Pada saat itu, aku dan kak Nida sedang mencari rumah di Darosah untuk tempat tinggal nya bersama adiknya dan beberapa teman adiknya. Setelah setengah hari kami berkeliling, kami pun istirahat sejenak di Masjid Dardiri. Namun karena disana tidak terdapat tempat berwudhu untuk sayyidat akhirnya saat adzan ashar berkumandang kami segera beranjak ke Masjid Azhar.
"Ayo kak... Langsung ke hamam", kataku sambil melangkah jalan lebih cepat. Pintu gerbang masjid yang terbuka setengah itu aku biarkan saja.
"Ehh...titipin aja kali tas nya biar ga berat", timpalnya mencegah langkah ku.
"Oh gitu. Yaudah.."
Segera kami melangkah kan kaki ke dalam masjid yang sudah mulai ramai dengan orang, baik yang hanya berkunjung atau mengikuti dars di ruwaq-ruwaq. Sore itu ada kajian Daurah Muqaddimah Kutubut Sittah yang diadakan selama sekitar tiga pekan. Dan wajar jika semakin banyak yang datang ke Jami' Azhar untuk mengikuti Daurah yang langka ini. Dihadiri oleh Ulama-ulama besar hadits yang berada di Negeri ini. Rencana kami pun akan mengikuti itu setelah sholat Ashar.
"Kak, kami nitip tas ya. Mau ke kamar mandi ambil wudhu sebentar", kuberikan tas ku kepada sekumpulan anak Malaysia yang sudah sangat kami percaya. Sudah menjadi kebiasaan kami untuk menaruh kepercayaan kepada sesama wafidat dari Asia. Baik Malaysia, Thailand, atau Singapura. Sekalipun belum kenal, kami tak kan ragu untuk menitipkan barang penting dan berharga kepada mereka. Mereka pun juga sudah percaya dengan wafidat Indonesia jika memang tak ada kawan yang bisa dititipi barangnya.
"Oh.. iya, boleh", jawabnya singkat dengan senyuman.
Segera kami berdua berjalan ke kamar mandi yang terletak beberapa puluh meter dari Masjid. Karena kondisi hamamat yang sempit dan cukup kotor, menitipkan tas di Masjid memang pilihan yang lumayan tepat. Tapi tidak untuk saat itu. Usai berwudhu kami segera kembali ke Masjid yang sudah selesai dilakukan sholat Ashar berjamaah. Karena cukup mengantre, jadi kami harus sabar menunggu dan rela tertinggal sholat jamaah.
Memasuki kembali gerbang Masjid, melepas sepatu dan menyelusuri lorong yang tak terlalu panjang. Betapa terkejutnya diriku saat melihat segerombolan anak Malaysia yang tadinya duduk di salah satu pojok ruangan salah satu Ruwaq yang tak lain digunakan untuk jamaah Sayyidat sudah tidak ada. Namun tas ku dan kawanku berada disana. Dijaga oleh seorang ibu Mishriyah, yang nampak menunggu seseorang.
"Ya Rabb mereka kemana kak? Tas kita kok ngga dibawa aja?", kataku spontan saat melihat mereka tak tersisa satupun.
"Lahh..iya. Kemana mereka?"
"Wahhh.. aku yakin pasti ada yang hilang. Ada hapeku disana", bisikku dalam hati sudah mulai khawatir.
"Fein shadiqat hena?", tanyaku kepada ibu itu.
Dia bilang mereka masuk karena ada dars, dan menitipkan tas kami kepadanya. Dan benar saja, seketika aku periksa handphone di dalam tas yang tak pernah aku pindah posisi. Di tempat terdalam, di bagian laptop biasanya diletakkan. Nihil. Tak ada. Dan aku sudah mengira sejak melihat tas kami dalam pangkuan ibu mishriyah itu.
"Kak, hape ku ga ada.."
"Apaan sih qon?..", jawab kawanku tak percaya.
"Beneran kak. Aku ngga pernah mindahin tempat hape itu. Selalu aku taruh sini", tangan ku masih berusaha mencari barang kecil itu di bagian tas yang lain "ana udah nebak, pasti bakal hilang"..
"Beneran qon?"
"Kak.. kita harus cari anak Malaysia yang tadi. Mereka kemana? Kenapa ngga tanggung jawab? Kalau emang mau pindah tempat ya dibawa aja tas kita nya.."
