Pages

Senin, 24 September 2018

Taqdir Terbaik


"Kak, tidak harus ikut gladi kan? Ana ga bisa soalnya..", siang itu setelah aku pulang dari Hay Asher aku segera menghubungi teman sekaligus kakak kelas ku. Iya sejak aku harus kuliah pada tahun pertama aku berada di negeri ini, semua teman ku selalu aku panggil 'kak, atau mbak'.

Pagi itu aku ada keperluan ke Asher untuk kepentingan dakwah, siangnya aku mengajak sahabat ku, Salma untuk pergi ke Markaz Tahfidz. Rasa cinta terhadap Al Quran yang membuatku semakin dekat dengan-Nya ingin rasanya kuberikan kepada siapa pun yang aku cintai karena-Nya. Yakinlah bahwa kenikmatan yang kita rasakan tak kan rela kita ambil sendiri, melainkan ingin memberikan kepads orang terdekat dan tercinta.

Sudah setahun aku berada di Markaz Tahfidz itu, dan sudah lebih dari setengah Al Qur'an yang aku setorkan kepada para Syaikh, Ustadz, dan Ustadzah di Markaz itu. Dan aku ingin sekali kebahagiaan ini kubagi dengannya.
Setelah melakukan pendaftaran, menulis dan membayar uang 50 pound, kami segera mengantri untuk menyetorkan hafalan murajaah kami.

"Iya, gapapa kok.."

"Alhamdulillah..besok acara nya jam berapa? Bajunya gimana?"

"Insya Allah jam 7, pakai jubah hitam dan khimr merah marun"

Usai tahfidz, tepat bakda Ashar aku harus segera melangkahkan kaki ke Fakultas Ushuluddin Banin yang letaknya hanya 10 menit dari Markaz Tahfidz Syaikh Nabil. Hari itu ada dars yang jauh lebih berharga bagiku. Muqaddimah Ibnu Sholah yang membuatku akan menangis jika harus izin walaupun hanya sekali. Mempelajari Mushtholah Hadits yang sejak dulu selalu menjadi hujaman pertanyaan dalam benak ku. Dan aku tak kan rela untuk terlewatkan satu katapun untuk mendengar apa yang Syaikh Aiman sampaikan. Manisnya setiap kalimah yang beliau katakan dengan bersihnya bahasa Arab Fushah membuat kami hanya perlu fokus tanpa harus merasa berat dengan bahasa Amiyah yang sering kita temukan di bangku kuliah.

Pagi harinya, itu hari yang dinantikan oleh semua wafidin dan wafidat dari semua Negara yang berada di Jamiah Azhar. Mereka yang sudah selesai pada tingkat empat akan diwisuda, dan mereka yang mendapat taqdir atau nilai tinggi pada setiap tingkat (satu hingga tiga) akan diadakan sebuah haflah takrim (acara penghargaan) yang diadakan oleh Parlemen Pelajar Wafidin Al Azhar Asy Syarif.

Dan atas kemurahan-Nya, Allah memberikan ku kesempatan untuk mengikuti haflah ini. Sebenarnya aku merasa tak pantas untuk mendapatkan kesempatan ini, hingga aku tiba di dalam ruangan yang besar ini. Mengingat belajar ku yang hanya sekedar nya, ilmu ku yang belum ada apa-apanya. Bisa duduk menggunakan seragam yang sama, dan selendang berwarna emas bertuliskan "Barlemen Thulab Wafidin bil Azhar Asy-Syarif", dan dibawahnya "Mutafawwiqin 2017-2018". Aku serasa mimpi. Acara ini yang didatangi dan disambut oleh Kibar Masyayikh Azhar, dan Rais (Pimpinan) Universitas Azhar, serta para Rektor dari berbagai Fakultas, juga duta perwakilan dari setiap Negara untuk memberikan penghargaan kepada nama-nama yang dipanggil ke atas panggung. Belum lagi jepretan kamera para kameramen dari berbagai media memenuhi setiap sudut ruangan, bahkan di setiap lorong dan ruang kosong. Aku merasa mimpi berada di tempat ini. Bersama orang-orang terpilih yang memang pantas untuk mendapatkan hal ini.

Aku hanya diam melihat teman-teman yang sedang sibuk berfoto dengan berbagai background yang tampak menarik. Tiga jepretan sepertinya tidak puas. Ingin lagi dan lagi. Dengan berbagai pose dan latar yang berbeda. Tak peduli ada belasan atau puluhan pasang mata yang mengawasi. Para Ikhwan yang ada di kursi seberang juga belakang. Menyaksikan tingkah perempuan yang selalu ingin eksis.

Hanya kalimat syukur yang tak dapat terhitung atas segala nikmat-Nya. Bisa diberi kesempatan untuk melahap ilmu di Universitas Islam tertua ini. Berguru kepada orang-orang hebat yang tak sembarangan dipilih menjadi Dosen pengajar.

Bukan karena kepintaran, usaha atau doa ku yang bisa membuat ku ada disini. Semua itu karena doa-doa orang tua dan pemberian dan karunia Allah. Dan aku yakin segala kebaikan yang dilakukan kedua orang tua ku juga menjadi wasilah yang mengantarkanku meraih semua ini.

