Da’wah merupakan kewajiban yang Allah bebankan kepada setiap Muslim dan Muslimah baligh yang telah mendapatkan taklif hukum. Ia merupakan aktivitas mulia yang ditempuh oleh para Nabi dan Rasul untuk menyampaikan risalah Illahi berupa ajaran tauhid dan syariat-syariat yang diperintahkan. Menjadi pengemban da’wah tentu tidak harus berada di atas mimbar, atau setelah selesai mendapat gelar Lesenci, Sarjana Pendidikan Islam, Magister, Doktor, atau Professor.
Da’wah? Suatu kewajiban yang akan terasa berat jika seorang pengemban da’wah tidak membekali dirinya dengan ilmu dan akhlaq, sifat serta perilaku yang khas. Betapa banyak orang yang memiliki segudang ilmu dalam dadanya, dalam tulisan-tulisannya, dalam otaknya, namun karena kegagalan dalam berakhlaq dan berperilaku dalam kesehariannya, maka ilmunya itu seolah-olah menjadi sia-sia, karena hanya terpendam dan tersimpan dalam benaknya, dan tak ada orang yang mau meneladaninya atau ingin menadah ilmu Islam darinya.
Dalam ranah kehidupan Muslimah, banyak sekali akhlaq, sifat dan perilaku yang harus dimiliknya dalam setiap langkahnya, bahkan dalam setiap hembus nafas dan detiknya harus sangatlah diperhatikan. Perlu diingat, pengemban da’wah tetaplah manusia biasa. Ia tak seperti para Nabi dan Rasul yang ma’shum dari kemaksiatan, dan bukan juga malaikat yang tak pernah salah dan durhaka sekalipun. Yang setiap saat bertasbih memuji-Nya dan tak lelah dalam ketaatan kepada-Nya. Manusia biasa tentu memiliki potensi untuk melakukan kemaksiatan dan berbuat kesalahan, tapi bukan berarti alasan itu menjadikan seorang Muslimah yang sudah baligh beralasan untuk meninggalkan da’wah. “Memperbaiki diri terlebih dahulu, baru merubah orang lain. Menyempurnakan segala kekurangan dlam diri terlebih dahulu, baru berdakwah kepada orang lain”, itulah alasan yang sering dilontarkan untuk menghindari kewajiban mulia ini. Lalu apakah dengan meninggalkan perintah Allah ini kekurangannya akan menjadi sirna? Apakah meninggalkan kewajiban itu bentuk suatu kebaikan dan jalan meraih kesempurnaan?
Berdasarkan fakta yang bisa dilihat, teladan yang sudah didapatkan, serta pengalaman yang sudah dijalani, seorang pengemban da’wah terutama seorang Muslimah harus memerhatikan perkara-perkara penting dalam keseharianyya yang membuatnya akan menjadi sosok pengemban da’wah yang tangguh, diteladani, dijadikan rujukan, dan ide Islam yang ia bawa selalu didengarkan serta diyakini kebenarannya.
Pertama, ia harus menjadi sosok yang dikagumi sehingga menjadi teladan. Dalam ranah publik, yaitu dalam rumah baik itu di keluaraga, sanak saudara, asrama, kontrak atau kost-kostan, dalam menjalankan aktifitas keseharian seperti ibadah yang hukumnya wajib, ia harus menjadi orang yang memulai dan mengajak. Dalam hal ini jika Muslimah maka cakupan yang menjadi mad’u atau orang yang diajak baginya tentu sesama Muslimah, yaitu saudara atau teman-teman terdekatnya. Ia tak lelah mengajak dan mengingatkan dengan cara yang lembut, dengan penuh kedekatan, kasih sayang dan penuh pengertian. Misalkan dalam sholat-sholat fardhu. Saat adzan sudah berkumandang ia segera menghentikkan aktifitasnya, dan bersiap untuk memenuhi panggilan-Nya. Tak hanya menjadi yang pertama dalam mengajak, namun ia harus menjadi pertama kali yang bergerak. Dalam ibadah-ibadah yang sunnah ia pun menjadi pionir. Tak malas, melupakan dan meremehkan amalan-amalan sunnah atau nafilah yang ia mampu melakukannya. Seperti sholat sunnah rawatib, sholat dhuha, sholat tahajjud dan witir, puasa sunnah dan lain sebagainya, sesuai dengan kesanggupan yang ia miliki. Berbeda dengan yang fardhu, jika amalan sunnah ia tak perlu banyak mengingatkan atau mengajak dengan perkataan. Jika seorang da’iyah itu mampu secara istiqomah, bahkan hampir tak pernah terlewat dalam melakukan amalan-amalan nafilah tersebut, walau tidak banyak maka itu sudah cukup untuk menjadi teladan bagi mad’u yang tinggal atau bergaul dengannya. Ia menjadi sosok yang khas jika selalu menjaga kerutinan dalam menjalankan sunnah Rasul. Tentu, dalam segala amalan dia tetap hanya meniatkan Lillahi Ta’ala, bukan pandangan atau pujian serta penilaian orang lain. Tapi saat ia benar-benar semata-mata karena Allah, termasuk mengajak dan memberi teladan karena Allah maka menjadi sosok yang dikagumi dan diteladani menjadi sesuatu yang lumrah. Yang akan muncul sendiri tanpa ada pemaksaan yang dibuat-buat.
