Pages

Minggu, 21 Juli 2024

Hijrah: Meninggalkan Kekuasaan Oligarki Liberal Menuju Kemenangan Islam dan Kemuliaan Kaum Muslimin

 Pembukaan

            Ketika Khalifah Umar bin Khattab menentukan awal penanggalan tahun bagi kaum muslimin dengan hijrahnya Rasulullah saw ke Madinah, tak lain dan tak bukan sebab di masa itulah kondisi kaum muslimin sangatlah berubah dari fase sebelumnya di Makkah. Di mana ketika di Makkah mereka direndahkan, diancam, disiksa, dikriminilasisasi, diusir, bahkan dibunuh hanya karena memegang kalimat tauhid, menjalankan perintah agamanya, dan menyampaikan kebenaran yang diyakininya. Tiga belas tahun lamanya mereka menanggung dengan penuh kesabaran dan keteguhan namun tidak memiliki kekuatan untuk melawan dan melindungi diri mereka serta agamanya. Maka ketika telah turun perintah, Rasulullah saw dan kaum muslimin pun hijrah, dimana persitiwa itu menjadi pemisah antara dua fase yang berbeda, dimana Islam memiliki kekuasaan yang menjaga. Oleh karenanya peristiwa itu disebut oleh Umar bin Khattab: dzuhurul Islam wa i’zazul muslimin (Kemenangan Islam dan kemuliaan bagi kaum muslimin)

            Peristiwa Baiat Aqabah kedua menjadi saksi, dimana sejak itu Rasalullah saw telah diangkat menjadi pemimpin negara bagi penduduk di Madinah. Dimana para pemuka kabilah, yang sekaligus para panglima perang yang telah membaiat Rasulullah saw sebagai bentuk penyerahan kekuasaan, perlindungan dan keloyalitasan mereka yang tak akan memihak kepada siapapun selain pada Islam dan Rasul-Nya. Rasulullah saw menjadi kepala negara mereka selama 10 tahun yang kemudian kepemimpinan itu dilanjutkan oleh para sahabat, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, juga khalifah- khalifah setelahnya selama 13 abad lamanya. Hingga akhirnya kekuasaan Islam yang telah menyatukan seluruh negeri kaum Muslimin itu lenyap, sehingga tidak ada lagi kekuasaan, perlindungan, keamanan, dan kemuliaan bagi umat ini.

Kekuasaan dan Penguasa Kaum Muslimin Hari Ini

            Adapu kekuasaan hari ini banyak sekali kita dapati kejanggalan, dan kezaliman. Kezaliman itu bermuara pada perpolitikan para oligarki yang menjadikan sekuler dan liberal sebagai asasnya. Dengan itu mereka melakukan segala cara untuk meraih kekuasaan, dan mempertahankannya. Seorang pemikir bernama Hedrick Smith mengatakan dalam bukunya: “Unsur terpenting politik Amerika adalah money, money dan money”. Indonesia sebagaimana Amerika yang merupakan negara demokrasi pun demikian pula adanya. Maka tak heran jika seorang tokoh politik yang mengatakan “Kekuasaan diperuntukkan bagi siapa saja yang mampu untuk membayar itu”.

Fakta membuktikkan hal itu, dimana biaya yang harus dikeluarkan oleh para calon penguasa tidaklah sedikit. Roharmuzy mengatakan bahwa untuk menjadi anggota DPR membutuhkan dana sebesar 10- 14 milyar. Muhaimin Iskandar juga megatakan untuk menjadi walikota Jakarta membutuhkan dana hingga 40 milyar. Sedangkan gaji mereka pun ketika sudah menjabat tidak akan mencapai angka tersebut. Maka jelas, jika para calon bukan berlatar belakang pengusaha pasti akan disokong oleh para investor dan kapitalis. Uang benar- benar penentu untuk meraih kekesuaan. 

