"Kak, tidak harus ikut gladi kan? Ana ga bisa soalnya..", siang itu setelah aku pulang dari Hay Asher aku segera menghubungi teman sekaligus kakak kelas ku. Iya sejak aku harus kuliah pada tahun pertama aku berada di negeri ini, semua teman ku selalu aku panggil 'kak, atau mbak'.
Pagi itu aku ada keperluan ke Asher untuk kepentingan dakwah, siangnya aku mengajak sahabat ku, Salma untuk pergi ke Markaz Tahfidz. Rasa cinta terhadap Al Quran yang membuatku semakin dekat dengan-Nya ingin rasanya kuberikan kepada siapa pun yang aku cintai karena-Nya. Yakinlah bahwa kenikmatan yang kita rasakan tak kan rela kita ambil sendiri, melainkan ingin memberikan kepads orang terdekat dan tercinta.
Sudah setahun aku berada di Markaz Tahfidz itu, dan sudah lebih dari setengah Al Qur'an yang aku setorkan kepada para Syaikh, Ustadz, dan Ustadzah di Markaz itu. Dan aku ingin sekali kebahagiaan ini kubagi dengannya.
Setelah melakukan pendaftaran, menulis dan membayar uang 50 pound, kami segera mengantri untuk menyetorkan hafalan murajaah kami.
"Iya, gapapa kok.."
"Alhamdulillah..besok acara nya jam berapa? Bajunya gimana?"
"Insya Allah jam 7, pakai jubah hitam dan khimr merah marun"
Usai tahfidz, tepat bakda Ashar aku harus segera melangkahkan kaki ke Fakultas Ushuluddin Banin yang letaknya hanya 10 menit dari Markaz Tahfidz Syaikh Nabil. Hari itu ada dars yang jauh lebih berharga bagiku. Muqaddimah Ibnu Sholah yang membuatku akan menangis jika harus izin walaupun hanya sekali. Mempelajari Mushtholah Hadits yang sejak dulu selalu menjadi hujaman pertanyaan dalam benak ku. Dan aku tak kan rela untuk terlewatkan satu katapun untuk mendengar apa yang Syaikh Aiman sampaikan. Manisnya setiap kalimah yang beliau katakan dengan bersihnya bahasa Arab Fushah membuat kami hanya perlu fokus tanpa harus merasa berat dengan bahasa Amiyah yang sering kita temukan di bangku kuliah.
Pagi harinya, itu hari yang dinantikan oleh semua wafidin dan wafidat dari semua Negara yang berada di Jamiah Azhar. Mereka yang sudah selesai pada tingkat empat akan diwisuda, dan mereka yang mendapat taqdir atau nilai tinggi pada setiap tingkat (satu hingga tiga) akan diadakan sebuah haflah takrim (acara penghargaan) yang diadakan oleh Parlemen Pelajar Wafidin Al Azhar Asy Syarif.
Dan atas kemurahan-Nya, Allah memberikan ku kesempatan untuk mengikuti haflah ini. Sebenarnya aku merasa tak pantas untuk mendapatkan kesempatan ini, hingga aku tiba di dalam ruangan yang besar ini. Mengingat belajar ku yang hanya sekedar nya, ilmu ku yang belum ada apa-apanya. Bisa duduk menggunakan seragam yang sama, dan selendang berwarna emas bertuliskan "Barlemen Thulab Wafidin bil Azhar Asy-Syarif", dan dibawahnya "Mutafawwiqin 2017-2018". Aku serasa mimpi. Acara ini yang didatangi dan disambut oleh Kibar Masyayikh Azhar, dan Rais (Pimpinan) Universitas Azhar, serta para Rektor dari berbagai Fakultas, juga duta perwakilan dari setiap Negara untuk memberikan penghargaan kepada nama-nama yang dipanggil ke atas panggung. Belum lagi jepretan kamera para kameramen dari berbagai media memenuhi setiap sudut ruangan, bahkan di setiap lorong dan ruang kosong. Aku merasa mimpi berada di tempat ini. Bersama orang-orang terpilih yang memang pantas untuk mendapatkan hal ini.