Tak hanya dalam masalah ibadah mahdhoh atau ibadah ritual saja, tentu dalam aktifitas utamanya selain itu ia pun selalu unggul. Dalam dunia ilmu, baik dalam bangku sekolah ataupun kuliah, baik formal maupun non formal. Dalam menuntut ilmu ia harus menjadi sosok yang serius, sabar, dan sungguh-sungguh, tidak meremahkan ilmu apapun, senantiasa menghormati guru atau dosen, serta mengerjaan semua tugas-tugasnya dengan sebaik mungkin. Dengan keseriusan dan kesungguhan ia dalam belajar, tentu ia akan berusaha menjadi sosok yang berprestasi dalam bidangnya, karena ia memahami bahwa Islam selalu mendorong ummatnya agar senantiasa memuliakan ilmu dan orang berilmu, maka prestasi yang ia kejar dan raih itu semata-mata hanya ingin menjalankan apa yang Islam perintahkan. Dengan prestasinya itulah, seorang da’iyah akan menjadi orang yang semakin dikagumi dan diteladani.
Kedua, memiliki akhlak yang mulia dalam kehidupan sehari-harinya. Berkahlaqul karimah merupanan salah satu perintah Rasulullah kepada ummat-nya. Dengan begitu, seorang pengemban da’wah akan selalu berusaha menjadikan setiap aktifitasnya sesuai dengan syari’at Islam. Karena pada hakikatnya, akhlak yang baik itu akan nampak saat seseorang melakukan aktifitas atau perbuatan dalam hidupnya. Ia senantiasa terikat dengan hukum syara’ yang sudah menentukan hukum pada setiap perbuatan. Jika haram maka ia tak akan melakukannya, jika wajib ia akan melaksanakannya tanpa terkecuali, jika makruh ia akan menghindari, jika sunnah ia akan memperbanyaknya, dan apabila mubah maka ia akan memilih sedikit saja darinya, atau bahkan meninggalkannya jika tidak ada keperluan atau justru melenakan.
Akhlaqul karimah yang perlu dicerminkan oleh seorang pengemban da’wah anatara lain gaya hidup yang sederhana, tidak hedonis, dan tidak suka berlaku boros dalam memenuhi kebutuhan bahkan hanya sekedar keinginan serta nafsunya. Harta yang dimilikinya selalu dibelanjakan di jalan yang halal dan thayyib. Mudah merasa cukup terhadap hal-hal diluar keperluan. Seperti mengoleksi jilbab dan khimar secara berlebihan padahal yang sudah dimiliki sudah lebih dari cukup. Hanya mau makan dengan menu yang mahal dan diatas standar kebiasaan kebanyakan orang. Membeli kosmetik yang tidak diperlukan atau bahkan dapat menjerumuskan dengan kesia-siasaan, seperti menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk berdandan, selalu ingin tampil menarik saat berada di luar rumah atau kehidupan umum, atau bahkan bisa terjerumus pada tabarruj.
Hidup sederhana bukan berarti hidup serba kekurangan. Namun, ia merasa cukup dengan apa yang dimiliki dan tidak mudah terbawa dengan trend-trend yang membuatnya menjadi pribadi yang hedonis.
