Pages

Selasa, 05 Juni 2018

Selangkah Bersamanya#4

Aku sengaja pulang lebih akhir dari teman-teman ku. Banyak yang harus aku lakukan, terutama mengemas barang-barang yang cukup banyak. Mengumpulkannya menjadi satu. Mengosongkan lemari dari pakaian dan buku-buku. Selain karena urusan itu, aku sengaja agar tidak banyak teman yang tau rencana ku ini. Aku hanya ingin mereka tau bahwa aku hanya meninggalkan pondok kami untuk sementara saja, bukan selamanya. Tapi jika disana aku menemukan yang jauh lebih baik, maka keinginananku untuk tidak kembali pasti akan terlaksana.

Sekitar 4,5 tahun aku berkecimpung di pondok itu. Menghabiskan usia anak-anak hingga aku baligh. Setiap hari dididik untuk semakin mengenal juga mencintai Islam dan ajaran-Nya. Mencintai Islam dan memahami lika-liku memperjuangkannya. Dan memahami kehidupan ini dengan membuang segala keegoisan dan tujuan yang salah dalam menuntut ilmu. Kami dicetak menjadi sosok yang memiliki jiwa kepedulian dan kempemimpinan. Yang peka dengan kondisi sekitar. Tak mementingkan kepentingan pribadi, karena kita semua adalah pemimpin, yang kelak Allah mintai pertanggungjawaban.

Jika perempuan maka kita kelak menjadi pemimpin bagi rumah laki-laki yang menjadi imam kita. Mengurus dan mengatur rumah, melayani suami, mendidik anak dan lain sebagainya. Jika tidak atau belum, setidaknya kita adalah pemimpin bagi diri kita sendiri. Bagaimana kita mengatur hidup ini? Bagaimana kita memanfaatkan waktu? Bagaimana kita sungguh-sungguh dalam ibadah kepada-Nya?

Itulah yang benar-benar tertanamkan dalam jiwa kami. Banyak yang tak mampu tergambarkan atas apa yang telah aku dapatkan. Tapi satu hal ini yang senantiasa Abah pondok kami tekankan. Tak lelah mengingatkan. Tak jarang mengulang-ulang hadits yang bermakna serta berpengaruh besar ini.

"Kullukum ra'in wa kulllukum masulun 'an ra'iyatihi..."

Aku sempat mengobrol dengan Umi pondok terkait rencanaku itu. Sebenaranya niat ku adalah memang pindah, tapi aku hanya izin beberapa bulan saja untuk fokus menyelasaikan hafalan. Dan bagaiamana keputusan akhirnya, akan kulihat sesuai situasi dan kondisi nanti. Peraturan pondok kami yang cukup longgar membuat rencana itu bisa terlaksana tanpa banyak halangan. Justru kami didukung selama itu sebuah kebaikan. Lagipula awal bulan April aku akan ke Jogja lagi, untuk mengikuti Ujian Paket C setara SMA. Berat meninggalkan semua itu. Tapi jika aku terus disitu pun akan terasa berat menurutku. 

Aku pun belum punya gambaran apapun terkait tempat yang telah aku pilih itu. Ustadz yang kami hubungi hanya memberi gambaran jika nanti kami tidak hanya tahfidz, tapi ada pembelajaran yang lain. Bahasa Arab dan Tsaqofah Islam. Dan itu kabar yang sangat baik. Pada awalnya ada tiga teman dan satu Ustadzah yang sebenaranya ingin ikut rencanaku ini. Semua berawal karena keinginan kami yang sama, dan pendapat kami yang sepadan terkait kondisi kami dan sekolah kami. Tapi karena berbagai alasan, akhirnya kami hanya berdua. Amalia. Seorang teman yang seumuran denganku. Anak yang periang, santai tapi kritis. Setidaknya ada teman.

Kisah ini panjang. Penuh lika-liku. Sulit dibayangkan. Tak mudah tuk digambarkan. Sekitar tanggal 25 bulan kedua itu aku pulang bersama satu tas besar berisi baju, tas ransel, dan kardus besar berisi buku-buku. Hampir semua barangku aku bawa pulang. Di rumah aku dan Amalia tak putus komunikasi. Dan aku berkali-kali membicarakan hal ini kepada keluarga. Termasuk uti (nenek) dan kakungku (kakek). Semuanya mendukung, bahkan aku diberi kemudahan dari mereka. Membelikan aku tas, dan beberapa kebutuhan yang lain.

Ustadz dari Griya Quran itu meminta agar kami ditemani oleh orangtua untuk datang pertama kali. Dan akhirnya ibuku yang menemaniku saat pergi itu. Aku tak tega sebenaranya. Tubuh sebesar ini, pengalaman menjelajah ke berbagai tempat apakah tak cukup untuk mengantarakan diri ini sendiri ke tempat itu?

Perjalanan itu menghabiskan waktu sekitar 12 jam. Dengan tiga kali naik bus. Aku sedih. Untuk kesekian kalinya aku tak henti-henti merepotkan dan menyusahkan kedua orangtuaku. Semua hanya untuk mengikuti perkataan dan keinginanku. Namun selama niat itu untuk kebaikan, Allah selalu memberi jalan dengan dukungan orang-oranh terdekatku. Ibuku selalu mengingatkan apapun pilihan dan keputusan yang aku ambil, aku harus siap menerima segala resiko. Tidak mundur saat menghadapi kemungkinan yang terjadi.