"Ya Rabb ujian apa lagi ini? Sabar.. sabar itu pada pukulan pertama. Ikhlas. Kalau memang rezeki Allah kembalikan atau Allah ganti yang lebih baik. Kalau memang bukan rezeki, apalah handphone itu. Semua dari Allah, dan Allah yang berhak mengambilnya", kataku dalam benak. Aku sudah ridho jika memang tak kan kembali. "Mungkin Allah sedang menugurku. Bahwa hape itu hanyalah bagian dari dunia yang terkadang melenakan kita"
Spontan aku langsung ingin berlari mengejar mereka. Menanyai dan minta pertanggungjawaban. Tanpa sedikitpun berfikir dan ingin mengejar ibu Mishriyah yang tadi menunggu tas kami. Bukan karena tak curiga kepada orang itu. Justru aku yakin kemungkinan besar adalah orang itu yang mengambil. Tapi mana mungkin orang sudah menjaga tas kami, tiba-tiba aku tanya kemana handphone ku. Lebih tepatnya aku tidak berani, padahal setelah aku menyadari ketiadaan nya di dalam tas, orang itu masih sempat berdiri di depan ku beberapa detik sebelum pergi. Tanpa sedikitpun menampakkan wajah bersalah atau setidaknya mencurigakan.
Kami berdua menghambur. Entah aku tak berfikir apapun kecuali mencari segerombolan anak Malaysia yang jumlahnya sekitar sepuluh anak itu. Kutemukan mereka sedang asyik berfoto di latar dalam Jami' Azhar. Dan sebagian dari mereka sudah mengakhiri foto-foto itu, sedang melangkahkan kaki keluar Masjid. Menentang sepatu mereka untuk segera pergi meninggalkan tempat itu. Aku segera mencari anak yang benar-benar aku serahi tas kami. Aku perhatikan satu per satu dari mereka.
"Kak, tadi yang ana titipin tas kan ya?", kataku sambil mencegah langkahnya keluar.
"Hmm.. iye. Ada ape?", jawabannya tetap ramah.
"Kak, hape saya hilang. Tadi kalau mau pindah seharusnya bawa aja tasnya"
"Haahh?..iya kah?", jawabnya dengan bertanya "Maaf kan kite"
"Coba tanyain kawan-kawan kakak itu yang sudah diluar", tanganku menunjuk beberapa temannya yang sudah berada di luar. Melangkah keluar lebih dahulu. Sama sekali tak ada kecurigaan kepada mereka. Tapi tetap diri ini ingin memastikan. Tak ada yang tau siapa pelakunya.
Perempuan berbalut jilbab dan khimar yang rapi itu pun segara memanggil teman-temannya. Kawan yang berdiri di sampingnya pun membantunya. Akhirnya semua berhenti dan bergerombol di gerbang pagar besi yang memisahkan jalan besar dengan halaman Jami' Azhar.
Aku dan kak Nida sudah berada di antara mereka. Sebagian mereka ada yang berdiri di luar gerbang, dan sebagainya di dalam. Tapi obrolan kami pasti akan saling terdengar.
"Ini handphone dia hilang. Ada yang tau tak?", Kakak itu mulai berbicara.
"Tadi kan ana sama dia nitipkan tas kami ke kalian. Kita kan udah saling percaya sesama wafidat walau beda Negara, walau belum kenal. Tapi kenapa dikasihkan ke orang Mesir?", tanpa diminta aku segera menjelaskan.
"Tadi kami nak masuk, tak ada siapapun selain ibu itu. Jadi kami titipkan"
"Orang Mesir mana ada yang bisa dipercaya. Kalau emang kalian mau pindah tempat dibawa aja tas kita. Itu pasti lebih aman", aku benar-benar menumpahkan kekecewaan.
Wajah-wajah polos mereka hanya tertunduk dan merasa bersalah. Walau sebagian nampak tak ada beban. Mungkin itu yang sama sekali tak menyaksikan kami berdua menitipkan tas kepada beberapa orang diantara mereka.
"Kak.. saya itu baru satu minggu disini hape saya sudah hilang. Dan belum lama kemarin hape saya juga diambil waktu di bus. Saya teriak sekencang-kencangnya tak ada yang merespon. Tak ada yang mau bantu..", tambah Kak Nida meyakinkan mereka. Mencoba menjelaskan betapa ngerinya kehidupan di ibukota ini.
"Maaf kan kami. Kami tak tau. Mereka baru saja tiba semalam..",
lidahku seolah tercekat. Semalam?aku membayangkan baru tadi malam. "Ini budak-budak baru saja tiba kat Mesir Sabtu kemarin", tambah yang lain meyakinkan kami.
"Yasudah tak apa.. saya juga minta maaf. Jadi merepotkan kalian", aku pun bisa memaklumi mereka. Setelah mencerna maksud dari perkataan mereka, ternyata mereka memang belum lama datang di Mesir. Belum sampai seminggu. Pelajaran berharga untuk mereka diminggu pertama hidup di Negeri orang.