Selain hidup sederhana, seorang pengemban da’wah seharusnya sangat dekat dengan Al-Qur’an. Ia menjadikan mushaf sebagai sahabatnya yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi. Lisannya tak lelah melantunkan ayat-ayat Allah baik itu tilawah, mengahafal atau murajaah hafalan. Al-quran baginya sudah cukup mengisi hatinya, menghiasi lisannya, dan menjadi obat bagi kesedihannya atau kegelisahannya. Ia memiliki target yang istimewa untuk Al-Qur’an. Tidak hanya membaca, namun menghafal, mentadabburi dan memahami hukum-hukum yang terkandung di dalamnya dengan membaca tafsir sehingga akan mendorongnya untuk mengamalkan apa yang sudah ia fahami.
Ia juga sosok yang sangat hati-hati dengan waktu. Bersifat pelit untuk terbuangnya waktu dalam aktifitas yang tidak menghasilkan pahala baginya. Sehingga ia senantiasa disibukkan dengan kebaikan dan kebaikan. Jauh dari aktifitas yang hanya sekedar hiburan tanpa ada nilai yang bisa didapat. Ia menjadikan setiap jam bahkan menitnya dipadatkan dengan ilmu, ibadah, Al-Quran, membantu orang lain, dan menjalanakan semua amanah, janji serta kewajibannya. Maka keresahan baginya bukan saat ia tak bisa mengikuti kebanyakan temannya mengahbiskan waktu untuk menonton film tanpa ada ilmu yang bermanfaat disana, jalan-jalan ke tempat wisata untuk dipamerkan di akun sosmednya, atau shoping ke mall untuk mencuci mata. Justru sebaliknya, ia akan resah, sedih dan menyesal jika waktunya terkuras tanpa ia sadari dalam aktifitas yang melenakan, yang tak mampu menambah ilmu dan ketaqwaan. Dan disaat ia mulai bosan dan lelah dengan aktifitasnya yang itu-itu saja, maka ia akan berpindah dari satu amalan ke amalan lain. sehingga ia akan semangat tanpa harus meninggalkan target yang sudah ia rancang. Hal ini tak lain lahir karena kesadarannya bahwa segala gerak-geriknya diawasi oleh malaikat pencatat.
Tak hanya itu, ia juga merupakan sosok yang senantiasa tawadhu’, karena Allah sendiri telah memerintahkan hamba-Nya untuk tidak congkak serta sombong terhdap orang lain. Bentuk ketawadhuannya itu ia cerminkan dengan tidak meremehkan orang lain, sekalipun mungkin dalam usia ia lebih tua, secara level dalam belajar ia lebih tinggi, secara kecakapan dalam berbicara dan pengalaman ia lebih utama, atau dalam kemampuan menghafal Al-Quran dan hadits dan menangkap ilmu baru ia lebih cepat, tapi ia senantiasa melihat orang lain dari kelebihan yang dimiliknya. Seberapun banyak kekurangan atau kelemahan orang lain di sekitarnya, ia tak pernah menjadikan itu sebagai alasan baginya untuk bersikap tinggi hati dan suudzon (prasangaka buruk) kepada orang lain tersebut.
Bentuk tawadhu’ itu juga harus ia cerminkan dengan tidak suka menyebut-nyebut dan memperhitungkan usaha dan kebaikan yang sudah dia lakukan. Walaupun pada suatu sisi, memang usaha keras dan pengorbannya lah yang menjadi salah satu wasilah tercapainya prestasi atau kesuksesan dalam hidupnya. Ia tetap selalu mengangap bahwa usahanya tak kan berarti tanpa ada pertolongan serta kemurahan Allah yang diberikan kepadanya.
Sifat tidak sombong yang tercermin pada dirinya itu juga nampak saat ia mendapat teguran, nasehat atau kritik saat ia melakukan kesalahan. Jika memang dia bersalah, maka ia tak akan segan untuk mengakuinya, meminta maaf, memperbaiki dan berjanji tidak akan mengulangi. Walaupun kesalahan itu tidak disengaja atau sangat jarang ia lakukan, namun tinggi nya ilmu, besarnya usia atau pengalamannya tak membuat matanya tertutup untuk melihat kesalahan yang ia lakukan.
Selain sifat tawadhu’, ia juga selalu menghiasi dirinya dengan sifat malu. Malu untuk meminta orang lain sedangkan dia mampu membeli atau memilikinya. Malu untuk mengeluh padahal keluhan kepada orang lain tidak akan memberikan ia solusi. Malu untuk berharap belas kasih dan uluran tangan orang lain sedangkan dia bisa menahan itu semua. Ia pun malu saat tidak bisa menggunakan waktunya untuk kebaikan yang berpahala, atau membeli sesuatu yang syubhat apalagi haram. Ia pun juga akan merasa malu saat mudah sekali tersulut emosinya, sedangkan ia tak perlu marah dalam menghadapi sebuah perkara yang sedang dihadapi.