Aku hanya diam melihat teman-teman yang sedang sibuk berfoto dengan berbagai background yang tampak menarik. Tiga jepretan sepertinya tidak puas. Ingin lagi dan lagi. Dengan berbagai pose dan latar yang berbeda. Tak peduli ada belasan atau puluhan pasang mata yang mengawasi. Para Ikhwan yang ada di kursi seberang juga belakang. Menyaksikan tingkah perempuan yang selalu ingin eksis.
Hanya kalimat syukur yang tak dapat terhitung atas segala nikmat-Nya. Bisa diberi kesempatan untuk melahap ilmu di Universitas Islam tertua ini. Berguru kepada orang-orang hebat yang tak sembarangan dipilih menjadi Dosen pengajar.
Bukan karena kepintaran, usaha atau doa ku yang bisa membuat ku ada disini. Semua itu karena doa-doa orang tua dan pemberian dan karunia Allah. Dan aku yakin segala kebaikan yang dilakukan kedua orang tua ku juga menjadi wasilah yang mengantarkanku meraih semua ini.
Walau kebahagiaan itu tak terbendung, rasa bangga dan bahagia itu seolah membuatku tak percaya, tetap saja dalam hati yang terdalam ada bisikkan yang membuatku tetap tenang dan tidak heboh dengan semua kesenangan itu. Aku tatap satu persatu nama yang dipanggil ke atas panggung. Mulai dari yang mendapatkan taqdir Mumtaz, baik dari tingkat satu hingga tingkat tiga. Baik dari Fakultas Lughoh Arabiyyah, Syariah Islamiyah, Syariah Wal Qanun, dan Ushuluddin. Kemudian dipanggil pula para Wisudawan, yatitu yang telah lulus tingkat empat. Semua Negara ada. Mulai dari Spanyol, Nigeria, China, India, Suriah, Palestina, Vietnam, Malaysia, Australia, Sudan, Brunei Darussalam, terkahir Indonesia dan Thailand yang paling banyak. Bukan karena jumlah mahasiswa yang Mutafawwiqin dari dua negara itu yang banyak. Tapi mahasiswa dari kedua negara itulah yang paling antusias untuk mengikuti takrim ini. Rela lelah megantre saat mendaftar dan juga bersabar menunggu hari yang dinanti. Padahal sejatinya tidak ada sedikit pun kewajiban untuk mengikuti ini. Namun karena ini adalah haflah pertama kali yang diadakan oleh Parlemen Wafidin Azhar Asy Syarif, maka wajar jika tak sedikit yang antusias untuk mengikuti.
Sebelum nama-nama itu dipanggil, beberapa Duktur atau Rektor memberi sambutan. Ada salah satu dari mereka yang menyatakan kebanggaannya kepada mahasiswa Wafidin, karena mereka adalah duta negara untuk membawa risalah Islam ke seluruh dunia. Beliau mengatakan ada sekitar 130 Negara yang memiliki mahasiswa di Al Azhar Asy Syarif. Dan total seluruh mahasiswa non Mesir atau biasa disebut Wafidin dan wafidat sekitar 33000. Sungguh jumlah yang sangat menakjubkan.
Setelah mahasiswa yang meraih taqdir Mumtaz selesai dipanggil, maka berikutnya satu persatu diesbut nama para Wisudawan yang mendapat nilai akhir Imtiyaz (Mumtaz) dan Jayyid Jiddan 'ala martabtish syaraf. Mereka yang menggunakan selendang hijau, baju toga yang nampak sangat besar serta topi khas wisuda yang berwarna hitam persegi lima itu nampak sangat wibawa walau sederhana. Tentu bisa mempertahankan prestasi hingga tingkat terkahir tidaklah mudah bagi siapapun. Karena semakin tinggi tingkat belajar nya, semakin banyak dan berat pula maddah kuliah nya. Takhasus terutama untuk yang mengambil Fakultas Ushuluddin pasti lebih menguras tenaga serta pikiran. Apalagi Banin yang dikenal lebih tinggi angka kesulitannya dibanding Banat.