Walau kebahagiaan itu tak terbendung, rasa bangga dan bahagia itu seolah membuatku tak percaya, tetap saja dalam hati yang terdalam ada bisikkan yang membuatku tetap tenang dan tidak heboh dengan semua kesenangan itu. Aku tatap satu persatu nama yang dipanggil ke atas panggung. Mulai dari yang mendapatkan taqdir Mumtaz, baik dari tingkat satu hingga tingkat tiga. Baik dari Fakultas Lughoh Arabiyyah, Syariah Islamiyah, Syariah Wal Qanun, dan Ushuluddin. Kemudian dipanggil pula para Wisudawan, yatitu yang telah lulus tingkat empat. Semua Negara ada. Mulai dari Spanyol, Nigeria, China, India, Suriah, Palestina, Vietnam, Malaysia, Australia, Sudan, Brunei Darussalam, terkahir Indonesia dan Thailand yang paling banyak. Bukan karena jumlah mahasiswa yang Mutafawwiqin dari dua negara itu yang banyak. Tapi mahasiswa dari kedua negara itulah yang paling antusias untuk mengikuti takrim ini. Rela lelah megantre saat mendaftar dan juga bersabar menunggu hari yang dinanti. Padahal sejatinya tidak ada sedikit pun kewajiban untuk mengikuti ini. Namun karena ini adalah haflah pertama kali yang diadakan oleh Parlemen Wafidin Azhar Asy Syarif, maka wajar jika tak sedikit yang antusias untuk mengikuti.

Sebelum nama-nama itu dipanggil, beberapa Duktur atau Rektor memberi sambutan. Ada salah satu dari mereka yang menyatakan kebanggaannya kepada mahasiswa Wafidin, karena mereka adalah duta negara untuk membawa risalah Islam ke seluruh dunia. Beliau mengatakan ada sekitar 130 Negara yang memiliki mahasiswa di Al Azhar Asy Syarif. Dan total seluruh mahasiswa non Mesir atau biasa disebut Wafidin dan wafidat sekitar 33000. Sungguh jumlah yang sangat menakjubkan.

Setelah mahasiswa yang meraih taqdir Mumtaz selesai dipanggil, maka berikutnya satu persatu diesbut nama para Wisudawan yang mendapat nilai akhir Imtiyaz  (Mumtaz) dan Jayyid Jiddan 'ala martabtish syaraf. Mereka yang menggunakan selendang hijau, baju toga yang nampak sangat besar serta topi khas wisuda yang berwarna hitam persegi lima itu nampak sangat wibawa walau sederhana. Tentu bisa mempertahankan prestasi hingga tingkat terkahir tidaklah mudah bagi siapapun. Karena semakin tinggi tingkat belajar nya, semakin banyak dan berat pula maddah kuliah nya. Takhasus terutama untuk yang mengambil Fakultas Ushuluddin pasti lebih menguras tenaga serta pikiran. Apalagi Banin yang dikenal lebih tinggi angka kesulitannya dibanding Banat.

Tak banyak yang bisa mendapatkan   nilai ini, sekalipun dari berbagai Negara pasti memiliki nama-nama yang dipanggil dari kalangan mereka. Berbagai macam warna kulit, paras muka, dan bahasa disatukan dalam naungan Al Azhar Asy Syarif ini. Setelah habis nama-nama para wisudawan yang Mutafawwiqin itu dipanggil, maka berikutnya adalah Mutafawwiqin dari tingkat satu hingga tiga yang mendapat taqdir Jayyid Jiddan. Tentu jumlah nya juah lebih banyak lagi. Dan lagi-lagi Indonesia serta Thailand yang memborong nama-nama itu. Satu per satu teman dan kakak kelas ku yang duduk di samping kanan kiri, depan dan belakang, banat dan banin maju ke depan. Setelah nama lengkap mereka, serta asal Negara disebut kan mereka harus segera berjalan ke atas panggung untuk menerima syahadah dari Parlemen Wafidin Azhar oleh panitia yang sudah berdiri berjam-jam disana. Bersalaman dan berfoto dengan Syaikh atau Syaikahah yang sudah rapi berdiri di atas panggung.

Dari situ aku sudah mulai tak tenang. Bukan karena namaku tak dipanggil-panggil, lebih tepatnya jika aku harus dipanggil dan maju ke depan mengambil syahadah itu kemudian akan ada banyak kamera yang akan menangkap ku berfoto bersama salah satu atau beberapa syaikh. Walau tidak menutup kemungkinan yang akan memberikan syahadah itu adalah Dukturah/Syaikhah yang hanya ada satu dari enam atau tujuh Syaikh yang ada di atas panggung itu.

"Bukan kah itu termasuk ikhtilat?" Batinku bergeming. "Mengapa mereka mengganggap biasa saja berfoto dengan yang bukan mahram? Apalagi jika sampai terkesan atau tertangkap kamera dalam keadaan berdua?.."

Hingga pukul satu siang, sang pembawa acara menghentikan acara sejenak untuk istirahat dan shalat Dzuhur. Mayoritas teman-teman ku, baik yang jurusan Syariah, Lughoh Arabiyyah dan Ushuluddin sudah dipanggil satu persatu. Mereka yang duduk di kanan kiri ku, depan dan belakang ku sudah memegang kertas syahadah berwarna merah. Kebanyakan adalah teman setingkat, tapi kakak tingkat pun tak sedikit duduk di beberapa kursi belakang kami.

Ruangan itu semakin sepi, karena kebanyakan bergegas untuk melaksanakan sholat Dzuhur. Aku dan Kak Farah segera keluar mencari hamam Li sayyidat.

Setelah berwudhu dan kembali menggunakan kain kuning emas itu, kami segera mencari musholla yang terletak tak jauh dari tempat berwudhu. Sempit sekali. Tapi beruntung saat kami kesana sedang sepi. Hanya ada beberapa sayyidat saja yang sedang shalat dan hampir selesai.