Disisi lain, saat ia senantiasa menutup wajah dan tangannya untuk meminta dan berharap kepada pemberiaan orang lain, ia justru menjadi sosok yang sangat senang berbagi dan memberi. Apa yang dimiliknya tak ingin hanya ia nikmati sendiri. Justru saat orang lain membutuhkan, sedangkan ada banyak teman yang sebenarnya lebih bisa membantu, ia tetap berusaha untuk menjadi paling pertama bergerak menolong teman tersebut. Ia merasa puas dan bahagia saat apa yang dia miliki bisa membantu kesulitan orang lain.
Akhlaqul Karimah juga ia cerminkan dengan bencinya ia dengan segala bentuk kemaksiatan. Karena rasa takut terhadap ancaman dan balasan Allah bagi pelaku kemaksiatan, maka ia akan senantiasa menghindari perbuatan tersebut. Seperti kebiasaan banyak orang yang sudah menganggap biasa ikhtilath, atau campur baur antara laki-laki dan perempuan yang terjadi interaksi antara mereka. Begitu pula khalwat yang sudah menjadi tradisi kebanyakan pelajar atau mahasiswa saat ini. Termasuk khalwat dalam dunia maya, yang seolah tak nampak dan tak mengakibatkan dosa dengan alasan tak bertemu secara langsung. Ia sangat berhati-hati dalam masalah pergaulan, muamalah atau transaksi yang didalamnya terdapat syubhat antara halal dan haramnya, apalagi yang sudah jelas hukum keharamannya.
Ketiga, ia menjadi sosok yang selalu dijadikan rujukan. Setelah dikagumi dan diteladani karena kepercayaan orang di sekitarnya akan ibadah dan prestasinya dalam ilmu, serta akhlakul karimah yang senantiasa tercermin dalam setiap aktifitas kesehariannya, maka sudah menjadi sesuatu yang wajar jika teman atau saudara yang hidup dan sering bergaul dengannya akan menganggap bahwa ia pantas untuk dijadikan tempat bertanya dan mencari jawaban atau solusi. Dengan keilmuan dan prestasinyanya itu, ia akan dipandang sosok yang layak untuk mampu memberi jawaban yang memuaskan. Sehingga ketika mad’u itu melihat, atau mengalami kejadian, permasalahan atau ketidaktahuan dalam suatu hal ia akan segera meminta pendapat dan penilaiann darinya. Sehinnga ia akan memberikan jawaban sesuai hukum syara’ yang selama ini menjadi landasan ia dalam berfikir dan bertindak. Dengan pemahaman dan tsaaqofah Islam yang sudah ia pelajari, maka jawaban dan pandangan itu yang akan ia katakan dalam menjawab hal baru yang ditemukan atau dialami oleh mad’u. Sehingga saat jawaban itu sesuai dengan aqidah Islam dan terdapat nash yang jelas, serta dapat memuasakan hati aqal, maka kepercayaan mad’u yang merujuk kepadanya akan semakin bertambah. Ia tak hanya meyakininya, tapi akan mempraktekkan dan menyampaikannya serta tak akan segan untuk kembali bertanya kepadanya saat menghadapai masalah baru lagi.
Lalu, disaat ia berhadapan dengan pertanyaan yang belum mampu ia jawab karena belum pernah mengkaji atau menemukannya, maka ia akan berkata jujur bahwa ia belum tahu tentang hukum permasalahan tersebut. Namun, ketidaktahuannya itu tetap mendorongnya untuk mecari tahu kepada orang yang lebih berilmu darinya, sehingga ia akan berusaha keras untuk mencari jawaban itu dengan dilandasi dalil-dalil syara’. Setelah menemukan jawaban tersebut, maka ia segera menyampaikan kepada teman yang bertanya.