Pork Barrel Politic

Di dalam demokrasi ada strategi politik yang disebut dengan Pork Barrel Politic. Suatu strategi politik dengan cara membuat berbagai program dalam pemerintah dengan menggunakan dana APBN, dalam rangka untuk mendapatkan kepoluleran di tengan rakyat, demi kepentingan dirinya, partainya, atau orang yang didukungnya sehingga masyarakat akan memilih siapa yang dipilihnya. Program real ini bisa berbentuk Bansos (Bantuan Sosial) atau pembangunan infrastruktur seperti transportasi umum, jalan, dan yang lainnya. Pork Barrel ini tidak hanya terjadi di pusat, namun juga tingkat provinsi hingga daerah. Hal ini mengakibatkan adanya populisme dan terbentuknya manipulasi opini public.

            Ketika sejumlah koalisi besar menguasai jabatan mulai dari presiden, Menteri, DPR, MPR, maka pengaruh mereka untuk menetapkan kebijakan termasuk penetapan UU sangatlah signifikan. Maka lahirlah berbagai Undang-Undang yang disahkan mengundang kontroversi lantaran nampak untuk memuluskan agenda para oligarki dan investor, seperti revisi UU Minerba No.3 tahun 2020, revisi UU KPK No.19 tahun 2019, UU Perppu Covid No.1 tahun 2020, UU Omnibus Law no.11 tahun 2020 dan lain sebagainya. Inilah yang dinamakan populis otoriter, dimana kepopularitas penguasa lantaran gaya kampanyenya yang nampak menarik, dan program- program yang menunjukkan kepeduliannyanya terhadap rakyat, kendali penuh terhadap para perancang UU seperti para anggota legislatif, termasuk bentuk otoriter terhadap kelompok kritis di tengan rakyat -yang lagi- lagi dengan perumusan UU-, penguasa pun dapat dengan mudah menetapkan kebijakan yang menguntungkan kapitalis, investor dan oligarki yang merupakan sekelompok kecil yang memiliki kendali terhadap politik, hukum dan ekonomi.

              Populis otoriter adalah perkara yang sangat berbahaya bagi kita semua, karena dengan itu para penguasa mampu mengendalikan tiga komponen penting, yaitu rakyat yang mendukungnya karena kepoluritasannya, para pejabat negara pemegang kebijakan (baik yudikatif, eksekutif, legislative, juga apparat keamanan) yang dikendalikannya dengan give and take, juga ormas yang ditekan daya kritisnya dengan UU, maka ia akan terus mampu mengendalikan perpolitikan dalam jangka waktu panjang dalam periode sebanyak- banyaknya. Semuanya itu untuk melayani oligarki, kapitalis, dan investor.

            Maka jika hari ini rakyat merasa baik- baik saja, karena bisa makan, sekolah, memiliki tempat tinggal, mendapat keamanan, bisa beribadah tanpa ada halangan, sungguh ini menjadi tugas besar bagi kita untuk melakukan tasqiful ummah (pembinaan kepada umat). Karena berbagai kemudahan yang sudah memuaskan bagi mereka lantaran membandingkan dengan kondisi di orde lama. Akan tetapi bagi orang- orang yang mau berfikir mendalam maka akan menemukan bahwa di balik semua kemudahan ini ada banyak perkara yang perlu dicermati, dikritisi dan diperbaiki. Apakah rakyat rela ketika jalan tol dibangun sehingga mempercepat perjalanan, namun nyatanya semua itu harus dibayar dengan pajak? Apakah rakyat rela mendapat bansos 600 ribu rupiah dan sejumlah sembako dalam beberapa waktu sedangkan bergunung- gunung emas diambil para kapitalis karena UU yang dilegalkan penguasa? Apakah rakyat rela mendapat pendidikan yang gratis namun pendidikan itu membodohi mereka agar tidak kritis terhadap para penjajah, kapitalis, oligarki, dan investor yang terus meraup SDA-nya?

Jika umat ini tidak sekedar melihat yang nampak di permukaan saja, maka umat akan sadar bahwa kita memiliki problem besar yang harus difahami akar problem tersebut, seperti apa standarisasi yang benar dalam pengurusan umat baik dari aspek pemerintahan, ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya. Dengan adanya pembinaan maka umat akan sadar bahwa tidak ada standarisasi yang lebih baik dan manusiawi selain yang bersumber dari Islam.