Sudah pukul dua siang. Dan saat ini nama-nama yang dipanggil tidak lagi nama-nama mutafawwiqin, baik dari tingkat satu hingga yang wisuda. Nama-nama berikutnya dan tepatnya yang terakhir adalah nama para wisudawan yang tidak mendapatkan taqdir Mumtaz atau Jayyid Jiddan. Mereka dipanggil di urutan terakhir, dan tentu jumlah mereka tak terhitung. Bahkan antar satu dengan berikutnya tak dijeda sedikitpun layaknya nama-nama mutafawwiqin, sehingga membuat barisan di jalan menuju panggung hingga atas panggung penuh. Mereka seperti mengantre untuk mendapatkan sesuatu yang sangat berharga. Berbeda dengan nama-nama mutafawwiqin yang dipanggil satu per satu hingga di atas panggung hanya ada satu orang saja sehingga begitu nampak.

"Qonita. ..ana laper..", keluh Kak Farah yang duduk di depan ku.

"Hmm. Iya kak sama. Udah jam dua  pantesan udah laper banget"

"Ga ada snack ya?"

"Katanya sih ada tapi udah habis. Adanya teh..", balas ku memelas.

"Kata siapa?"

"Tadi kata temen ana, mau keluar aja yuk kak.."

"Jauh ga sih? Ehh..tapi kamu belum dipanggil kan?"

"Iya belum."

"Yaudah jangan keluar dulu"

Kak Rahmi. Salah satu teman ku yang mendapat kan beasiswa Azhar tinggal di Madinah Buuts mengerti seluk beluk acara ini. Dan dia pun mendapat nasib yang sama dengan ku. Nama kami belum dipanggil, padahal dia sendiri adalah salah satu pengurus di Parlemen Wafidin Azhar untuk bagian Banat. Saat aku menyerahkan berkas pertama kali untuk pendaftaran ini juga ke beliau.

Anak Aceh yang sangat ramah ini nampak begitu tenang, walau tak dipanggil-panggil namanya. Padahal dia berada di urutan sangat awal, dan sudah terlewatkan oleh puluhan atau ratusan nama-nama mahasiswa/i yang lain.

"Alhamdulillah.. malah ga maju. Malu ke depan", katanya begitu santai saat aku tanya.

Maklum kan banyak sekali yang harus dipanggil. Ada satu lagi teman kami yang sama-sama tingkat satu Ushuludin yang nampak begitu resah dan kecewa saat namanya tak terdengar.

"Ini kan udah nama-nama mutakharijin non mutafawwiqin yang dipanggil, jadi kita ga akan dipanggil lagi", tambahnya meyakinkan.

"Kayaknya mereka juga sama kayak kita kak", kataku sambil menunjuk beberapa mahasiswa berwajah hitam setengah sawo matang. Berjenggot tak terlalu lebat. Layaknya wajah-wajah pemain figur di Film Hollywood. Wajah-wajah India, yang duduk beberapa kursi di depan kami.

"Iya kayaknya, mereka lapor ke Ustadz itu. Yaudah kita kesitu yuk..", ajaknya memebri solusi.

"Iya kak itu Ustadz yang sewaktu itu di Parlemen yang ngurus penyerahan selendang itu"

Kami pun berjalan mendekati segerombolan mereka, dan menjelaskan sedikit maksud kami kepada Ustadz itu. Tanpa panjang lebar beliau sudah faham, karena nasib kami sama dengan sekumpulan Banin itu. Kami pun diminta menuliskan nama lengkap,  taqdir (nilai), jinsiyah (kewarganegaraan), dan firqoh (tingkat).

Kami hanya bertiga. Walaupun sebenarnya pasti masih banyak yang mendapatkan kasus yang sama. Tak lama ustadz itu kembali ke dekat panggung. Nampak dari tempat kami duduk, beliau berdiri di samping pembawa acara yang sedang memanggil nama satu per satu.

Hanya beberapa menit dari itu, satu dua mahasiswa India itu maju ke depan. Dan mereka bukanlah mutakharijin, namun berbaris di antara mutakharijin yang namanya tak habis-habis itu.

"Ahh..lebih baik ga usah dipanggil kak. Yang penting bisa ambil syahadah nya aja Alhamdulillah"

"Iya bener"

Aku semakin tidak kuat dan tidak tenang. Bukan karena itu, tapi perutku semakin panas menahan lapar yang menyiksa. Aku ingin segera memutuskan untuk pulang, tapi disisi lain aku tidak ingin pulang dengan tangan kosong.

"Kak, tadi denger ngga sih ada Duktur yang ngomong yang dapat uang itu Mutafawwiqin semuanya ya? Ana denger alfu junaih dan minhah Azhar?", tanyaku kepada kak Farah yang sejak tadi duduk di kursi depanku.

"Iya. Katanya yang Jayyid Jiddan seribu, yang Mumtaz duaribu"

"Masa sih?", tanyaku tak percaya.

"Nah itu masih dipertanyakan. Mana mungkin jumlah sebanyak ini", jawabnya tak yakin.

Itulah yang menjadi alasan bagiku mengikuti haflah ini. Jika memang ada rezeki yang didapat, apa salahnya? Banyak kitab yang sedang kuimpikan untuk segera dibeli. Ada nazar yang ingin segera kuselesaikan jika ada rezeki lebih.

"Tetap jangan berharap pada manusia. Nanti yang ada malah sakit hati", bisikku pada diri ini yang masih terus bertanya-tanya kebenaran informasi.

