menenangkan. Ummat Nabi yang diberkahi pada pagi harinya begitu terasa. Mengisi setiap ruangan yang begitu ramai dengan mahasiswa dari berbagai penjuru negara. Berbagi bahasa dan warna kulit.

Haahh.. semua itu hanya menjadi cerita. Yang aku sendiri pun tak pernah menyaksikannya. Tapi semua kisah itu tetap saja menyayat-nyatat perasaan ini. Apa sebab itu semua? Kenapa ilmu-ilmu yang berserakan dan tersimpan rapi dalam dada para ulama seolah dibatasi, dihalangi, dan sedikit-sedikit dicurigai? Betapa mahal nya warisan Nabi itu. Seolah-olah semua harus menyesuaikan zaman, sedangkan ilmu itu semakin dibutuhkan dan harus dilestarikan tanpa ada batasan waktu.

Di hari yang ketiga, aku sholat subuh disana. Kami bertiga mempercepat langkah kaki. Tak ingin tertinggal dua rakaat sebelum subuh yang ganjarannya sebesar dunia dan seisinya. Sambil menikmati udara yang segar itu, angin yang menggoyangkan khimar dan jilbab kami, lisan kami tak henti sambil berdzikir. Nampak satu dua masisir wajah Asean berdatangan. Berjubah putih atau abu-abu dengan kopyah bulat serta sorban yang dikalungkan di leher mereka. Iya hanya satu dua. Yang mungkin jika dijumlah kan tak sampai dua puluh. Menakjubkan. Padahal aku yakin kebanyakan dari Banin lebih banyak yang memilih tinggal di kawasan kampus dan Masjid Azhar, tapi mengapa begitu sunyi saat subuh seperti itu? Husnudzon saja mungkin mereka sholat di masjd terdekat dari syaqoh mereka. Yang berada di dalam dari Masjid Azhar. Mungkin di Masjid Imam Dardiri, atau Masjid Khadrawi. Cukup husnudzon saja kepada sesama Muslim untuk menghilangkan kecurigaan, lebih tepatnya kekecewaan.

Setelah para jamaah pulang, kami bertiga memilih untuk menetap beberapa menit disitu, menikmati sisa-sisa langit gelap sebelum semburat merah menampakan dua menara indah di dalam Jami' ini. Sambil melantunkan dzikir pagi dan murajaah hafalan Al Qur'an. Di halaman dalam masjid Azhar masih banyak orang yang menikmati fajar itu dengan bercengkrama bersama kawan atau kerabat. Duduk tanpa alas diatas ubin yang lebarnya hampir satu meter.

Tak ada obrolan sedikit pun diantara kami bertiga. Semua mencari tempat ternyaman yang kami inginkan. Tapi kami kompak untuk tidak keluar dari ruangan tempat jamaah sayyidat berada. Aku bersandar pada salah satu tembok besar nan tebal yang menjadi salah satu penyangga masjid itu. Menatap latar Masjid nan putih bersih tanpa debu yang berarti melalui sela-sela kayu yang menjadi pembatas. Ukiran yang indah pada kayu itu tak membuatku sedikitpun terhalang untuk menatap sepuasanya dua menara yang berjajar di sebelah kubah Jami' ini. Membuatku tak henti mengucapakan hamdalah dan tasbih.

"Tak semua mampu menatap indahnya tempat bersejarah ini"

"Cukup duduk disini saat sejuta kesulitan hidup di Kota ini menghampiri silih berganti. Dengan mensyukuri nikmat-Nya yang tak terhitung, beban terasa ringan", bisikku dalam hati.

Beberapa halaman Al Qur'an kubaca, dan beberapa detik aku tak sadar. Memejamkan mata sekejap kemudian terbangun.  Sudah terang. Dan di pelataran itu nan sunyi.

"Dimana Aida dan Nayla? Mereka sudah pulang? Meninggalkan ku sendiri? Apakah mereka tidak melihat tubuh ku yang sebesar ini?", Batinku sambil mengucek mata dan berdiri beranjak mencari mereka.

Tidak ada sandal di rak sepatu itu selain sandal jepit ungu milikku. Segera aku membuka pintu sedikit untuk memastikan apakah ada sandal mereka diluar. Dan ternyata ada. Dua pasang. Aku segera berjalan cepat menuju ruangan khos akhwat yang dibatasi dengan tembok kayu cantik yang tinggi.

"Ya Salaam.. ternyata kalian disini", kataku sambil sedikit tertawa.

"Ehh.. kenapa kak?", Nayla terbangun dengan suara lirih ku ternyata. Tangan kanannya memegang handphone dan kiri nya memegang Qur'an.

"Lalu...apa yang membuat anak ini tertidur?", tanyaku dalam hati tanpa meminta jawaban. "Bukankah handphone sudah cukup untuk menyegarkan kantuk?"

Di sudut lain Aida terlelap dengan menyandar dinding. Tampak lelah dan nyenyak. Aku pun mengajak mereka pulang, karena perutku sudah memanggil untuk minta diisi. Kami pulang tanpa ada sedikitpun yang meminta atau mengusir layaknya hari-hari sebelumnya, saat aku dan Kak Nida menikmati udara pagi di pelatarannya. Kami tilawah bersama, dan aku diberi beberapa pertanyaan tentang i'rab di dalam beberapa ayat Al Qur'an yang kami baca. Baru mendapatkan beberapa halaman kami sudah diusir. Bukan. Tepatnya diminta untuk pulang, karena semua lampu akan dimatikan. Tapi, kata "diusir" lebih tepat untuk menggambarkan kekesalan kami.