Kami pun segera bubar. "Coba aku tanya penjaga-penjaga masjid qon..",
"Iya kak..", kami berdua melangkah ke dalam. Diikuti mereka yang satupun akhirnya memutuskan untuk tidak pulang terlebih dahulu. Entah apa yang bisa kita atau mereka lakukan. Kami segera masuk kembali ke dalam Masjid.
"Udah kak, sholat dulu aja biar tenang. Gapapa kalau bukan rezeki Allah ganti insya Allah..", kataku menenangkan kawanku yang nampak jauh lebih shock dan kecewa. Dengan sigap dan berani ia meminta tolong serta menanyai orang yang berada di Masjid itu. Sudah banyak petugas yang kawanku kenal. Jadi bercerita dan mengadu kepada mereka tak sulit. Bahkan salah satu dari petugas itu baru saja kami temui di baalah (warung) belakang masjid saat sebelum kami menitipkan tas kepada mereka.
"Jangankan di Jami' Azhar ya Mama.. di Ka'bah tempat ibadah ada aja orang yang kehilangan hape..", bahasa amiyyah meluncur tanpa ada jeda."Ya Sallam.. Jami' dih makan Lil ibadah, makan liil Ilmi..", tambahnya mengungkapkan kemarahan dengan tangan yang ikut mengekspresikan.
"Kak.. sholat dulu yuk"
"Percuma. Aku tak berharap handphone itu kembali. Sudahlah aku ikhlaskan saja. Tak ada sesuatu yang berharga disana. Toh itu dari Allah dan Allah pula yang berhak mengambil nya", diriku benar-benar sudah ridho. Ringan saja. Seperti tak ada beban atau kehilangan. Jika memang musibah itu menjadi penggugur dosa ku atau penambah pahala bagiku, itu lebih baik.
Setelah kami sholat, aku sempat menitikkan air mata. Bukan karena hilang benda kecil nan berharga itu. Betapa lemahnya diri ini, dan betapa teguran Allah itu selalu tepat sasaran. Mungkin Allah mengingatkan ku agar aku tak terlena dengannya, menjadi jauh dari Allah karena terkadang lebih sibuk dengan benda kecil itu. Betapa nikmat dunia itu tak ada bandingannya dengan ganjaran yang telah Allah siapkan. Betapa dosa ini sangat banyak tak terkira, sehingga harus ditebus dengan cobaan yang memang mengagetkan itu.
"Jadi memang saat ini giliranku untuk kehilangan handphone", itulah kalimat yang terlintas dalam fikiranku sejak kutemukan tempat dimana aku meletakkan handphone kosong. Iya. Memang seperti cerita-cerita masisir, bahwa kehilangan handphone itu sudah biasa. Menjadi santapan harian. Dan kini memang giliranku yang merasakan. Menelan santapan yang seolah menjadi kewjiban kita, setidaknya sekali selama menginjakkan kaki di bumi ini. Inilah secuplik rusaknya kehidupan di zaman kapitalis. Dimana sudah jarang sekali Muslim yang masih berpegang teguh dengan standar halal haram. Berbuat kriminal sudah menjadi jalan yang lumrah untuk mencari uang dan keuntungan. Berawal dari krisis yang mendorong siapapun untuk mendapat penghasilan dari segala jalan.
"Ada temen kakak yang tau cara ngelacak handphone?", usai sholat dan doa kami pun melanjutkan obrolan untuk berusaha mencari.
"Siapa ya?.. oh ada, coba aku telpon", tak perlu berfikir kawanku itu segera mencari salah satu nomor kenalannya. Masisir. Banin.
"Mereka pada lagi dars qon, pasti ga diangkat", beberapa nomor yang kira-kira mengerti masalah aplikasi canggih itu sudah dipanggil. Tak ada satupun yang merespon. "Semua pasti ikut Kutubut Sittah..."
"Qon.. tinggu aku coba bilang ke Syaikh", kata kawanku tiba-tiba sambil melangkahkan kaki keluar dari tempat jamaah sayyidat.
Hanya kubalas anggukan, karena sekalipun aku larang tak akan menghentikan tekadnya. Tak hanya kawanku itu yang bergerak cepat membantuku. Dua anak Malaysia yang ternyata senior diantara mereka, mendekatiku walau dia sepertinya juga tak tau cara membantu. Setidaknya berbela sungkawa menunjukkan rasa penyesalan serta mengakui kesalahan. Seorang ibu penjaga Masjid yang sudah cukup akrab dengan kak Nida pun tak kalah aksinya. Beliau dengan sigap menanyai setiap jamaah yang ada di ruangan dimana hape ku hilang. Walau nampkanya percuma, tapi setidaknya aku sangat berterima kasih atas bentuk kekecewaan nya. Beberapa pemudi yang tak jauh duduknya dari kami pun juga mengungkapkan keterkejutan nya, diikuti dengan doa lirih yang seolah ingin menenangkan ku. Hanya kubalas senyuman, tanpa sepatah katapun.