"Entahlah ana juga kurang faham. Kalaupun ada mungkin seribu itu dibagi semua yang dapet Jayyid Jiddan", jawaban Kak Rahmi saat kuberi pertanyaan yang sama. Semakin meragukan.

"Sudahlah pasrah saja", batinku menguatkan diri sendiri. "Semoga ada ilmu dan pengalaman baru dari sini"

"Kak, itu kak Nida sama temannya, kakak tingkat kita Ushuluddin juga maju ke depan", kataku sambil menunjuk dua akhwat berkerudung merah yang sedang berjalan ke depan melalui tangga turun. Semakin tertutup oleh ratusan orang yang duduk dan berdiri. Keduanya juga sama seperti kami.

"Belum dipanggil juga mereka?"

"Iya kak. Kesana aja yuk kak, kayaknya mau ambil syahadah nya langsung ke panitia di belakang panggung"

Kami pun segera mengikuti langkah dua kakak itu. Ternyata di dalam salah satu ruangan di belakang panggung itu sudah bergerombol mahasiswa/i dengan berbagai warna kulit. Dari berbagai negara. Semua mendapat kasus yang sama. Mereka melingkari sebuah kursi yang duduk disitu seoang Ustadz berkulit gelap yang sangat ramah. Dengan sabar dan sangat teliti membolak-balik satu per satu kertas syahadah. Ada yang berwarna hijau artinya milik mutakharijin dan berwarna merah untuk mutafawwiqin yang buka mutakharijin.

Kami pun segera melingkar diantara mereka.

"Kalau ada nama kalian atau nama yang kalian kenal, sampai kan", kata beliau sambal membolak-balik ratusan kertas itu. Tak sedikit dari mereka yang rela mengantre hanya untuk mengambilkan punya kawan. Atau sengaja hanya mengambil milik diri sendiri. Dan adapula yang ingin mengambil milik sendiri, justru mendapat belasan nama kawannya. Seorang mahasiswi yang memangku bayi mungilnya duduk di sebelah Ustadz itu. Setiap beberapa kali nama yang tertera dalam syahadah itu disebut, mahasiswi itu selalu mengambilnya. Berwarga negara Brunei Darussalam, dan sepertinya banyak kawannya yang tak bisa hadir.

"Sungguh mulia sekali ibu plus mahasiswi ini", batinku.

Tak lama, namaku pun terpampang. Dan aku segera mengambilnya. Sedangkan kedua kawanku dan dua kakak Kelas yang tadi kami ikuti jejaknya belum mendapatkan nama mereka.

"Kak, afwan ya ana duluan..", kataku berisik di telinga kak Rahmi.

"Iya, gapapa. Hati hati", jawabnya mempersilakan.

Jika bukan karena panasnya perutku yang sudah berteriak-teriak sejak tadi aku tak kan tega pergi terlebih dahulu meninggal kan mereka. Aku sempatkan berfoto dua kali sambil memegang syahadah itu, sekedar untuk dokumentasi dan ingin ku kirimkan ke keluarga ku.

Dalam perasaan yang penuh kebahagiaan itu, aku tetap berbisik dalam hati, "Ini semua hanya penghargaan dunia dan penilaian manusia yang hanya bersifat sementara dan tak selalu benar adanya. Jika hanya ini yang kita harapkan, betapa sia-sia segala pengorbanan, kesabaran, begadang, semua lelah dan peluh. Namun jika karena ridho Allah yang kita ingin kan, kita akan menemukan penghargaan yang lebih berharga, lebih mulia, dan pasti kebenarannya. Kita tak akan silau dan berlebihan dalam mendapatkan penghargaan manusia."

Pantaskah diri ini untuk mendapatkan itu, sedangkan ilmu yang dimiliki masih jauh dari yang diharapkan?

Rab'ah, 20.09.18

Sepekan Bersamamu, Jami' Azhar

Malam itu adalah pertama kalinya aku berjalan sendiri, membawa barang yang cukup berat di pundak dan kedua tanganku. Di daerah yang sudah ku kenal tapi masih sedikit asing bagiku. Gank-gank yang banyak, baalah (warung) dengan berbagai jenis jualannya, serta pemukiman yang bervariasi usia dan kualitasnya.

Pindahan itu belum selesai. Dan aku akan segera menyelesaikan. Membawa barang-barang terakhirku dari Hay Asher tepatnya Gami yang aku titipkan selama satu Minggu di rumah sahabat seperjuanganku itu. Mungkin untuk memindahkan barang-barang terkahir itu aku membutuhkan tiga kali bolak-balik karena hanya mengandalkan kedua pundak dan kedua tangan.

Dan penantian itu semakin berat. Menunggu sosok-sosok yang dicinta karena telah terpisahkan sekian lama. Hanya pesan tertulis yang menghubungkan kita.

Malam itu setelah aku selesai masak dan makan di rumah kak Nida, aku langsung bersiap untuk pergi ke Gamalia. Sebuah bagian wilayah kecil di Darosah. Berada sekitar 15 menit dari Masjid Azhar, dan kampus Banin. Rumah baru yang sudah tiga bulan kami bayar namun tak kunjung kami tempati. Namun liburan kuliah tak lama lagi berakhir, maka sebelum kesibukan kembali menguras waktu kami dan sebelum adik-adik Maba tiba, maka kami ingin segera tinggal di syaqoh itu. Banyak yang perlu diselesaikan dan diurus.