Pukul 06.30 pagi, tanggal 5 Maret. Aku, ayah, ibu, dan adikku sudah berada di terminal Lorok. Terminal kecil yang berada di Kecamatan kami. Bus nya bisa dihitung dengan jari. Sedikit sekali. Jika tak tahu jadwal keberangkatan bus disitu, maka harus siap menunggu berjam-jam untuk berangkat. Bus yang berada disitu pun hanya ke dua jurusan. Trenggalek yang berada di Timur Pacitan. Dan Pacitan Kota yang berada di Barat kecamatan kecil kami. Di balik bukit-bukit tinggi. Jurang dan hutan yang rimbun. Memakan waktu hampir dua jam.

Pagi yang masih dingin itu, aku dan ibuku duduk di kursi tepat di belakang sopir. Membawa tas ku yang berat itu. Ibuku yang sudah tak sekuat yang dulu. Walau senyumnya tak pernah berubah. Keikhlasannya tak pernah hilang. Kesabannya tak pernah pudar. Perjalanan itu hanya melewati hutan, bukit, laut yang nampak dari atas. Dan sesekali rumah atau warung yang berada di pinggir jalan. Dibuat tak lain untuk para musafir. Bus kecil itu berjalan pelan. Selain mungkin tanjakan yang cukup curam, mungkin bus itu sudah cukup tua. Ia ingin menikmati indahnya pagi dengan sejuknya udara. Oksigen yang segar dari pepohonan itu. Tak banyak kendaraan yang lalu lalang. Polusi udara pun tak perlu jadi masalah.

Sekitar tiga jam perjalanan, disertai berhenti yang cukup lama untuk menunggu penumpang. Kami pun sampai di Trenggalek. Kemudian mencari bus menuju Malang. Perjalanan sekitar tujuh jam. Ketika senja, kami sudah sampai di salah satu terminal besar Malang. Kami makan bakso yang sejak tadi sudah merasa lapar dan mual karena medan yang lumayan menegangkan. 

Makan bersama ibuku adalah hal yang sangat dirindukan. Apalagi sejak aku tinggalkan rumah untuk merantau ke pesantren. Dan mungkin baru kali itu saja aku makan berdua dengan sosok yang sangat kukagumi itu sejak aku berada di usia SMA. Wajahnya selalu memiliki arti perjuangan. Goresan keikhlasan yang sulit sekali tergambarkan. Penyabar dan pemalu, juga selalu ingin memberi yang terbaik kepada anak-anaknya. Tak pernah menampakkan kesulitan, walau gelombang yang begitu dahsyat sedang dialami.

Hari semakin petang, walau matahari masih bersinar sangat terang. Setelah makan dan istirahat sejenak, kami segera mencari bus lagi ke arah Dampit. Sebuah kecamatan diujung Kabupaten Malang. Yang terpisahkan dengan pegunungan dan jalan yang berkelok-kelok. Bus kecil itu mengantarkan kami sekitar dua jam perjalanan.

Gerimis mengantarkan perjalanan kami. Hutan-hutan yang rimbun, jurang yang curam berada di kiri jalan. Jalanan yang berkelok-kelok dan masih sangat asing bagi kami. Ibuku bercerita banyak hal, dan terkadang tak kuat menahan lelah dan kantuk. Terpejam tiba-tiba saat bercerita. Jalanan sudah rata dengan air dari langit. Truk dan mobil-mobil semakin ramai. Mungkin jalan itu adalah penghubung berbagai kota. Sehingga berbagai plat nomor pun ada disana.

"Salsa.., tau ngga kita bakal tinggal di rumah yang bersebelahan sama rumah ustadznya. Katanya sih buat sementara..."

"Rumahnya kayak gimana mel?"

"Serem..tapi bagus sih. Disini ada nenek-nenek yang udah tua. Kayaknya sakit apa gitu. Kamar kita ada di sebelahnya. Jadi suka teriak-teriak..."

"Wahh.. semoga kita betah ya. Selain kita ada santri lain ngga mel?"

"Belum tau. Belum ngobrol banyak sana ustadznya. Tadi kita langsung disuruh kesini buat istirahat dulu. Nunggu kamu biar sekalian ngobrolnya..."

"Oh gitu. Ini bentar lagi sampai insya Allah"

Mengikuti arahan ustadz yang tak berhenti komunikasi dengan kami, akhirnya kami sampai di sebuah tikungan. Disana terdapat beberapa pos halte sekaligus pangkalan ojek motor. Masih gerimis, walau ia malu untuk menyambut kedatangan kami di bumi yang dingin itu nan sejuk itu. 

Beberpa tukang ojek menawarkan jasanya kepada kami. Tapi kami menolak. Ustadz kami akan menjemput untuk mengarahkan jalan. Akhirnya kami jalan kaki sedangkan tas besarku dibawa beliau di bagian depan motor. Tas ransel ku yang sebenarnya bisa aku gendong diminta beliau agar dibawakan. Beliau menggunakan motor tua yang mungkin jauh lebih tua dari usiaku. Mungkin sekitar 20 tahun. Kecil dan sudah ringkih, tapi kekuatannya jangan ditanyakan. 

"Ibu jalan mboten nopo-nopo?"

"Inggih ustadz. Mboten nopo-nopo... ndak jauh kan?"

"Mboten bu.."

"Nanti lurus aja sampai pertigaan, terus ke kiri, sampai pertigaan lagi ambil kanan.."

"Oh iya Ustadz."

"Pangapunten nggih bu."

"Inggih ustadz.. mboten nopo-nopo"