Pages

Rabu, 02 Januari 2019

Do',a Nabi Musa Di Negeri Madyan

"Ingatlah, kita adalah musafir dan thulabul 'ilmi. Apapun yang keluar dari lisan kita itu mustajab. Maka pastikan apa yang kita ucapkan adalah kebaikan"

"Kita ditanya semua mba. Kamu Muhamadiyah atau NU? Ya aku jawab bukan dua-duanya"

"Gitu yaa.."

"Ta'ashub banget. Ana ngga suka debat kan"

"Iya. Sama teman serumah kan ngga enak kalau musuhan. Ya, ini emang jalan kita Sal.. Shiraul Fikr benar-benar kita rasakan setiap hari. Semoga jadi ladang dakwah dan ladang pahala"

Langkah kami semakin cepat, melewati pasar yang sudah sunyi tak seperti dulu. Setelah penggusuran yang sangat kejam itu, para penjual bisa dihitung jari yang berada di suq madrasah itu. Hanya toko-toko yang berada di gedung yang resmi saja. Mahathoh tremco yang sangat ramai itu membuat suasana siang usai Sholat Jumat terasa kehidupan baru dimulai.

"Itu bus merah udah jalan ke arah Tabbah mba"

"Yaaah... Gara-gara kelamaan ya sal. Udah jam dua sih"

"Gapapa mba. Insya Allah ada lagi", dengan santai Salma menjawab. Mencoba menangkanku yang merasa bersalah. Menjadi penyebab utama terlambatnya kami mendapat kursi di bus merah tsmanin yang setia mengantar kami ke Darosah.

Hari itu seperti biasa. Rutinitas kami berdua yang terus kami pertahankan selama hati ini semakin menyadari kewajiban tuk mengemban visi besar nan penting itu. Mengaji Islam intensif untuk memahami Islam secara kaffah serta menjadi bekal kami untuk berdakwah.

Azhary yang ideologis itulah yang menjadi impian kami yang mungkin hanya dimiliki segelintir pelajar dari puluhan ribu mahasiswa Azhar, terutama wafidin dan wafidat.

Hari Jumat yang menjadi ujian bagi siapapun yang ingin melewati lalu lintas di Hay Asher. Mulai dari Musallas, Gamie, Bawabat Tsalis, Bawabat Tsani, dan Bawaabat Awal dipenuhi dengan mobil yang memiliki umur bervariasi. Dan kami merasakan luapan mobil yang dijual semakin tak karuan. Macet bisa berjam-jam. Tak bisa gerak. Mundur sekedar memutar arah apalagi maju. Klakson berbunyi saling bersahutan.

Itulah mengapa kami memilih jalan cukup jauh ke Mahathoh akhir Hay Asher untuk mengejar bus Tsamanin yang mengambil jalur khusus di hari Jumat itu. Ia memilih memutar arah tidak melewati jalur biasanya agar tak terjebak macet. Berbalik arah melewati Tabbah, Ma'syarawi, Tsamin, Awaal Sabi'. Selain karena ongkos akan lebih murah, karena kami tidak harus dua kali naik transportasi, selain itu jalur melalui Tsamin akan menjadi jauh lebih cepat walau sebenarnya lebih jauh. Lebih tepatnya karena macet itu yang membuat kami memutuskan untuk tidak lewat Sabi' walau harus menunggu bus merah.

Tapi karena Allah punya rencana lain, kami pun tak dapat apa yang kami ingin kan.

"Kita tunggu 5 menit. Sudah setengah jam kita menunggu. Kalau ga ada kita naik tremco ke sabi'".

Akhirnya kami harus melewati jalur macet itu. Menunggu tremco yang ke Hay Sabi' pun perlu waktu, karena memang banyak yang memilih tidak mencari penumpang dengan resiko yang akan menghabiskan waktu dan harus berlama-lama di tempat yang tak bisa bergerak karena tumpahan manusia yang menjual mobil mobil mereka di sepanjang jalan. Entah mengapa saat saat itu, penjual mobil seakan semakin tak karuan. Apakah krisis ekonomi yang membuat mereka gemar sekali menjual mobil mereka kemudian membeli lagi yang lebih terjangkau? Atau hanya sekedar gaya hidup yang sudah menjadi kebiasaan yang mengakar di dalam masyarakat?

Tremco yang kami naik memilih jalur dalam, walaupun sang sopir sempat ragu berkali-kali. Putar jalur, masuk gank, begitu terjadi beberapa kali. Bahkan melawan arus di jalan besar yang cukup ramai dan kendaraan berjalan dengan kecepatan lebih dari 30km/jam. Seakan tak ada rambu-rambu yang sama sekali perlu mereka indahkan. Tak ada satu pun polisi yang menegur atau menangkap para pelanggar itu. Rasa kecewa dan takut bercampur aduk dalam benak kami. Hanya dzikir yang menenangkan saat dalam kondisi yang mengerikan itu. Layaknya pembalap yang tak mengenal aturan-aturan lalu lintas saat di medan pertandingan.