Kulangakahkan kaki beberapa menit setelah adzan Isya' terdengar. Sekitar pukul delapan malam. Belum malam untuk ukuran Mesir memang. Tapi untuk ukuran kebiasaan hidup di desaku, di ujung Provinsi Jawa Timur, di Kota kecil pesisir pantai, isya adalah batas waktu untuk segera menghentikan pekerjaan. Waktu untuk segera beristirahat. Bukankah begitu Rasulallah mengajarkan?

Rasa takut itu seolah sirna, karena memang kehidupan di Negeri ini memberi suasana yang jauh berbeda daripada negeri kita. Malam seolah siang dan pagi hingga menjelang Dzuhur bagaikan tengah malam. Sepi. Tiada kegaduhan. Tenang. Tak ada anak-anak kecil yang berlari-lari atau bersepeda menikmati mentari yang memberi vitamin bagi kulit. Tapi malam itu begitu ramai. Layaknya suasana libur hari Minggu pagi di kampungku. Anak-anak kecil berteriak dan berlari saling mengejar. Para bapak menongkrong di tempat-tempat makan melepas lelah kerja seharian. Dan itulah yang membuat menjadi lebih aman walau harus berjalan tanpa kawan.

Setelah aku pamitan, aku pun melangkah dari apartemen itu. Aku sudah berjanji dengan teman rumah ku untuk mulai malam itu menginap di syaqoh kami. Apapun kondisinya.

Sedikit kisah-ku di apartemen sahabatku. Letaknya sangat dekat dengan Madyafah Syaikh Ismail Shadiq Al 'Adawi. Sebut saja syaqqoh yang berada di sutuh, lantai teratas tepatnya lantai empat. Bangunan tua itu mengingatkanku dengan suasana pedesaan di rumah Kakek dan nenek ku pada masa kecilku. Ubin lantai yang masih kecil-kecil, pintu dan jendela yang khas dengan dua buah daun berlubang bagaikan sisir. Lemari-lemari kayu bermodel jadul yang nampak begitu kuat, dan juga model bangunan serta dinding yang menunjukkan bahwa bangunan itu sudah berumur. Setidaknya ada beberapa generasi di atas kami sudah yang  menginjakkan kaki di syaqoh itu untuk hidup dalam perantauan di Mesir ini.

Imarah yang berlantai empat itu, tiga lantai dibawahnya semua mahasiswa yan berwarga negara Thailand. Ada yang sudah berkeluarga, dan ada yang satu syaqoh hanya ditinggali dengan Banin.

Sebenarnya aku enggan untuk beranjak dari tempat itu. Walaupun kami tinggal berdua, dan posisiku hanya menumpang itu pun karena menemani kak Nida, namun aku sangat merasa nyaman. Entah mengapa aku sangat bahagia di tempat itu, bagaimana pun kondisinya. Mengapa?
Pertama, tinggal bersama kawan yang memiliki satu visi dan pemikiran tak akan membuat kita bosan dan sedih. Walaupun satu atau dua kebiasaan kita yang berbeda, tapi selalu saja ada obrolan yang membuat hidup ini menjadi lebih hidup dan berarti. Entahlah begitu banyak hal yang sulit terungkapkan.

Kedua, syaqoh itu sangat strategis di musim liburan panjang ini. Untuk diriku yang terlalu rakus dengan semua fan ilmu yang dikaji dan dikupas tanpa ada habisnya membuat ku betah saja bolak-balik ke Jami' Azhar, Madyafah, Markaz Tahfidz atau Mudaraj yang ada di Kuliyyah Ushuluddin Banin. Setiap hari selalu ada jadwalku untuk bergelut di tempat-tempat itu. Dan kebanyakan memang di siang atau sore hari. Selama aku tinggal beberapa hari di rumah kak Nida, selalu ada hari yang dinantikan. Aku tak perlu lagi menyiapakan waktu paling tidak satu setengah jam dari rumah untuk datang ke Majlis Kajian Qotrunnada, warisan ilmu nahwu yang begitu menggiurkan. Pukul 10.30 pagi harus sudah duduk di tempat itu. Dan hanya perlu 15 menit sebelum waktu itu aku baru mulai bersiap-siap. Sepuluh menit untuk berpakaian dan lima menit untuk berjalan. Aku pun tak perlu lagi membawa tas. Cukup buku dan pulpen di tangan kanan, dan botol minum di tangan kiri. Berjalan lima menit aku pun bisa duduk paling depan di Madyafah Syaikh Ismail Shadiaq Al-Adhawi.

Tak hanya itu, untuk berangkat ke Markaz Tahfidz yang lebih dekat ke Mahathoh Darosah, aku hanya berjalan sekitar sepuluh menit. Tidak lagi harus berangkat sebelum Dzuhur hanya demi mengejar bus Tsmin atau 80 coret yang menjadi satu satunya kendaraan yang mengantarkan kami dari Hay Asher ke Darosah jika ingin menghemat ongkos. Tak perlu tergesa-gesa demi mengejar antrian agar dapat pertama. Di rumah itu, setelah sholat Dzuhur aku masih bisa tenang untuk berdoa dan makan terlebih dahulu. Dan untuk melancarkan hafalan aku pun masih bisa disana tanpa harus duduk lebih awal di Markaz sebelum ramai dengan kawan-kawan lain yang kebanyakan dari negeri sebelah. Thailand dan Malaysia.