"Awak.. maafkan kite orang, kite kesilap lah..", anak Malaysia itu mendekati ku. Dari kebimbangan wajahnya itu, justru aku yang berusaha mencoba menenangkan dia.
"Tak apa kak.. bukan salah kalian. Saya yang minta maaf malah merepotkan, dan kalian jadi ngga segera pulang"
Kami pun berbincang dan berkenalan di tempat itu. Tak ada beban yang membuatku kian terpuruk. Disiu justru aku menemukan indahnya persaudaraan sesama Muslim. Rasa percaya dan tanggung jawab.
Ternyata anak Malaysia itu punya aplikasi yang aku sendiri baru tau saat itu. Find Divice. Aplikasi canggih itu sudah terpasang di hape nya tanpa ia sadari. Ia pun tak mengerti cara menggunakan nya. Setelah aku tanya, segera ia membuka aplikasi tersebut.
"Awak masukkan email, dan password, juga number awak saat buat email", dia menyodorkan hape nya kepada ku.
"Waahh... nomor hape lama itu. Nomor Indonesia. Ya Allah, masih ingat ngga ya?"
Akhirnya setelah aku ulang beberapa kali ingatanku, akhirnya kutemukan. Nomor Telkomsel warisan kakak laki-laki ku yang sudah bertahun-tahun menemani ku dari hape ke hape yang lain.
Berhasil. Aplikasi yang langsung terhubung dengan GPS itu seketika menulusuri letak handphone ku berada. Tak jauh hanya sekitar satu kilo meter dari Masjid Azhar.
Tak perlu lama berfikir, setelah kami sepakat untuk mengejar pelaku yang sepertinya tak jauh tinggal di kawasan Darosah, segera kami menghentikan taxi. Syari' Manshuriyah itu yang harus kami datangi. Kami sempat bertanya kepada salah satu satpam di Masjid Azhar tapi tak ada respon sedikitpun untuk ingin membantu. Bahkan dengan enteng menjawab "ana musy 'arif (aku tidak tau)". Hanya jawaban singkat dengan muka yang sangat cuek yang kami dapatkan. Sebenernya kami membutuhkan paling tidak seorang Mishriyah untuk membantu kami bertatap muka dan berbicara dengan lantang jika pencuri itu tertangkap. Namun, beberapa petugas perempuan di Masjid Azhar yang sejak tadi antusias membantu mencari tak ada satupun yang bersedia mengikuti kami naik taxi untuk mengejarnya. Entah mungkin tidak percaya, atau sebenernya kurang faham dan masih asing dengan aplikasi yang nampak mustahil untuk bisa menemukan benda kecil itu.
Akhirnya kami memutuskan untuk pergi berempat. Aku, Kak Nida, dan dua anak Malaysia yang senior diantara mereka. Walaupun bukan mereka yang kami titipkan tas, tapi rasa tanggung jawab terhadap kesalahan mereka, tak sedikit pun membuat mereka ragu membantu kami.
"Awak... saya kasih sedikit duit untuk awak. Saye berikan ke kawan saye. Maaf lah tak bisa ikut bantu cari", tiba-tiba salah satu anak Malaysia yang sejak tadi tak nampak dari pandanganku menghentikan langkah ku yang berjalan menuju taxi.
"Kak..kenapa kayak gitu? Ngga usah. Doakan saja, kalau memang masih rezeki kembali", percuma. Aku tak bisa mencegah. Uang itu tidak di tangan ku juga tidak di tangan nya. Tapi di salah kawan mereka yang sudah berdiri di sisi taxi beberapa meter di depanku. Dia pun segera pergi setelah bersalaman denganku. Terburu- buru pulang karena sudah ditunggu kawan-kawannya sejak tadi.
Akhirnya setelah Kak Nida menjelaskan rute yang berada di layar hp kawan Malaysia, juga menjelaskan apa maksud kami mengejar jalan itu, akhirnya sopir taxi itu setuju. Karena tidak semua taxi mau mengantarkan penumpang ke arah yang terkadang tak sejalan dengan tujuan akhir dia. Atau karena jarak terlalu dekat, tak sedikit yang menolak. Kami pun segera masuk. Mobil jadul berwarna putih, mungil dan pendek versi film Ayat-Ayat Cinta itu meluncur menyusuri jalan satu arah. Meninggalkan Masjid Azhar, melewati Jamiah Banin, Mustasyfa Husain, Pom Bensin di pertigaan jalan, hingga ujung jalan Masyikhah melewati Masyikhah (Kantor Rektorat Azhar) dan belok arah ke kiri hingga bertemu Darul Ifta' kemudian putar arah hingga kembali ke Mahathoh Darosah yang bersebrangan dengan Masjid Shalih Ja'fari. Semua kami yang mengarahkan. Mengikuti arahan GPS yang bersuara itu. Walau sempat salah, dan harus memutar jalan kembali melalui gank kecil, beruntung sopir taxi itu tak marah dan menurunkan kami karena hampir saja tidak bisa mencari jalan untuk berputar arah.