"Mungkin karena kami tidak nampak di luar. Kami menetap di dalam ruangan jamaah sayyidat. Hmm..  jadi dengan cara ini aku ngga perlu kesal lantaran diusir", pikirku sambil melangkah keluar.

Masih segar, sepi, dan tetap syahdu. Tetap mengingatkan suasana jalan di Kota itu. 

Esoknya, hari keempat aku sholat disana lagi. Entah setelah beberapa hari kami sholat disana, hari kesekiannya ada beberapa aparat keamanan yang tiba-tiba berjaga tidak seperti biasa. Dalam hatiku, "apakah kemunculan kami yang tiba-tiba, yang membuat aparat keamanan tiba-tiba ditugaskan di pintu masuk lorong Jami' ini?"

"Bukankah pada awal-awal tidak ada? Apakah karena hanya aku dan kawanku berdua atau bertiga yang membuat kejanggalan bagi mereka? Tidak ada jamaah sayyidat wafidat selain kami sesuatu yang perlu dicurigai? Apakah niqob yang kami gunakan adalah sebuah kesalahan? Bukankah niqob menjadi sesuatu yang wajar bagi perempuan di tanah Arab ini? Dan bukankah ia suatu kehormatan untuk Muslimah? Apa yang salah dari kami?"

Entahlah, saat kawanku membawa tas, mereka meminta untuk agar dibuka untuk diperiksa. Dia berkomentar dengan logat amiyyah yang tak perlu diragukan. Mengungkapkan sedikit keheranan akibat kekecewaan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu ada ini.

Dan hari Kamis itu, aku sengaja berniat untuk menetap disitu beberapa jam setelah sholat subuh. Selain karena sedang shaum, sehingga perut ku tak perlu mengeluh lantaran lapar, aku ingin menulis beberapa hal dalam buku spesialku.

"Sudah lama aku tak menulis disitu"

Tak lupa kubawa beberapa pulpen warna-warni serta Qur'an, juga kitab Qatrunada.

"Siapa tau betah, aku bisa sekalian mudzakarah", segaja semua aku peluk dalam genggaman kedua tangan, tanpa membawa tas sama sekali. Tak ingin menambah kecurigaan, yang sebenarnya tak perlu ada.

Aku tak berfikiran sedikitpun jika akan diusir. Seperti hari sebelumnya, aku memilih duduk di dalam. Agar tak ada satupun yang melihatku.

"Kak qonita ana duluan ya..mau ke rumah Sahah", kata Nayla sambil mengulurkan tangan.

"Qonita ana duluan ya, sakit perut. Kamu mau disini dulu?", kata Aida tak lama. Aku balas anggukan ringan.

"Hati-hati.."

Alhamdulillah aku bisa sendiri. Meski agak was-was, aku mencoba tenang. Aku mencari tempat yang tak akan nampak sekalipun ada orang yang membuka pintu. Dan aku optimis tak akan ada yang mengusik rencana ku. Setelah murajaah hafalan, aku mulai membuka buku coklat kecil untuk menulis kan banyak hal yang sudah menari-nari dalam pikiran. Baru beberapa kalimat, tiba-tiba pintu diketuk keras.

"Fii ahad goa?..(ada orang di dalam)"

Aku mencoba untuk tidak menjawab. Tapi percuma ketukan itu sudah diiringi langkah cepat, memeriksa. Memasang mata menatap setiap ujung ruangan. Dan aku pun tertangkap oleh tatapan nya yang tak kubalas walau hanya sekedar lirikan. Petugas keamanan yang berseragam biru itu segera keluar dan menutup pintu kembali. Mungkin dia pikir bukan tugasnya untuk mengusirku. Dia melaporkan ke kawannya yang tak lain semacam tugas kebersihan Masjid. Kudengar langsung percakapan mereka. Tak lama beliau masuk tanpa permisi. Dan aku pun sudah bersiap untuk keluar.

Dengan basi-basi walau tanpa muka sungkan apalagi permisi, beliau mengatakan semua lampu akan dimatikan dan pintu akan ditutup.

"Huuss... gagal semua rencana ku. Belum ada yang kutuliskan, apalagi membaca kitab yang sudah kubawa", gerutuku dalam hati. "Perasaan kemarin aman-aman aja. Kenapa sekarang diusir", fikirku dalam hati. "Oh mungkin kemarin belum sesiang ini. Dan kami pergi memang saat belum waktunya untuk lampu dimatikan", bisikku mencoba berhusnudzon.

Langkahku gontai. Memang tak ada siapapun disana selain diriku dan petugas-petugas keamanan yang tak hanya satu dua itu. Seakan semua pasang mata tertuju pada diriku. Seakan semua menyalahkanku serta mengggap aneh tingkah diri ini.

Benar. Saat ini, seakan masjid adalah tempat privasi. Yang penuh penjagaan ketat, yang dimasuki dengan izin pemiliknya, yang tidak terbuka di setiap waktu, dan tak bisa berlama-lama disana. Sampai kapan kah akan seperti ini? Dan bagaimana agar Azhar bisa kembali seperti dulu seperti kisah-kisah di zaman kegemilangan Islam? Menjadi pusat ilmu yang tak kan sunyi pukul berapa pun, terlebih di waktu yang sangat utama untuk meraup keberkahan. Menjadi tempat nyaman untuk bermunajat tanpa ada rasa was-was dan buru-buru.

Sepekan bersamamu menuntunku tuk bersyukur atas nikmat yang tiada tara, dan sepekan bersamamu meninggalkan jejak besar. Kesedihan dan rasa kecewa yang entah akan terobati sampai kapan.

Darosah, 24.09.18