Indahnya berada di lautan ilmu sangat terasa. Tak ada lagi uang yang setiap hari harus aku keluarkan untuk ongkos bus yang harganya sudah dua kali lipat dari saat pertama kali tiba di kota ini. Padahal belum genap satu tahun keberadaan ku disini. Tak ada lagi uang yang perlu aku keluarkan untuk membeli roti di makhbaz (toko roti), atau tha'miyah hanya untuk mengganjal perut ketika harus pulang malam hingga pukul sembilan. Cukup mengisi perut dengan makan teratur walau dengan menu apa adanya, setidaknya untuk setiap waktu makan aku tidak lagi terlambat dan bisa pulang pada waktu nya. Jauh lebih hemat. Jauh lebih nikmat. Aku membayangkan bagaimana perjuangan dulu para sahabat, tabi'in, Imam dan ulama yang rela berpanas-panasan, berjalan jauh dan waktunya habis di luar rumah hanya untuk mengumpulkan satu demi satu riwayat hadits.

Ketiga, merasakan indahnya fajar di Rumah Allah yang merupakan warisan tertua peradaban Islam yang gemilang. Iya. Apalagi kalau bukan Jami' Azhar. Sejak renovasi itu telah usai, sekitar bulan Sya'ban sebelum Ramadhan, kemewahan dan kemegahan masjid itu semakin nampak menakjubkan. Setiap doa yang kubisikkan dalam lirih itu selalu membekaskan basah di kedua pipiku. Shubuh yang sejuk. Udara yang begitu segar. Burung yang bertasbih tanpa henti. Jalanan yang masih lengang, dan lantunan adzan dari beberapa masjid yang saling bersahutan. Disusul dengan murattal yang menyentuh bagi siapapun yang mampu memahami kalam-Nya, suasana itu semakin syahdu. Aku teringat sebuah jalan di salah satu kota di negeri kelahiran ku. Kota yang menjadi saksi tumbuh nya tubuh mungil ku menjadi sosok remaja yang memiliki sejuta impi. Manakah Kota itu?

Yogjakarta. Iya. Tiba-tiba aku merindukannya. Jalanan yang berada di sepanjang Mustasyfa Husain, Jamiah Azhar Banin, Masjid Azhar, dan seberang nya Idarah Azhar, serta Masjid Sayidina Husain memutar ingatan ku dengan jalanan Malioboro di pagi butanya. Hanya saja di depan Al-Azhar ini antara jalur kanan dan kiri dipisahkan dengan besi panjang melebihi tinggi tubuh kita. Dalam setiap belasan atau puluhan meter baru ada lubang untuk menyebrang. Hanya saja tak ada satupun warung makanan yang buka atau setidaknya sedang bersiap-siap untuk berjalan layaknya di kanan kiri jalan Malioboro. Justru sebaliknya. Saat subuh sudah hampir tiba, beberapa menit sebelum adzan berkumandang, baalah-baalah (warung kecil) itu segera ditutup. Mulai yang berjualan makanan pabrik, makanan tradisional khas Mesir, atau kue-kue bergengsi yang rasanya tak tertandingi. Fathair atau manisan. Hanya dua warung yang tersisa setiap kali aku berjalan menuju Masjid Azhar. 'Ashir (warung jus) dan warung kopi yang duduk di sana beberapa bapak-bapak paruh baya juga kakek-kakek yang sudah beruban. Menghisap rokok khas Mesir yang bentuknya lebih mirip dengan terompet. Entahlah aku belum memahami cara mereka manghisap asap dari benda itu. Tak jarang mereka hanya sibuk mengobrol dan tertawa, dan terkadang bermain catur, atau kartu yang sudah tak asing lagi bagi kita. Anehnya mengapa mereka tidak mengakhiri semua permainan, obrolan itu saat mereka sudah mendengar adzan yang sangat dekat. Dua masjid agung berada hanya berbeda meter dari tempat mereka duduk bercengkrama. Masjid Azhar dan Masjid Husain yang letaknya hanya berseberangan.

Benar saja kata orang, sesuatu yang istimewa akan menjadi biasa saat sudah terlalu sering mendapatkannya.

Masjid Azhar pada waktu shubuh itu begitu berbeda dibandingkan di waktu siang dan sore hari nya. Jamaah hanya sedikit sekali. Untuk perempuan hanya sekitar lima sampai sepuluh saja. Dan laki-laki nya pun tidak sebanyak saat waktu Ashar.

Mengapa? Pertama, Ya itulah kehidupan mesir, saat subuh itu layaknya waktu tahajud. Hanya segelintir orang yang mau bangun melangkahkan kaki menuju pusat panggilan Rabb Illahi. Beberapa jam sebelum waktu shubuh banyak yang baru saja mulai tidur. Sehingga Shubuh yang merupakan waktu istimewa, dan beberapa waktu sebelum adzan subuh berkumandang adalah waktu terbaik untuk memohon ampun bukanlah menjadi prioritas lagi. Apalagi yang tak memahami keutamaan ini. Aku yakin, Masisir yang tinggal tak jauh dari Masjid Azhar sangatlah banyak. Tak hanya sepuluh atau dua puluh orang saja. Namun entahlah mengapa mereka menyia-nyiakan kenikmatan Allah yang sangat indah ini.

Kedua, kondisi Azhar memang sudah tak lagi seperti dulu. Usai subuh sudah ramai dengan kajian di berbagai Ruwaqnya. Tiada kesunyian dan gelap karena lampu dipadamkan lagi setelah beberapa menit sholat jamaah usai. Kehidupan dimulai, penyelaman ilmu kembali dilakukan, suara-suara yang begitu menyejukkan dari para Masyayikh terdengar menenangkan. Ummat Nabi yang diberkahi pada pagi harinya begitu terasa. Mengisi setiap ruangan yang begitu ramai dengan mahasiswa dari berbagai penjuru negara. Berbagi bahasa dan warna kulit.