Sampai sebuah pertigaan yang menghubungkan gank dan jalan besar, GPS itu menunjukkan bahwa hanya beberapa menit saja untuk berjalan dari tempat itu. Akhirnya kami turun karena tak mungkin mobil melawan arus. Setelah membayar ugroh (ongkos) sebesar 10 pound, kami pun segera melangkah mengikuti arah itu.
Berkali-kali kak Nida bertanya dan meminta tolong dengan Mishriy yang kami temukan di sepanjang jalan. Bertanya nama jalan dan gank yang ditunjukkan GPS. Berkali-kali pula kami keluar masuk dari gank satu ke gank lain. Bahkan satu gank, yang disana banyak bapak-bapak yang sedang beraktivitas untuk bekerja ikut turut tangan. Kami menjelaskan maksud dari aplikasi yang jelas masih asing bagi mereka. Beberapa dari mereka mau membantu asalkan imarah dan syaqoh yang dituju sudah akid (pasti).
"Musy mumkin ya Ustadz..(tidak mungkin, pak)", berkali-kali kalimat itu muncul. Memang mustahil jika GPS bisa sampai menjelaskan pada imarah nomor berapa, lantai berapa, dan syaqoh ke berapa.
Mulai dari pemilik makhbaz (pabrik dan toko roti), penjaga baalah, tukang cukur, dan bapak-bapak yang lain tak mau kalah untuk ingin tau dan ingin membantu. Walau hasilnya nihil.
"Kita tidak mungkin untuk mengetok satu persatu syaqoh yang ada di imarah ini untuk memastikan dia pelaku atau bukan. Ini bukan adab dan hak kita untuk menggeledah orang. Bahkan kalaupun itu saudara juga bukan hak kami untuk menggeledah".
Jelas sudah. Tidak mungkin kami mendapatkan handphone itu sekali pun ada di sekitar kami. Orang-orang Mesir yang sejak tadi antusias membantu tidak akan mampu mungkin mengetuk satu persatu syaqoh yang ada di imarah itu.
"Kalau mau panggil syurthoh (polisi). Kamu kasih limapuluh atau seratus. Dia yang punya hak untuk menggeledah", usul seorang bapak yang nampak sangat bijak.
Tak perlu lama. Kaki kami segera berjalan menuju jalan besar. Keluar dari gank tersebut. Memanggil polisi hanya satu-satunya cara. Tiba-tiba salah satu bapak yang sejak tadi membantu kami tak mau kehilangan kesempatan. Dia seorang sopir taxi yang seketika menawarkan mobil nya yang terparkir tak jauh dari situ.
Hanya sekitar 200 meter dari tempat kami naik taxi itu, kami sampai di sebuah kantor pusat polisi yang cukup besar. Sepuluh pound kami keluarkan lagi. Disana banyak polisi yang berseragam ataupun tidak. Seketika mereka antusias saat melihat wafidat yang datang meminta tolong dengan penjelasan yang sangat gamblang dari kak Nida. Akhirnya setelah mampu meyakinkan mereka, kami pun naik taxi lagi berempat yang sengaja menunggu kami.
Polisi itu meminta handphone kawan Malaysia kami yang dengan jelas menunjukkan lokasi handphone ku berdasarkan GPS. Setelah diskusi dengan kawan-kawan nya, akhirnya dua dari mereka yang berpakaian kemeja berlengan panjang dengan handy talky yang digenggam tak meragukan bahwa beliau adalah petugas keamanan. Justru dengan tanpa menggunakan seragam akan lebih memudahkan pencarian.
Ada sedikit kekhawatiran pada kami. Dua polisi yang menggunakan motor Vespa itu berjalan di belakang taxi kami. Memegang handphone kawan Malaysia itu, yang kami berharap besar tak akan terulang kejadian yang sama.
Sampai di tempat semula, polisi beraksi. Penduduk sekitar yang sejak tadi membantu kami pun turut menyaksikan aksi mereka. Layaknya detektif yang sedang menyelesaikan sebuah kasus besar yang tak ada yang mampu menyelesaikan kecuali mereka. Masuk gank dan keluar kembali. Masuk gank lain, naik ke sebuah imarah, tak lama turun kembali. Terjadi beberapa kali dan di beberapa gank serta imarah. Kami hanya diam setengah kagum penuh-penuh harap. Jangankan kami ajak mengobrol, bertanya sepatah katapun kepada kami sepertinya sudah tak mereka perlukan.