Hukum adalah Produk Kekuasaan

            Kerusakan yang terjadi di dalam sistem demokrasi sekuler merupakan kerusakan dari akar. Pada awalnya demokrasi ingin berusaha untuk mengkritik sistem Kerajaan yang menjadikan pembuat dan pelaksana hukum dipegang oleh para penguasa saja, agar menjadi dua hal yang dipisahkan. Maka dibuatlah lembaga legislatif sebagai pembuat hukum dan lembaga eksekutif sebagai penegak dan pelaksana hukum.

            Akan tetapi nyatanya semua itu gagal, karena pada faktanya anggota legislatif dan eksekutif adalah pilihan rakyat dimana rakyat memilih orang- orang yang sama, yang punya kepentingan sama, dari partai yang sama. Anggota legislatif pun dibayar oleh eksekutif. Maka dari itu, hukum yang dirancang oleh lembaga legislatif pun bisa dipesan dan dikontrol oleh lembaga eksekutif seusai keinginan dan kepentingan mereka. Maka jelas hukum itu dibuat karena keinginan penguasa, bukan diangkatnya penguasa dalam rangka menjalankan hukum.

            Hari ini bisa kita lihat hukum dibuat untuk melakukan legitimasi dan melindungi serta menjaga kepentingan agar tetap berjalan mulus sesuai harapan. Di dalam negara kekuasaan yang terjadi seperti hari ini ada tiga yang mereka pegang: ambilah hukum yang berguna untuk kekuasaan, dan rubahlah hukum yang menghalangi kekuasaan, dan buatlah hukum untuk memuluskan kepentingan kekuasaan.

            Inilah yang menjadi pembeda antara sistem demokrasi dengan sistem Islam yakni khilafah. Di dalam demokrasi siyadah wa sulthah (kedaulatan atau pembuat hukum dan kekuasaan) milik umat, walau faktanya adalah milik oligarki, investor dan kapitalis. Sedangkan di dalam Khilafah siyadah (kedaulatan) itu milik syari’ (Allah swt dan Rasul-Nya), sedangkan sulthah (kekuasaan) itu milik umat, yakni penguasa atau Khalifah adalah pilihan umat. Maka penguasa di dalam Islam itu tidak memiliki wewenang untuk membuat hukum, karena tugasnya adalah munafidz ahkam (pelaksana hukum) saja.

            Sistem demokrasi yang berlandaskanan sekulerisme, maka hukum yang dibuat adalah berlandaskan hawa nafsu. Sedangkan  di dalam banyak ayat, Al-quran menggambarkan bahwa hawa nafsu itu pasti bertentangan dengan al- haq (kebenaran) sebagaimana di dalam surat Al- Mu’minun ayat 71. Maka, selama tidak menggunakan sistem yang sudah diwariskan oleh Rasulullah saw dimana semuanya itu dilandaskan oleh wahyu, maka sudah pasti sistem itu hanya dilandasi dengan hawa nafsu manusia. Sedangkan hawa nafsu itu jika diikuti maka akan menimbulkan kerusakan di bumi dan langit serta semua yang ada disana.

Antara Pragmatisme Politisi dan Apatisme Masyarakat

            Faktor terbesar yang menjadikan perubahan hari ini terasa begitu berat adalah adanya politisi yang pragmatis dan masyarakat yang apatis. Ketika para politisi hari ini  memberikan  bantuan sosial, membangun berbagai sarana dan fasilitas yang penuh dengan kemewahan masyarakat pun terpana dan tersandra. Hal itu tak lain karena: pertama, merosotnya taraf berfikir mereka yang menjadikan kebahagiaan hanya sekedar beruba fisik dan terpenuhinya kebutuhan perut. Kedua adalah sudah begitu jauhnya pelayanan penguasa untuk masyarakat dari standar kelayakan, sehingga ketika diberi bantuan yang tak seberapa menjadi sesuatu yang nampak begitu berharga. Padahal sejatinya penguasa yang memiliki power dan wewenang, sebagai pelayan dan pengurus rakyatnya bisa memberi jauh dari apa yang mereka tunjukkan sekarang.

            Para penguasa yang pragmatis ini pun ketika memberikan bantuan dan membangun fasilitas fisik untuk rakyat pun bukan tanpa tujuan, karena bagi mereka politik itu transaksional. Semua itu mereka lakukan tak lain untuk mencari muka agar rakyat terus berada di pihaknya dan mendukung siapapun yang didukungnya.   