Haahh.. semua itu hanya menjadi cerita. Yang aku sendiri pun tak pernah menyaksikannya. Tapi semua kisah itu tetap saja menyayat-nyatat perasaan ini. Apa sebab itu semua? Kenapa ilmu-ilmu yang berserakan dan tersimpan rapi dalam dada para ulama seolah dibatasi, dihalangi, dan sedikit-sedikit dicurigai? Betapa mahal nya warisan Nabi itu. Seolah-olah semua harus menyesuaikan zaman, sedangkan ilmu itu semakin dibutuhkan dan harus dilestarikan tanpa ada batasan waktu.

Di hari yang ketiga, aku sholat subuh disana. Kami bertiga mempercepat langkah kaki. Tak ingin tertinggal dua rakaat sebelum subuh yang ganjarannya sebesar dunia dan seisinya. Sambil menikmati udara yang segar itu, angin yang menggoyangkan khimar dan jilbab kami, lisan kami tak henti sambil berdzikir. Nampak satu dua masisir wajah Asean berdatangan. Berjubah putih atau abu-abu dengan kopyah bulat serta sorban yang dikalungkan di leher mereka. Iya hanya satu dua. Yang mungkin jika dijumlah kan tak sampai dua puluh. Menakjubkan. Padahal aku yakin kebanyakan dari Banin lebih banyak yang memilih tinggal di kawasan kampus dan Masjid Azhar, tapi mengapa begitu sunyi saat subuh seperti itu? Husnudzon saja mungkin mereka sholat di masjd terdekat dari syaqoh mereka. Yang berada di dalam dari Masjid Azhar. Mungkin di Masjid Imam Dardiri, atau Masjid Khadrawi. Cukup husnudzon saja kepada sesama Muslim untuk menghilangkan kecurigaan, lebih tepatnya kekecewaan.

Setelah para jamaah pulang, kami bertiga memilih untuk menetap beberapa menit disitu, menikmati sisa-sisa langit gelap sebelum semburat merah menampakan dua menara indah di dalam Jami' ini. Sambil melantunkan dzikir pagi dan murajaah hafalan Al Qur'an. Di halaman dalam masjid Azhar masih banyak orang yang menikmati fajar itu dengan bercengkrama bersama kawan atau kerabat. Duduk tanpa alas diatas ubin yang lebarnya hampir satu meter.

Tak ada obrolan sedikit pun diantara kami bertiga. Semua mencari tempat ternyaman yang kami inginkan. Tapi kami kompak untuk tidak keluar dari ruangan tempat jamaah sayyidat berada. Aku bersandar pada salah satu tembok besar nan tebal yang menjadi salah satu penyangga masjid itu. Menatap latar Masjid nan putih bersih tanpa debu yang berarti melalui sela-sela kayu yang menjadi pembatas. Ukiran yang indah pada kayu itu tak membuatku sedikitpun terhalang untuk menatap sepuasanya dua menara yang berjajar di sebelah kubah Jami' ini. Membuatku tak henti mengucapakan hamdalah dan tasbih.

"Tak semua mampu menatap indahnya tempat bersejarah ini"

"Cukup duduk disini saat sejuta kesulitan hidup di Kota ini menghampiri silih berganti. Dengan mensyukuri nikmat-Nya yang tak terhitung, beban terasa ringan", bisikku dalam hati.

Beberapa halaman Al Qur'an kubaca, dan beberapa detik aku tak sadar. Memejamkan mata sekejap kemudian terbangun.  Sudah terang. Dan di pelataran itu nan sunyi.

"Dimana Aida dan Nayla? Mereka sudah pulang? Meninggalkan ku sendiri? Apakah mereka tidak melihat tubuh ku yang sebesar ini?", Batinku sambil mengucek mata dan berdiri beranjak mencari mereka.

Tidak ada sandal di rak sepatu itu selain sandal jepit ungu milikku. Segera aku membuka pintu sedikit untuk memastikan apakah ada sandal mereka diluar. Dan ternyata ada. Dua pasang. Aku segera berjalan cepat menuju ruangan khos akhwat yang dibatasi dengan tembok kayu cantik yang tinggi.

"Ya Salaam.. ternyata kalian disini", kataku sambil sedikit tertawa.

"Ehh.. kenapa kak?", Nayla terbangun dengan suara lirih ku ternyata. Tangan kanannya memegang handphone dan kiri nya memegang Qur'an.

"Lalu...apa yang membuat anak ini tertidur?", tanyaku dalam hati tanpa meminta jawaban. "Bukankah handphone sudah cukup untuk menyegarkan kantuk?"

Di sudut lain Aida terlelap dengan menyandar dinding. Tampak lelah dan nyenyak. Aku pun mengajak mereka pulang, karena perutku sudah memanggil untuk minta diisi. Kami pulang tanpa ada sedikitpun yang meminta atau mengusir layaknya hari-hari sebelumnya, saat aku dan Kak Nida menikmati udara pagi di pelatarannya. Kami tilawah bersama, dan aku diberi beberapa pertanyaan tentang i'rab di dalam beberapa ayat Al Qur'an yang kami baca. Baru mendapatkan beberapa halaman kami sudah diusir. Bukan. Tepatnya diminta untuk pulang, karena semua lampu akan dimatikan. Tapi, kata "diusir" lebih tepat untuk menggambarkan kekesalan kami.