Jalur yang masih nampak asing dari biasanya yang kami lewati itu, benar-benar aku nikmati dengan Hamdallah berkali-kali. Pemandangan yang bersih, juga beberapa ratus meter melewati gurun pasir kering namun begitu eksotis itu nampak jelas ketika matahari di akhir waktu Dzuhur bersinar.

Tiba-tiba, tremco itu berjalan ke kanan menyingkir dari semua kendaraan yang seolah saling berlomba untuk mendapatkan jalan yang luas. Kami tak faham apapun. Setelah sopir itu turun, dan disusul beberapa penumpang yang akhirnya turun dan pergi, kami baru bisa menyimpulkan bahwa ban tremco itu sedang bermasalah. Artinya waktu kami semakin tersita lagi.

"Ban bocor? Dan ini di jalan yang tidak dilewati bus atau tremco apapun yang ke arah Hay Sabi'?"

"Sabar itu pada pukulan pertama", sebuah pengingat bagiku saat ku pandang muka sahabatku yang nampak pasrah dan sama sekali tak marah dengan kondisi yang sangat mengecewakan yang bertubi-tubi itu. Tak ada satu pun kata yang keluar dari lisannya selain istighfar dan "sabar..sabar"
Setelah dikecewakan dengan tidak adanya bus merah, menunggu tremco yang cukup lama, melewati jalan yang begitu padat, ditambah ban bocor sedangkan perjalanan ke Hay Sabi' masih lumayan jauh. Pilihan kami hanya dua, menunggu ban bocor itu diperbaiki atau segera mencari kendaraan lain. Itu pun kami harus berjalan beberapa ratus meter untuk ke jalan besar yang dilewati oleh kendaraan ke arah Hay Sabi'. Semua penumpang sudah memutuskan hal itu sejak tadi, tapi kami berdua dan sepasang suami istri bersama dua anak kecilnya masih tetap disitu dan mencoba membantu sopir itu. Salut. Tak ada amarah dan ledakan emosi yang biasanya sering kami saksikan saat penumpang kecewa dengan sang sopir.

"Insya Allah Khair", beberapa kali bapak muda itu mengatakan kepada sopir. Setidaknya walaupun tak bisa membantu secara fisik, bapak itu tak menampakkan kekecewaan dan kemarahan yang tak akan memberi solusi sama sekali.

Tak ada kata maaf, atau basa basi sedikitpun dari sang sopir. Kebingungan kami pun tak akan berarti di hadapannya. Keputusan kami sudah bulat. Dan hanya beberapa detik setelah berdiri di pinggir jalan besar, tremco ke arah Hay Sabi' pun lewat.

Adzan Ashar sudah berkumandang sejak tadi kami berhenti ketika ban itu bocor. Niatku untuk ingin menikmati sore di hari Jum'at untuk belajar di Masjid Azhar menjadi hampir sirna. Musim dingin sudah mulai tiba. Waktu siang lebih singkat. Sehingga antara waktu Ashar ke Maghrib akan berputar sangat cepat. Sampai di Mahathoh Hay Sabi' kami pun harus menunggu beberapa menit sampai bus 24 Jim berjalan ke Darrosah.

Lapar. Perkara biasa yang setiap Jum'at pasti akan kami rasakan setelah pulang bimbel itu. Ingin pulang segera untuk menjalankan kewajiban-kewajiban yang membuat kami tak sempat memikirkan perut untuk sekedar di ganjal. Kalaupun membawa bekal, kadang tak sempat untuk membuka.

Niatku untuk belajar dan menikmati waktu mustajab saat akhir waktu Ashar di hari Jum'at di Masjid Azhar tak boleh gagal. Walaupun sudah terlewat lebih dari satu jam setelah waktu ashar. Setelah sampai di Mahatoh Darrosah, kami pun berjalan bersama sampai di persimpangan depan Mustasyfa Husain (Husain Hospital). Salma harus memasuki sebuah gank yang berada tepat di sepanjang Rumah Sakit itu untuk menuju rumahnya di Markaz Ushuluddin.

Selama berjalan menuju Jami' Azhar aku berbisik "Rabbi Inni lima anzalta ilaya min khairan faqir", doa Nabi Musa yang Allah abadikan dalam Al Qur'an saat melarikan diri dari kejaran tentara Fir'aun menuju negeri Madyan. Ketika beliau tak membawa apapun selain iman yang ada dalam hatinya. Ketika kelaparan dan tak ada siapapun yang dikenalnya, dan tak ada apapun yang dimilikinya. Sambil memanfaatkan waktu untuk berdzikir dan menikmati semburat merah di langit sepanjang Jamiah Banin (Kampus Ikhwan), hingga Masjid Azhar, tiba-tiba ada seorang bapak berpakaian rapi sederhana yang menghentikkan langkahku. Aku kaget dan setengah takut, karena memang baru kali itu ada seorang laki-laki Mesir yang mengajak berbicara dan menyentuh pundak ku seolah-olah keinginan nya agar aku berhenti sangat penting.