Hijrah: Langkah Perubahan

            Hijrah secara bahasa bermakna at-tarku (meninggalkan), dimana para ulama mendefinisikan dengan tarki authan (meniggalkan tanah air) yakni intiqal min dar kufr ila dar islam (berpindah dari negeri kufur menuju negeri Islam), atau ada juga yang mendifiniskan hujran itsm wa ‘udwan  (meninggalkan dosa dan permusuhan), atau ada yang mengatakan al muhajir man hajara ma nahallah ‘anhu (orang yang hijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang Allah larang)

Perubahan harus didasarkan pada kesadaran dan dilandasi dengan keimanan. Karena hanya dengan itulah maka sesorang yang hijrah akan istiqomah dan teguh memegang kebenaran.

Oleh karena itu ketika kita ingin mengajak umat ini untuk berubah maka umat ini harus disadarkan terlebih dahulu. Bagaikan orang yang sakit, jika ia tidak sadar bahwa dia sedang sakit maka ia tak akan berusaha mencari dokter dan meminta obat. Penyadaran umat secara keseluruhan memang perkara yang mustahil, akan tetapi perubahan umat agar mereka mau menegakkan Islam perkara yang sangat mungkin diwujudkan.

Penyadaran itu harus dimulai dari tiga hal, yaitu adanya pembinaan masyarakat dari berbagai kalangannya, suatu kelompok atau partai yang senantiasa menjadi motor penggerak, dan para tokoh yang senantiasa ada silih berganti di tengah masyarakat.

Hijrah juga itu harus senantiasa dilandasi oleh keimanan, yakni ketika Allah swt dijadikan sebagai satu- satunya alasan dan tujuan, kecintaan kepada-Nya jauh lebih besar daripada apa yang dimiliki, dan ketika loyalitas hanya kepada Allah swt saja. Dengan begitu segala resiko, kesulitan, tantangan dan pengorbanan dalam hijrah itu akan terasa nikmat dan ringan, karena dengan itu seorang yang beriman akan semakin dekat dengan ridho-Nya. Rasa takut kepada apapun kepada selain-Nya juga akan mudah untuk dilawan. Allah swt pun akan ganti dengan kelapangan dan keberlimpahan sebagaimana di dalam An-Nisa ayat 100.

Oleh karena itu jika jangan sampai para pemilik kekuasaan hari ini yang kelak akan Allah swt mintai pertanggungjawaban akan mendapatkan penyesalan karena siksa-Nya di neraka, lantaran mereka tidak mau melakukan hijrah dengan berbagai alasan yang dibuat-buatnya, sebagaimana yang Allah swt jelaskan di dalam surat An-Nisa ayat 97.

Maka perubahan itu harus kita mulai dengan senantiasa menjadikan Rasulullah saw sebagai teladan. Dimana kekuasaan yang beliau bangun berawal dari hijrahnya mereka dari suatu tempat dan keluarga yang sangat mereka cintai. Akan tetapi karena keyakinan akan pertolongan-Nya, dan negara itu dibangun semata- mata karena perintah-Nya, maka dengan itu Allah swt mengokohkan kekuasaan itu bahkan dapat menaklukkan Persia dan Romawi dimana merupakan imperium terbesar kala itu. Negara yang dibangun ini menjadi peradaban terbaik, terbesar, terkuat, terlama dan menjadi adidaya, bukan karena semata- mata bangunan fisik atau kemewahannya, akan tetapi karena pemikiran yang cemerlang yang dimiliki oleh para pemimpin juga rakyat yang dipimpinnya.

Maka sudah menjadi kewajiban kita untuk terus berdakwah di tengah umat dengan memaparkan kerusakan yang sudah nyata yang semua itu adalah akibat dari kemaksiatan yang terus dilakukan oleh manusia hari ini. Kemaksiatan berupa meninggalkan kewajiban dari-Nya dan terus melakukan perkara yang dilarang-Nya. Kemaksiatan yang terus dilakukan secara komunal dan struktural, sehingga dampaknya pun dirasakan secara komunal.

Wallahu a’lam bish showab.