"Lau samah, sa'ah kem? (Permisi, jam berapa ya?)", Suara seorang ibu yang sedang berjalan dan melewati dua polisi yang nampak sedang serius itu memecah keheningan.
"Sa'ah khamsah", jawab polisi itu setelah mengangkat salah satu alis nya karena kaget. Tawa yang tertahan tak lama terlepas setelah ibu itu beranjak melangkah kan kaki.
"Astagfirullah.." , tawa kita pun menyusul saat ibu itu dengan ringan melangkahkan kaki dengan anaknya meninggalkan kami setelah mendapat jawaban. Para bapak yang sejak tadi berdiri dekat kami pun tak kalah menahan gelakak tawa.
Saat sang polisi begitu serius dan tampak sedang berfikir keras, hening, tiba-tiba dia datang tanpa menyadari siapa yang ditanya dan sedang apa orang yang ditanya itu. Setelah kami cukup puas tertawa, dua polisi itu hanya saling bertatapan dengan memberi balasan senyuman. Mereka pun larut dalam pencarian. Masih menggunakan handphone kawan Malaysia itu.
Imarah terakhir yang dimasuki oleh polisi itu tepat sekali di depan imarah yang akan menjadi syaqoh baru ku. Tepat sekali. "Jika pelaku itu benar tinggal disitu, apakah aku harus bertetangga dengannya? Kabar baik atau buruk kah ini?"
Syaqoh yang sudah aku bayar dengan tiga temanku sejak dua bulan sebelum kejadian itu, pagi itu aku datangi dengan niat ingin dibersihkan sebelum kami pindahan. Sore hari ternyata aku kembali kesitu dengan keperluan dan kasus yang tak terduga.
"Kamu kan yang mau tinggal disini kan?", Pertanyaan itu muncul seketika oleh salah seorang bapak yang bekerja di bawah syaqoh kami. Karena kak Nida pagi itu juga menemaniku ke tempat itu, jadi untunglah bukan aku yang ditanya.
Karena aku yakin pasti akan bingung harus menjawab apa.
Orang Mesir yang memang dikenal sangat pandai mengenali orang sekalipun menggunakan cadar membuat kita jadi sangat mudah untuk diawasi. Walau mungkin ada juga keuntungan yang bisa kita dapat dari sana. Tapi tetap saja rasa was-was sering kita alami.
Sudah berkali-kali dua polisi itu naik dan turun di beberapa imarah. Dan tak ada kabar baik sedikitpun. Lebih tepatnya polisi itu tak mau mengetuk satu per satu syaqoh yang ada di imarah yang sangat mendekati dengan petunjuk GPS.
"Ini sangat sulit. Kita ke gank sana, GPS nya menunjukkan ke arah imarah sini. Saya kesini dia menunjukkan ke seberang. Sedikit-sedikit mudah berubah-ubah. Ini tidak valid"
"Lalu bagaimana?"
"Kalau kamu bisa memastikan imarah dan syaqoh mana pencuri itu, kalian panggil kita lagi. Kita akan dobrak rumah itu"
"Ya Sallam... Apa gunanya kita panggil polisi kalau bukan untuk mendobrak syaqoh-syaqoh itu? Darimana kita bisa tau dan memastikan jika memang pelakunya ada di salah satu syaqoh (apartemen) di antara beberapa imarah di gank ini?", kekecewaan kami dengan dengan kerja polisi yang tampak tak serius itu sudah wajar.
"Ana ta'ban..(aku lelah)", kata salah satu dari keduanya yang aku tangkap sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi dengan pespa mereka.
Nihil. Tak terdeteksi. Tak nampak jejak sedikit pun. Harapan untuk bisa bertemu sudah pupus.
"Ah.. itu hanya bahasa mereka untuk minta dibayar", kata seorang Banin yang akhirnya turun tangan membantu kami.
"Kalau tadi kalian kasih seratus atau dua ratus mungkin dia lebih serius kerjanya. Tapi juga ngga menjamin sampai ketemu"
Dengan usaha terkahir yang kami lakukan aku semakin pasrah, sudah tak berharap lagi untuk kembali. Seorang banin yang tadi sempat sulit dihubungi akhirnya datang. Dengan salah satu aplikasi yang lain masih diusahakan. Dengan mengirim identitas, alamat email, alamat rumah juga kode yang ada pada setiap handphone ke sebuah alamat email yang bisa melacak lokasi handphone itu. Jika memang terlacak alamat email itu akan membalas. Dan itu hanya dalam waktu 24 jam. Jika lebih dari itu, maka sudah tak dapat terlacak lagi.