Tak banyak yang bisa mendapatkan nilai ini, sekalipun dari berbagai Negara pasti memiliki nama-nama yang dipanggil dari kalangan mereka. Berbagai macam warna kulit, paras muka, dan bahasa disatukan dalam naungan Al Azhar Asy Syarif ini. Setelah habis nama-nama para wisudawan yang Mutafawwiqin itu dipanggil, maka berikutnya adalah Mutafawwiqin dari tingkat satu hingga tiga yang mendapat taqdir Jayyid Jiddan. Tentu jumlah nya juah lebih banyak lagi. Dan lagi-lagi Indonesia serta Thailand yang memborong nama-nama itu. Satu per satu teman dan kakak kelas ku yang duduk di samping kanan kiri, depan dan belakang, banat dan banin maju ke depan. Setelah nama lengkap mereka, serta asal Negara disebut kan mereka harus segera berjalan ke atas panggung untuk menerima syahadah dari Parlemen Wafidin Azhar oleh panitia yang sudah berdiri berjam-jam disana. Bersalaman dan berfoto dengan Syaikh atau Syaikahah yang sudah rapi berdiri di atas panggung.
Dari situ aku sudah mulai tak tenang. Bukan karena namaku tak dipanggil-panggil, lebih tepatnya jika aku harus dipanggil dan maju ke depan mengambil syahadah itu kemudian akan ada banyak kamera yang akan menangkap ku berfoto bersama salah satu atau beberapa syaikh. Walau tidak menutup kemungkinan yang akan memberikan syahadah itu adalah Dukturah/Syaikhah yang hanya ada satu dari enam atau tujuh Syaikh yang ada di atas panggung itu.
"Bukan kah itu termasuk ikhtilat?" Batinku bergeming. "Mengapa mereka mengganggap biasa saja berfoto dengan yang bukan mahram? Apalagi jika sampai terkesan atau tertangkap kamera dalam keadaan berdua?.."
Hingga pukul satu siang, sang pembawa acara menghentikan acara sejenak untuk istirahat dan shalat Dzuhur. Mayoritas teman-teman ku, baik yang jurusan Syariah, Lughoh Arabiyyah dan Ushuluddin sudah dipanggil satu persatu. Mereka yang duduk di kanan kiri ku, depan dan belakang ku sudah memegang kertas syahadah berwarna merah. Kebanyakan adalah teman setingkat, tapi kakak tingkat pun tak sedikit duduk di beberapa kursi belakang kami.
Ruangan itu semakin sepi, karena kebanyakan bergegas untuk melaksanakan sholat Dzuhur. Aku dan Kak Farah segera keluar mencari hamam Li sayyidat.
Setelah berwudhu dan kembali menggunakan kain kuning emas itu, kami segera mencari musholla yang terletak tak jauh dari tempat berwudhu. Sempit sekali. Tapi beruntung saat kami kesana sedang sepi. Hanya ada beberapa sayyidat saja yang sedang shalat dan hampir selesai.
Sudah pukul dua siang. Dan saat ini nama-nama yang dipanggil tidak lagi nama-nama mutafawwiqin, baik dari tingkat satu hingga yang wisuda. Nama-nama berikutnya dan tepatnya yang terakhir adalah nama para wisudawan yang tidak mendapatkan taqdir Mumtaz atau Jayyid Jiddan. Mereka dipanggil di urutan terakhir, dan tentu jumlah mereka tak terhitung. Bahkan antar satu dengan berikutnya tak dijeda sedikitpun layaknya nama-nama mutafawwiqin, sehingga membuat barisan di jalan menuju panggung hingga atas panggung penuh. Mereka seperti mengantre untuk mendapatkan sesuatu yang sangat berharga. Berbeda dengan nama-nama mutafawwiqin yang dipanggil satu per satu hingga di atas panggung hanya ada satu orang saja sehingga begitu nampak.
"Qonita. ..ana laper..", keluh Kak Farah yang duduk di depan ku.
"Hmm. Iya kak sama. Udah jam dua pantesan udah laper banget"
"Ga ada snack ya?"
"Katanya sih ada tapi udah habis. Adanya teh..", balas ku memelas.