"Mungkin karena kami tidak nampak di luar. Kami menetap di dalam ruangan jamaah sayyidat. Hmm..  jadi dengan cara ini aku ngga perlu kesal lantaran diusir", pikirku sambil melangkah keluar.

Masih segar, sepi, dan tetap syahdu. Tetap mengingatkan suasana jalan di Kota itu. 

Esoknya, hari keempat aku sholat disana lagi. Entah setelah beberapa hari kami sholat disana, hari kesekiannya ada beberapa aparat keamanan yang tiba-tiba berjaga tidak seperti biasa. Dalam hatiku, "apakah kemunculan kami yang tiba-tiba, yang membuat aparat keamanan tiba-tiba ditugaskan di pintu masuk lorong Jami' ini?"

"Bukankah pada awal-awal tidak ada? Apakah karena hanya aku dan kawanku berdua atau bertiga yang membuat kejanggalan bagi mereka? Tidak ada jamaah sayyidat wafidat selain kami sesuatu yang perlu dicurigai? Apakah niqob yang kami gunakan adalah sebuah kesalahan? Bukankah niqob menjadi sesuatu yang wajar bagi perempuan di tanah Arab ini? Dan bukankah ia suatu kehormatan untuk Muslimah? Apa yang salah dari kami?"

Entahlah, saat kawanku membawa tas, mereka meminta untuk agar dibuka untuk diperiksa. Dia berkomentar dengan logat amiyyah yang tak perlu diragukan. Mengungkapkan sedikit keheranan akibat kekecewaan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu ada ini.

Dan hari Kamis itu, aku sengaja berniat untuk menetap disitu beberapa jam setelah sholat subuh. Selain karena sedang shaum, sehingga perut ku tak perlu mengeluh lantaran lapar, aku ingin menulis beberapa hal dalam buku spesialku.

"Sudah lama aku tak menulis disitu"

Tak lupa kubawa beberapa pulpen warna-warni serta Qur'an, juga kitab Qatrunada.

"Siapa tau betah, aku bisa sekalian mudzakarah", segaja semua aku peluk dalam genggaman kedua tangan, tanpa membawa tas sama sekali. Tak ingin menambah kecurigaan, yang sebenarnya tak perlu ada.

Aku tak berfikiran sedikitpun jika akan diusir. Seperti hari sebelumnya, aku memilih duduk di dalam. Agar tak ada satupun yang melihatku.

"Kak qonita ana duluan ya..mau ke rumah Sahah", kata Nayla sambil mengulurkan tangan.

"Qonita ana duluan ya, sakit perut. Kamu mau disini dulu?", kata Aida tak lama. Aku balas anggukan ringan.

"Hati-hati.."

Alhamdulillah aku bisa sendiri. Meski agak was-was, aku mencoba tenang. Aku mencari tempat yang tak akan nampak sekalipun ada orang yang membuka pintu. Dan aku optimis tak akan ada yang mengusik rencana ku. Setelah murajaah hafalan, aku mulai membuka buku coklat kecil untuk menulis kan banyak hal yang sudah menari-nari dalam pikiran. Baru beberapa kalimat, tiba-tiba pintu diketuk keras.

"Fii ahad goa?..(ada orang di dalam)"

Aku mencoba untuk tidak menjawab. Tapi percuma ketukan itu sudah diiringi langkah cepat, memeriksa. Memasang mata menatap setiap ujung ruangan. Dan aku pun tertangkap oleh tatapan nya yang tak kubalas walau hanya sekedar lirikan. Petugas keamanan yang berseragam biru itu segera keluar dan menutup pintu kembali. Mungkin dia pikir bukan tugasnya untuk mengusirku. Dia melaporkan ke kawannya yang tak lain semacam tugas kebersihan Masjid. Kudengar langsung percakapan mereka. Tak lama beliau masuk tanpa permisi. Dan aku pun sudah bersiap untuk keluar.

Dengan basi-basi walau tanpa muka sungkan apalagi permisi, beliau mengatakan semua lampu akan dimatikan dan pintu akan ditutup.

"Huuss... gagal semua rencana ku. Belum ada yang kutuliskan, apalagi membaca kitab yang sudah kubawa", gerutuku dalam hati. "Perasaan kemarin aman-aman aja. Kenapa sekarang diusir", fikirku dalam hati. "Oh mungkin kemarin belum sesiang ini. Dan kami pergi memang saat belum waktunya untuk lampu dimatikan", bisikku mencoba berhusnudzon.

Langkahku gontai. Memang tak ada siapapun disana selain diriku dan petugas-petugas keamanan yang tak hanya satu dua itu. Seakan semua pasang mata tertuju pada diriku. Seakan semua menyalahkanku serta mengggap aneh tingkah diri ini.

Benar. Saat ini, seakan masjid adalah tempat privasi. Yang penuh penjagaan ketat, yang dimasuki dengan izin pemiliknya, yang tidak terbuka di setiap waktu, dan tak bisa berlama-lama disana. Sampai kapan kah akan seperti ini? Dan bagaimana agar Azhar bisa kembali seperti dulu seperti kisah-kisah di zaman kegemilangan Islam? Menjadi pusat ilmu yang tak kan sunyi pukul berapa pun, terlebih di waktu yang sangat utama untuk meraup keberkahan. Menjadi tempat nyaman untuk bermunajat tanpa ada rasa was-was dan buru-buru.

Sepekan bersamamu menuntunku tuk bersyukur atas nikmat yang tiada tara, dan sepekan bersamamu meninggalkan jejak besar. Kesedihan dan rasa kecewa yang entah akan terobati sampai kapan.

Darosah, 24.09.18