Keempat, ia adalah sosok yang kritis akan kemaksiatan dan segala bentuk kezaliman yang terjadi di sekitarnya, baik yang menimpa dirinya atau menimpa teman dan saudaranya. Kekritisan yang muncul itu membuatnya gerah dan tak tahan untuk melihatnya, maka ia akan berusaha untuk menyelsaikannya atas dasar amar ma’ruf nahi munkar. Perkara yang sering muncul semisal masalah pergaulan, yang akan sangat sering ia temukan melanggar batas hukum syara’, seperti ikhtilath dan berkhalwat. Saat ia terjebak dalam kondisi ikhtilath, seperti saat ada acara atau rihlah yang itu sangat sulit dihindari, maka ia sangat menyesali dan menjelaskan kesalahan apa yang telah terjadi dalam kegiatan tersebut. Ia berjanji dalam diri sendiri untuk tidak mengulangi hal yang sama. Begitu pula saat hal itu terjadi pada temannya walaupun ia sama sekali tak bergabung, ia akan tetap berani mengingatkan dan menjelaskan bagaimana batasan-batasan interaksi antara laki-laki dan perempuan yang diperbolehkan oleh Islam.
Begitu pula saat ia melihat banyaknya terjadi khalwat di antara teman-temannya, atau bahkan saudara dekatnya sendiri. Karena mafhum yang sudah dimilikinya, maka ia tak akan rela melihat kemungkaran lalu mendiamkannya begitu saja. Dalam kondisi sedang tidak ramai, atau dengan kata lain berdua saja dengan pelaku kemungkaran itu, ia akan tabayyun terlebih dahulu, kemudian menasehati dengan bahasa yang santun, tanpa ragu menjelaskan kebenaran yang ia fahami.
Selain masalah pergaulan, masalah muamalah juga salah satu yang sering terjadi kesalahan yang melanggar hukum syara’. Seperti pinjam-meminjam, jual-beli, sewa-menyewa, dan utang-piutang, maka ia senantiasa melihat dari sisi bagaiman hukum syara’ mengatur hal itu. Misal dalam jual beli saat ini banyak yang terjadi dua aqad dalam satu transaksi, atau melanggar janji dalam kesepekatan menyewa rumah. Baik dia menjadi pihak yang diuntungkan atau dirugikan, selama itu melanggar syara’ maka ia tak perlu berfikir lama untuk meninggalkannya, meluruskannya, dan menegur siapapun yang bermuamalah dengan jalan yang salah.
Dalam masalah makanan dan minuman yang masih dipertanyakan kehalalannya atau diragukan keharmannya, ia pun akan selalu menghindari. Semua itu termasuk syubhat yang belum bisa terbukti jelas hukumnya. Semisal makanan buatan pabrik yang disana terdapat komposisi yang berkode bahan yang mengandung babi atau minyak babi. Namun, disisi lain makanan itu adalah produksi salah satu negeri Arab, yang notabene adalah salah satu negeri Kaum Muslimin. Selezat, semurah, dan setenar apapun makanan itu, bahkan sekalipun diproduksi oleh seorang Muslim jika kehalalannya masih diragukan, maka ia tak perlu berfikir panjang untuk meninggalkannya. Termasuk juga makanan yang berada di pinggiran jalan, yang harganya sangat terjangkau, padahal bahan utamanaya adalah daging atau sejenisnya dari bahan yang terkenal memang mahal, maka kehalalannya itu masih dipertanyakan. Maka selain meninggalkan semua itu, ia pun tak segan untuk mengingatkan temannya dalam rangka untuk berhati-hati dan mengajaknya untuk berfikir terhadap yang berbau syubhat.
Kelima, ia adalah sosok yang solutif, peka dan peduli. Jika sifat yang ketiga di atas ia adalah sosok yang senantiasa dijadikan rujukan karena ilmunya dan pemahamannya terhadap dalil-dalil syara’ yang dipercaya, ia juga menjadi sosok yang spesial karena perilakunya yang selalu peka dan peduli dengan masalah-masalah teknis yang sering sekali ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, jika seorang Muslimah maka yang paling mudah dijangkau olehnya adalah masalah domestik. Masalah-masalah kecil yang nampak remeh dalam kehidupan rumah atau asrama menjadi perhatiannya yang tak ia anggap sesuatu yang sepele. Seperti masalah saluran yang mampet, sampah yang menggunung, air yang mati, gas habis, beras dan bahan makanan sudah tak tersisa, dan lain sebagainya. Ia menjadi pionir dan orang yang pertama kali berinisiatif untuk mencarikan solusi yang tepat dan cepat. Dengan begitu keberadaannya selalu dihargai dan disyukuri oleh teman-teman disekitarnya.