"Kata siapa?"
"Tadi kata temen ana, mau keluar aja yuk kak.."
"Jauh ga sih? Ehh..tapi kamu belum dipanggil kan?"
"Iya belum."
"Yaudah jangan keluar dulu"
Kak Rahmi. Salah satu teman ku yang mendapat kan beasiswa Azhar tinggal di Madinah Buuts mengerti seluk beluk acara ini. Dan dia pun mendapat nasib yang sama dengan ku. Nama kami belum dipanggil, padahal dia sendiri adalah salah satu pengurus di Parlemen Wafidin Azhar untuk bagian Banat. Saat aku menyerahkan berkas pertama kali untuk pendaftaran ini juga ke beliau.
Anak Aceh yang sangat ramah ini nampak begitu tenang, walau tak dipanggil-panggil namanya. Padahal dia berada di urutan sangat awal, dan sudah terlewatkan oleh puluhan atau ratusan nama-nama mahasiswa/i yang lain.
"Alhamdulillah.. malah ga maju. Malu ke depan", katanya begitu santai saat aku tanya.
Maklum kan banyak sekali yang harus dipanggil. Ada satu lagi teman kami yang sama-sama tingkat satu Ushuludin yang nampak begitu resah dan kecewa saat namanya tak terdengar.
"Ini kan udah nama-nama mutakharijin non mutafawwiqin yang dipanggil, jadi kita ga akan dipanggil lagi", tambahnya meyakinkan.
"Kayaknya mereka juga sama kayak kita kak", kataku sambil menunjuk beberapa mahasiswa berwajah hitam setengah sawo matang. Berjenggot tak terlalu lebat. Layaknya wajah-wajah pemain figur di Film Hollywood. Wajah-wajah India, yang duduk beberapa kursi di depan kami.
"Iya kayaknya, mereka lapor ke Ustadz itu. Yaudah kita kesitu yuk..", ajaknya memebri solusi.
"Iya kak itu Ustadz yang sewaktu itu di Parlemen yang ngurus penyerahan selendang itu"
Kami pun berjalan mendekati segerombolan mereka, dan menjelaskan sedikit maksud kami kepada Ustadz itu. Tanpa panjang lebar beliau sudah faham, karena nasib kami sama dengan sekumpulan Banin itu. Kami pun diminta menuliskan nama lengkap, taqdir (nilai), jinsiyah (kewarganegaraan), dan firqoh (tingkat).
Kami hanya bertiga. Walaupun sebenarnya pasti masih banyak yang mendapatkan kasus yang sama. Tak lama ustadz itu kembali ke dekat panggung. Nampak dari tempat kami duduk, beliau berdiri di samping pembawa acara yang sedang memanggil nama satu per satu.
Hanya beberapa menit dari itu, satu dua mahasiswa India itu maju ke depan. Dan mereka bukanlah mutakharijin, namun berbaris di antara mutakharijin yang namanya tak habis-habis itu.
"Ahh..lebih baik ga usah dipanggil kak. Yang penting bisa ambil syahadah nya aja Alhamdulillah"
"Iya bener"
Aku semakin tidak kuat dan tidak tenang. Bukan karena itu, tapi perutku semakin panas menahan lapar yang menyiksa. Aku ingin segera memutuskan untuk pulang, tapi disisi lain aku tidak ingin pulang dengan tangan kosong.
"Kak, tadi denger ngga sih ada Duktur yang ngomong yang dapat uang itu Mutafawwiqin semuanya ya? Ana denger alfu junaih dan minhah Azhar?", tanyaku kepada kak Farah yang sejak tadi duduk di kursi depanku.
"Iya. Katanya yang Jayyid Jiddan seribu, yang Mumtaz duaribu"
"Masa sih?", tanyaku tak percaya.
"Nah itu masih dipertanyakan. Mana mungkin jumlah sebanyak ini", jawabnya tak yakin.
Itulah yang menjadi alasan bagiku mengikuti haflah ini. Jika memang ada rezeki yang didapat, apa salahnya? Banyak kitab yang sedang kuimpikan untuk segera dibeli. Ada nazar yang ingin segera kuselesaikan jika ada rezeki lebih.