Awan sudah semakin gelap, adzan maghrib sudah berkumandang sejak tadi.
"Kakak segera pulang. Kalian tak boleh pulang malam kan?"
"Ada sedikit duit di kawan awak"
Tak lama mereka segera pulang menggunakan Uber. Selain karena rumah mereka yang jauh, peraturan untuk wafidat Malaysia memang tak boleh keluar rumah tanpa Musyrif atau pendamping jika malam hari. Rumah mereka yang berada di Manshuriyah diluar Madinah Nasr dan aku sendiri belum tau dimana itu harus ditempuh beberapa jam dengan metro (kereta api).
Aku tak bisa menolak. Uang itu sudah berada di tangan Kak Nida. Dan mereka seketika menaiki Uber yang sudah menunggu setelah mengatakan itu.
"Udah qon. Kamu pake dulu aja uangnya. Nanti diganti kalau udah ada. Ntar aku antar beli"
Kaki kami melangkah ke sebuah masjid yang sudah menjadi tempat peristirahatan juga dars wafidin wafidat. Masjid Ja'fari. Dan aku sangat terkejut saat uang yang diberikan itu sejumlah 1000 pound.
Itu jumlah yang sangat banyak bagiku, walau jika untuk membeli handphone dengan standar handphone lama ku tidak akan cukup. Tapi aku tak tau berapa orang yang mengumpulkan itu.
"Handphone Mesir dapat kalau 1000. Tujuh ratus juga ada"
Aku berusaha optimis saja. Ada sedih dan syukur yang tak terkira. Esoknya aku kabarkan ini kepada ibuku.
"Innalillahi wa Innalillahi rajiaun. Insya Allah diganti yang lebih baik"
Aku tidak mungkin untuk meminta uang lagi di bulan itu. Sudah lebih dari dua kali lipat aku meminta uang dari biasanya karena pindah syaqoh dan membuka syaqoh baru. Aku katakan jika uangnya cukup dan tak perlu meminta dikirim lagi.
Walaupun bukan sepenuhnya salahku, tapi semua ini pasti diluar kuasa manusia yang lemah dan serba terbatas.
"Masalah nya aku lagi perlu banyak komunikasi dengan adik-adik kelas di Indonesia. Jadi butuh banget pegang hape mas.."
Aku beranikan untuk sedikit menganggu kakak laki-laki ku. Sosoknya yang nampak selalu tenang, sabar dan bersifat dewasa tak pernah menolak untuk mendengar segala kecohan dan keluhan ku. Beberapa hari aku menumpang handphone teman rumahku. Mereka tak keberatan sama sekali. Tapi tetap saja aku merasa sangat mengganggu. Hingga aku jatuh sakit. Pusing. Sakit gigi. Tubuh serasa remuk tak bertenaga. Setiap malam terbangun dan menangis.
Bertumpuk-tumpuk masalah memenuhi kepalaku. Hari-hari itu adalah waktu menunggu turunnya natijah (nilai di kuliah). Aku memikirkan handphone lebih tepatnya banyak hal yang harus dikomunikasikan dengan adik adik kelas. Memikirkan uang 1000 itu, dan pengeluaran yang membengkak untuk keperluan syaqoh baru. Ditambah gigi ku yang sakit menjadi sebab utama pusing yang tak tertolong.
Setelah akupuntur di salah satu klinik milik orang Indonesia, dan aku sampaikan semua keluhan, akhirnya dokter itu menyarankan ku untuk membeli obat herbal untuk gigi. Jika sudah tidak kuat, maka lebih baik ke dokter spesialis gigi.
Selama hampir satu tahun di Mesir baru kali ini aku sakit begitu parah.
Akupunktur yang biasanya membuatku terlepas dari pusing, saat itu sepertinya semakin parah. Aku tidak terlalu peduli dengan gigiku. Karena aku kira bukan itu penyebab utamanya. Hingga beberapa hari, tak ada yang berubah. Obat herbal yang disarankan untuk aku beli di 'Athoroh (toko sembako) sudah kuminum setiap hari.
"Apa penyebab pusing ini? Jangankan untuk berjalan, untuk tidur saja aku tak mampu.."
Hingga akhirnya dokter itu menyarankan agar aku segera ke dokter. Dokter Mesir. Entahlah aku belum pernah kecuali pengambilan darah saja. Rasa enggan bertemu dengan alat-alat pemeriksaan dan bau obat kimia harus ku lawan.