Keenam, sosok negarawan yang memiliki
pandangan khas serta konsisten. Negarawan tentu tak hanya seseorang yang duduk dalam kursi pemerintahan dan tak harus yang selalu berkiprah dalam memberi kebijakan politik dalam ranah kekuasaan. Sosok negarawan ialah sosok yang senantiasa update dengan kondisi yang terjadi di negaranya juga di neger-negeri kaum Muslimin, dan selalu memiliki penilaian dan pandangan tertentu terhadap peristiwa yang terjadi. Maka seorang Muslimah, walaupun kesibukkan utamanya adalah di dunia kampus, sekolah atau hanya di rumah suaminya, maka sama sekali tak menutup kemungkinan untuk senantiasa tau kondisi atau peristiwa yang sedang hangat di masayarakat atau di pemerintahan. Dari apa yang ia dapatkan itulah ia akan menilai bagaiaman pandangan dan solusi Islam terhadap apa yang terjadi tersebut. Kemudian ia akan menjadikan hal itu sebagai topik pembicaraan dan bahan diskusi bersama teman, saudara atau tetangganya. Mereka meminta pendapat mereka, dan yang terpenting ia akan mengutarakan pandangan dan pemikiran, serta solusi Islam terhadap hal itu berdasarkan nash-nash Al-qur’an, As-sunnah atau sumber Islam yang lainnya.
Kebiasaan ia yang selalu mengaitkan segala hal dengan hukum syara’ yang lahir dari aqidah Islam itu sendiri akan menjadi ke-khasan bagi pribadinya di antara kebanyakan orang di sekitarnya. Ia akan dipandang sosok berbeda dan menonjol, kritis serta solutif dengan segala hal yang terjadi di ranah domestik dan publiknya serta kaitannya dengan kebijakan-kebijakan yang terjadi di ranah kekuasaan. Sehingga pemikiran Islam akan hidup di tengah-tengah mereka. Islam tak akan lagi dipandang menjadi agama yang sempit yang hanya mengatur urusan dia dengan Rabb-nya dalam ibadah-ibadah ritual. Islam menjadi sebuah solusi yang perlu dijalankan atas dasar keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Dengan begitu, opini Islam akan menjadi santapan keseharian bagi orang-orang yang hidup atau bergaul bersamanya. Mereka tak asing bahkan takut lagi dengan hukum-hukum Islam yang sedikit banyak sering disudutkan dalam media-media. Mereka menjadi akrab dengan kata syariah Islam, hukum Syara’, serta nash-nash yang menjadi dasar ia berpendapat. Mereka tak ragu lagi untuk mengutarakan kekecewaan atas segala bentuk kezaliman yang dilakukan oleh siapapun, baik musuh Islam atau antek-anteknya yang sedang memegang jabatan. Mereka pun akan memandang bahwa hanyalah Islam yang bisa memberi jalan keluar yang tuntas.
Saat itulah, opini Islam telah berubah menjadi opini umum bagi teman-teman, saudara,keluarga atau masyarakat di sekitarnya. Kepercayaan atas pribadi yang tercermin dalam akhlak, sifat dan perilaku, juga didukung dengan ketinggian ilmu seorang Muslimah pengemban da’wah ini akan menjadi pintu keberhasilan da’wah Islam. Dan apabila semua hal tersebut bisa direalisasikan oleh setiap individu yang mengaku dan mengikhlaskan dirinya di jalan yang mulia ini, maka betapa banyak orang yang akan tercerahkan dengan Islam yang merupakan agama sekaligus mabda’ yang mampu melahirkan peraturan hidup dalam segala bidang. Betapa banyak orang yang tidak takut dan membenci lagi Islam dan ajarannya, yang merupakan agama yang diantunya.
Tak hanya itu, jika keenam point diatas senantiasa direalisasikan dalam kenyataan, maka betapa banyak pengemaban da’wah yang tak lagi dianggap aneh, dicurigai dengan pandangan-pandangannya yang khas (karena saking jauhnya ummat dengan tsaqofah agamanya sendiri) serta berbeda dari kebanyakan orang, tanpa harus banyak menunjukkan identitasnya dalam organisasi apa ia dididik serta ditempa selama ini. Karena yang ia bawa tak lain hanyalah ajaran Islam yang bersumber dari Al Quran dan As Sunnah, yang semua itu sudah terpendam dalam ruh dan jiwa setiap Muslim secara umum tanpa mereka sadari. Apapun yang dibawa akan didengar dan diyakini selama hal itu sesuai dengan hukum syara’.
Maka kemuliaan ummat ini dengan adanya sosok-sosok pengemban da’wah yang senantiasa mengikuti jejak Rasul-nya dalam bermamar ma’ruf nahi munkar akan segera terwujud.
Wallahu a’lam bish showab