"Sawani suwayya.." (tunggu sebentar)

"Le ya Ustadz..?", (Kenapa?), jawabku gugup walau berusaha tenang.

Bapak itu langsung mengeluarkan sebuah plastik berisi makanan khas Mesir yang diambil dari kresek yang dibawanya. Fathiroh. Roti hambar kesukaan ku yang cukup sering aku beli di makhbaz (pabrik dan toko roti) yang tersebar di mana-mana. Walaupun tanpa ada madu, coklat, atau gula pasir yang membuat rasanya lebih lezat, fathiroh seperti itu sudah menjadi salah satu makanan Mesir favorit ku yang masih mempan di lidah Jawa ini.

"Syakirin ya Maulay.." (Terimakasih banyak tuan), kataku singkat saat tangan ku sudah menggenggam plastik bening berisi fathiroh.

Belum selesai. Bapak itu pun mengeluarkan setumpuk recehan kertas uang lima pound dan memberikan satu lembar-nya kepadaku. Seketika langsung menggamkan uang kertas berwarna biru itu ke tangan kananku. Sempat ku tolak, dan mencoba untuk aku kembalikan, tapi tak berhasil.

Setelah muncul beberapa kalimat untuk minta didoakan dan juga mendoakan ku, bapak itu langsung beranjak. Dan aku hanya sempat mengucapkan terimakasih lagi.

Aku pun melangkah kan kaki dengan tetesan air mata yang aku coba untuk ditahan. Apakah batin ku yang sejak tadi mengeluh karena lapar telah Allah dengar? Kemudian dengan mudahnya Allah mengabulkan saat aku berjalan menuju Masjid Azhar.

Tapi itu bukan yang pertama kalinya. Di hari yang sama, saat aku pulang bersama Salma, dan berniat untuk menginap di rumahnya, kami sempatkan untuk beli Tojin Bil Lahm (Makruni dengan daging) di Kusyari Syaikh yang letaknya tak jauh dari rumah lama ku yang berada di Gami', Hayy Asher.

Selama liburan termin 2 itu, hampir setiap Jum'at dia menginap di rumahku karena suatu keperluan. Dan kali ini kami bergantian, dan ada rencana kami untuk berjalan-jalan ke Syari' Muidz, yang berada tak jauh dari Masjid Sayyina Husain bin Abi Thalib. Salma memaksaku agar dia yang membayarkan.

"Gantian mba. Mba kan tamu jadi aku yang melayani"

"Ya sudah lah semoga dibalas Allah", setelah lama berebut untuk menggantikan uangnya, aku kalah untuk mengalah agar tak ribut di jalan.

Kami pun menunggu bus di pinggir jalan, tepat di sebrang Masjid Ar-Rahman. Masjid yang menjadi tempat favorit ku untuk menyendiri, terutama untuk belajar atau mengahafal. Tidak terlalu besar, tapi selalu bersih dan tenang. Banyak sekali stiker dan tulisan yang selalu mengingatkan siapapun yang membaca kepada Allah dan hari akhir.

Siang hari yang sudah menjelang Ashar itu, ternyata bus sangat jarang lewat. Tiba-tiba ketika kami duduk di atas semen yang mengelilingi tanaman-tanaman yang sudah mengering itu, ada seorang ibu yang datang dan duduk di dekat kami. Berjubah, berkhimar dan berniqob hitam. Dan pasti didahului dengan salam.

"Enti Azhariy?.."

"Na'am"

"Sannah kem?"

"Ana sannah tsaniyah Insya Allah"

"Rabbuna yusaahil wan tanjahi insya Allah"

Seperti biasa yang keluar dari lisannya pasti doa. Ibu itu bercerita jika anaknya juga ada yang kuliah di Al Azhar. Ia pun mengungkapkan kebahagiaannya dan kebanggaan nya atas kita, wafidin dan wafidat yang jauh-jauh ke Mesir untuk belajar Islam.

"Anti bitaruh fein?",

"Illa Darrosah?"

"Bits Tsamanin?"

"Ayiwah"

Ibu itu menceritakan pula keluhan dan rasa kasihan terhadap kami karena semua ongkos muwasholat (transportasi) semua naik, bahkan dua kali lipat.

"Itu pasti sangat berat bagi kalian. Sekarang lima geneh (pound) hanya bisa untuk naik satu kendaraan kan?"