"Alhamdulillah.. Untung saja sakit ini sewaktu liburan kuliah"
Malam itu aku diantar satu-satunya temanku yang tersisa di rumah. Ke sebuah klinik praktek dokter gigi yang mulai buka pukul sembilan malam. Satu jam menunggu. Dan sudah lewat dari jadwal yang ditentukan. Pasien yang sudah mengantri jauh sebelum aku datang hanya berdiam. Menunduk menahan sakit gigi yang tak karuan.
"Sabar ya Jannah.. maafin aku kamu jadi cape nunggu juga", pinta maaf kepada temanku yang sama sekali tak mengeluh untuk mengantarkan ku.
"Janah... Mulutku kayak mati rasa tadi. Ga bisa gerak. Bibirku kaku, miring ke kanan. Aku kira gigiku diputar tau, ternyata dicabut. Ngga kerasa kalau dicabut"
"Iya qon. Ngeri banget. Tapi ga sakit banget kan?"
"Alhamdulillah..langsung lega tau. Udah hilang pusingnya"
Biaya cabut gigi yang cukup terjangkau walaupun tanpa kartu jaminan layaknya di Indonesia, padahal di klinik tempat dokter praktek membuat orang tuaku cukup terkejut. Dokter yang sudah sepuh, ramah dan menjadi langganan wafidin dan wafidat itu tampak sudah sangat berpengalaman untuk menangani hanya sekedar sakit gigi akibat saraf yang bermasalah karena pertumbuhan gigi tidak normal. Perkiraan ku yang hanya diperiksa dan diberi obat ternyata salah. Tanpa berpikir panjang, setelah tau penyebab utama sakit itu solusi nya memang hanya dicabut. Tak perlu banyak cakap, setelah disuntik bius dan beberapa menit menunggu dokter pun beraksi membedah isi mulutku.
Satu kelebihan yang mungkin masih menjadi salah satu jejak adanya Islam. Walau benteng itu telah hancur dan habis, tapi pelayanan kesehatan adalah salah satu yang cukup diperhatikan. Dokter-dokter spesialis di Kota ini sangat banyak di berbagai tempat. Biaya pengobatan di rumah atau klinik tempat praktek pribadi pun sangat terjangkau. Selain itu kita akan mudah menemukan shoidaliyah (apotek) di berbagai tempat. Tak perlu naik kendaraan hanya untuk membeli satu jenis obat. Apotek benar-benar tersebar dimana-mana.
Hanya kalimat thayibah yang terucap lirih dalam hati yang menemani rasa sakit yang tersekat mulut yang dibius.
Sekitar satu Minggu dari itu, sudah ada handphone baru yang aku genggam. Meski bukan handphone bermerk berkualitas bagus, yang terpenting sudah bisa aku gunakan untuk komunikasi dengan orang tua dan adik adik kelas. Selain WhatsApp tak ada yang lebih kuperlukan.
Aktifitas kembali seperti semula. Menghabiskan liburan yang hampir terhitung empat bulan itu bersama -kitab -kitab baru di berbagai majelis talaqi. Hingga pengumuman natijah turun. Atas izin dan pertolongan Allah aku bisa menyandang nilai Jayyid Jiddan.
Tak lama dari itu, pembukaan taqdim minhah (pengajuan beasiswa) tiba. Pengajuan berkas bisa dimulai tanggal 2 bulan September. Masih ada sekitar satu minggu untuk menyiapkan berkas berkas yang diperlukan. Selain itu aku harus menunggu visa yang turun. Karena fotocopy visa adalah salah satu syarat wajib.
Seperti biasa jika akhir bulan adalah waktu penghabisan. Uang habis dan kuota internet pun telah habis. Karena terjadi salah paham dalam beli kuota dengan Rashid (pulsa), akhirnya uang sebanyak 70 pound hilang hanya menyisakan
4 rashid yang hanya bisa untuk beberapa kali menelpon. Uang terakhirku yang sudah aku korbankan untuk membeli pulsa itu melayang tak sesuai harapan.
"Innalillahi wa Innalillahi rajiaun"
Hingga pada tanggal 30 Agustus saat aku sudah bisa beli kembali dengan uang pinjaman sebelum esoknya mendapat kiriman dari orang tua, aku membaca pengumuman yang mengatakan bahwa pendaftaran sudah ditutup khusus untuk mahasiswa Indonesia.
Bulan Agustus belum berakhir. Yang seharusnya pendaftaran belum dimulai, tapi karena diajukan sekitar satu pekan lebih awal, dan karena jumlah Mahasiswa Indonesia yang taqdim auraq (pengajuan berkas) sangat banyak membuat pengumuman itu diberikan. Hanya dalam hitungan 48 Jam. Dibuka tanggal 28 dan ditutup khusus untuk anak Indonesia pada tanggal 29 Agustus.
"Tak ada salah mencoba. Apapun hasilnya kak. Setidaknya sudah berusaha.."