"Tetap jangan berharap pada manusia. Nanti yang ada malah sakit hati", bisikku pada diri ini yang masih terus bertanya-tanya kebenaran informasi.
"Entahlah ana juga kurang faham. Kalaupun ada mungkin seribu itu dibagi semua yang dapet Jayyid Jiddan", jawaban Kak Rahmi saat kuberi pertanyaan yang sama. Semakin meragukan.
"Sudahlah pasrah saja", batinku menguatkan diri sendiri. "Semoga ada ilmu dan pengalaman baru dari sini"
"Kak, itu kak Nida sama temannya, kakak tingkat kita Ushuluddin juga maju ke depan", kataku sambil menunjuk dua akhwat berkerudung merah yang sedang berjalan ke depan melalui tangga turun. Semakin tertutup oleh ratusan orang yang duduk dan berdiri. Keduanya juga sama seperti kami.
"Belum dipanggil juga mereka?"
"Iya kak. Kesana aja yuk kak, kayaknya mau ambil syahadah nya langsung ke panitia di belakang panggung"
Kami pun segera mengikuti langkah dua kakak itu. Ternyata di dalam salah satu ruangan di belakang panggung itu sudah bergerombol mahasiswa/i dengan berbagai warna kulit. Dari berbagai negara. Semua mendapat kasus yang sama. Mereka melingkari sebuah kursi yang duduk disitu seoang Ustadz berkulit gelap yang sangat ramah. Dengan sabar dan sangat teliti membolak-balik satu per satu kertas syahadah. Ada yang berwarna hijau artinya milik mutakharijin dan berwarna merah untuk mutafawwiqin yang buka mutakharijin.
Kami pun segera melingkar diantara mereka.
"Kalau ada nama kalian atau nama yang kalian kenal, sampai kan", kata beliau sambal membolak-balik ratusan kertas itu. Tak sedikit dari mereka yang rela mengantre hanya untuk mengambilkan punya kawan. Atau sengaja hanya mengambil milik diri sendiri. Dan adapula yang ingin mengambil milik sendiri, justru mendapat belasan nama kawannya. Seorang mahasiswi yang memangku bayi mungilnya duduk di sebelah Ustadz itu. Setiap beberapa kali nama yang tertera dalam syahadah itu disebut, mahasiswi itu selalu mengambilnya. Berwarga negara Brunei Darussalam, dan sepertinya banyak kawannya yang tak bisa hadir.
"Sungguh mulia sekali ibu plus mahasiswi ini", batinku.
Tak lama, namaku pun terpampang. Dan aku segera mengambilnya. Sedangkan kedua kawanku dan dua kakak Kelas yang tadi kami ikuti jejaknya belum mendapatkan nama mereka.
"Kak, afwan ya ana duluan..", kataku berisik di telinga kak Rahmi.
"Iya, gapapa. Hati hati", jawabnya mempersilakan.
Jika bukan karena panasnya perutku yang sudah berteriak-teriak sejak tadi aku tak kan tega pergi terlebih dahulu meninggal kan mereka. Aku sempatkan berfoto dua kali sambil memegang syahadah itu, sekedar untuk dokumentasi dan ingin ku kirimkan ke keluarga ku.
Dalam perasaan yang penuh kebahagiaan itu, aku tetap berbisik dalam hati, "Ini semua hanya penghargaan dunia dan penilaian manusia yang hanya bersifat sementara dan tak selalu benar adanya. Jika hanya ini yang kita harapkan, betapa sia-sia segala pengorbanan, kesabaran, begadang, semua lelah dan peluh. Namun jika karena ridho Allah yang kita ingin kan, kita akan menemukan penghargaan yang lebih berharga, lebih mulia, dan pasti kebenarannya. Kita tak akan silau dan berlebihan dalam mendapatkan penghargaan manusia."
Pantaskah diri ini untuk mendapatkan itu, sedangkan ilmu yang dimiliki masih jauh dari yang diharapkan?
Rab'ah, 20.09.18