"Apalagi bus-bus kecil. Sekarang semua naik, sedangkan kalian harus kemana-mana untuk menuntut ilmu", aku hanya mengangguk dan menanggapi dengan beberapa kata. Tak banyak yang bisa aku ucapkan untuk menyetujui pendapatnya.

Ketika kami asyik mengobrol tiba-tiba ibu itu menggenggam tanganku. Aku pun kaget, karena tadi kami sudah bersalaman. Ada seratus pound yang ia selipkan dalam genggaman itu.

Hari Jum'at barokah. Entah apakah ibu itu jarang melihat wafidat yang kuliah di Al Azhar atau memang benar-benar ingin bersedekah di hari besar ummat Islam itu. Saat aku menolak, ibu itu terus mendekam tanganku, tak ingin uang itu kembali ke tangannya. Aku hanya mengatakan

"Jazakillah Khairan Katsiran", dan lagi-lagi ibu itu mendoakan kami, dan minta didoakan.

"Salma..ibu ini ngasih uang 100 coba. Aku ga bisa nolak sal.."

Tak lama dari itu, bus merah Tsamanin (80 coret) lewat. Kami pun bersalaman dengan ibu itu yang masih menunggu bus yang akan dinaiki. Uang itu pun aku bagi sama dengan sahabatku. Seolah pemberian itu memang balasan dari Allah yang disediakan untuk kawanku yang memaksaku agar dia yang kali itu mentraktir makan malam.

Ingatan itu masih benar-benar terlukis saat kejadian yang hampir serupa ini kualami, yang kali ini seorang bapak paruh baya.

Kapitalisme. Itu yang membuatku masih tak kagum. Di zaman yang sudah sangat terpuruk ini, di dalam sistem yang sudah rapuh, reot, bahkan sudah hancur ini masih ada sosok-sosok yang berhati malaikat. Dalam kondisi yang mungkin menjepit dan sulit, mereka tetap terdorong untuk selalu berbagi kepada para penuntut ilmu, yang memiliki peran besar untuk masa depan Islam dan Kaum Muslimin. Yang doanya selalu di dengar di langit, yang langkahnya mementangkan jalan menuju tempat yang terindah, yang semua mahluk di bumi bahkan ikan memohonkan ampunan kepada-nya.

Kapitalisme. Aku yakin, bapak itu memang sengaja mengelilingi daerah Jami' dan Jamiah Azhar di hari Jum'at itu untuk membagikan fathiroh, dan selembar uang kertas berwarna biru. Dan tak lain yang diincar adalah para penuntut ilmu yang rata-rata berwajah Asia.

Baik Ibu atau bapak yang telah memberikan sedekah kepada kami, aku yakin semua itu karena dorongan ketaqwaan individu yang tak akan muncul kepada mereka yang belum memahami kemuliaan ilmu dan para pemburunya. Aku membayangkan bagaimana dahulu dan suatu saat nanti, saat Islam benar-benar nampak hidup tak hanya pada individu-individu saja, tapi benar-benar menjadi hembusan nafas di tengah masyarakat, juga menjadi pondasi dan bangunan yang mengatur di dalam sebuah negara.

Beginilah serpihan-serpihan jejak Islam yang masih tertinggal di negri ini. Walaupun pada hakikatnya tak sedikit pun berbeda dengan Negeri Ibu Pertiwi yang tak ada ketaqwaan kecuali pada ranah individu.

Sore itu menjadi saksi atas bentuk rasa syukur ku atas nikmat-Nya yang tak terkira, yang terkadang aku lupa. Aku kembali menatap kubah Jami' Ashar yang nampak sangat menawan dengan semburat merah di ufuk barat untuk mengakhiri siang itu. Arah barat yang berada di depan dua menara dan kubah itu.

"Jangankan makanan, segala keperluan dalam menuntut ilmu pasti akan menjadi kewajiban utama yang disediakan oleh pemimpin. Tak akan lagi terdengar 'orang miskin dilarang sekolah', sebagimana menjadi pemandangan rutin kami setiap kali keluar rumah dan berjalan kemanapun, atau naik bus dengan jurusan manapun. Anak-anak kecil yang menghabiskan waktu nya untuk sibuk mengais koin-koin Pound Mesir yang semakin hari semakin anjlok untuk sekedar membeli beberapa roti gandum yang harganya seperenam harga ongkos bus untuk satu orang", sebuah harapan kepada Sang Pemilik Bumi Kinanah ini kubisikkan setiap kali hati ini teriris kala melihat pemandangan pengemis berada di sepanjang jalan.

"Ingatlah, kita adalah musafir dan thulabul 'ilmi. Apapun yang keluar dari lisan kita itu mustajab. Maka pastikan apa yang kita ucapkan adalah kebaikan", nasehat itu selalu tertancap kuat, membuatku tak lelah untuk melangitkan doa-doa yang sama.