“Ya, biasa. Setiap dua hari sekali kan dia memang latihan
menari di sanggar Seni Budaya Tari”, kata Alven pada Niswah
“Oh, iya? pantas aja
dia bilang nggak bisa kalau aku ajak ketemuan hari ini”, Niswah menimpali.
“Memang dia mau ikut kompetisi ?”
“Nggak tau sih. Tapi
kalau nggak salah dia ditunjuk untuk mewakili Kabupaten untuk menari di acara
perayaan HUT ke 70 di Jakarta”, jelas Alven.
“Oh gitu. Dia
sendirian?”
“Enggak lah, sama
pacarnya. Namanya Dika”
Kata
‘pacar’ di telinga Niswah masih sangatlah asing. Bukan karena tidak pernah
mendengar kata-kata itu. Namun, lebih tepatnya karena dia tak pernah memiliki,
membahas, atau pun membicarakan laki-laki atau pacar itu. “Masya Allah.. Terus
pacarnya ikutan nari sama Salma?”
“Ya nggak. Dika yang
main orgent, si Salma yang nari”
“Oh, gitu”, Niswah
masih belum bisa menghilangkan keterkejutannya mendengar kata-kata yang Alven
katakan. Dia berusaha untuk menyesuaikan kondisi.
Sore itu, Niswah dan Alven sengaja bertemu di sebuah
Rumah Makan Tradisional yang cukup terkenal di Kota Yogykarta. Mereka menunggu
waktu berbuka puasa sambil bercerita banyak hal. Melepas rasa rindu setelah
lebih dari satu Semester mereka tak bertemu. Menikmati detik-detik akhir bulan
suci Ramadhan.
Niswah bersekolah di sebuah Kota di barat pulau Jawa.
Kota yang dikenal dengan sebutan ‘Kota Hujan’. Bogor. Disana ia bersekolah di
Lembaga Pendidikan Islam plus tahfidzul Qur’an yang berasrama. Mendapat
ilmu-ilmu Agama Islam yang benar-benar membuatnya faham terkait banyak hal. Dan
ia pun tahu jika berpacaran adalah perkara yang tidak diporbolehkan dalam Agama
Islam. Obrolan mereka seperti tiada ujung. Saling bertukar pengalaman,
pelajaran, bahkan Alven menceritakan segala hal yang sedang ia rasakan.
Perasaan si merah jambu yang sedang menyerangnya hampir setiap hari di sekolah.
Karena Alven bersekolah di sebuah SMA Negeri di Yogyakarta. Dan yang jelas
antara pelajar laki-laki dan perempuan tidak terpisah sama sekali.
“Aku nggak tahu apa yang harus kukatakan, Nis. Dan aku
juga nggak tahu mana yang harus kupilih?”, kata Alven ketika mereka sudah
berganti topik obrolan lagi. Walau dengan irama yang cukup menghayati itu, ia
tetap saja asyik memainkan gadgetnya.
“Astaghfirullah..”, Niswah
mendesis lirih di dalam hati. Sebenarnya ia juga tak kuat mendengar curhatan
sahabat sejak kecilnya itu. “Hhmm.. kenapa kamu bingung? Apakah orang tuamu
membolehkanmu melakukan hubungan seperti itu?”
“Ya, aku bingung.
Mereka berdua menembakku. Orang tuaku? Mereka nggak akan memarahiku, apalagi
menasehatiku. Mereka kan tidak pernah tahu”
“Oh ya sudah, aku mau
tanya ya Ven.. Apakah tanpa kau pilih salah satu dari keduanya, hidupmu akan
rugi?”, jawab Niswah dengan kembali melontarkan pertanyaan.
“Hmm.. rugi? Ya nggak
juga sih.. Tapi coba kamu fikirin, Nis!, masa temen-temen ku udah gonta-ganti
pacar dan pacaran berkali-kali, sedangkan aku sampai sekarang masih bingung
memutuskan salah satu diantara mereka. Jadi, ya mereka sering banget ngejekin
aku.. ya,walaupun mungkin seringnya hanya bergurau”
“Oh, jadi alasanmu
ingin memilih salah satu dari mereka karena kamu merasa malu belum pacaran?”,
lagi-lagi kata’pacaran’ masih kelu dilidah Niswah. Ia jarang atau bahkan
tidak pernah mengucapkan kata itu. Aneh.
“Hmm, bisa jadiseperti
itu. Kalau kamu jadi posisi ku, apa yang kamu lakukan?”, tanya Alven dengan
raut muka yang sepertinya benar-benar ingin mencari jalan keluar.
“Allahu Akbar..Allahu
Akbar..”, suara adzan tba-tiba terdengar. Semua orang di
Rumah Makan itu bersorak gembira. Setelah berdo’a, mereka punsegera membatalkan
puasa. Meminum segelas es buah, kemudian dilanjutkan menikmati hidangan yang
sudah mereka pesan sekitar 30 menit yang lalu. Usai makan dan sholat di Mushulo
Rumah Makan itu, mereka tak ingin segera beranjak. Kembali lagi ke tempat
mereka makan, dan melanjutkan perbincangan yang nampaknya jauh dari kata
selesai.
“Alven..?”, kata Niswah mencoba memancing obrolan.
“Hmm..”, jawab Alven
singkat, jarinya tak berhenti bergerak membuat serangkai kata demi kata di
gadgetnya yang berlayar lebar itu. “Oh ya, gimana? Kalau kamu ada di posisi aku
gimana?”, akhirnya ingat dengan pertanyaannya tadi.
“Sepertinya, jika aku
ada di posisimu aku nggak akan milih dua-duanya. Aku akan berusaha
menghilangkan perasaan suka itu, dan mengalihkannya dengan yang lebih baik.”
“Niswah?, kamu yakin
bakal bisa kayak gitu?”, tanya Alven dengan mimik muka tak yakin.
“Jika aku benar, kenapa
tidak?”, balas Niswah enteng.
Obrolan itu usai tanpa jawaban yang memuaskan bagi Alven.
Mereka memutuskan untuk pulang, ketika panggilan waktu sholat Isya’ telah tiba.
Setelah itu, dan selama 1 tahun lamanya mereka mungkin tak akan bertemu lagi.
Pertemuan sekaligus buka bersama itu, adalah waktu yang
membuat mereka sangat bahagia. Waktu yang mengawalisebuah langkah baru bagi
Alven. Waktu yang mengawali Niswah dengan senyuman indah yang hakiki. Senyuman
yang membawanya menuju Syurga-Nya. Membuatnya tak pernah lagi timbul rasa
kecewa karena tingkah temannya itu.
Niswah lagi-lagi meninggalkan Jogja. Keesokan harinya,
bersama Ayah, Bunda dan ketiga adiknya ia melaukan perjalanan jauh. Membelah
selat sunda, melewati puluhan Kota di sepanjang pulau Sumatra. Menuju Aceh.
Kota yang melahirkan Ayah tercintanya. Merayakan hari besar Ummat Islam bersama
sanak keluarga di kampug halaman. Kesempatan yang hanya bisa mereka temui
sekali setahun.
”Assalamu’alaikum, Alven. Aku ingin minta maaf sama
kamu. Belum bisa menjawab pertanyaanmu dengan memuskan. Apakah kamu sudah
meutuskan pilihanmu?”, Niswah mengirim pesan melalui inbox di facebook.
Perjalanan masih panjang. Baru saja melewati perbatasan antara Jawa Tengan dan
Jawa Barat.
Belum ada satu menit. Hand phone Niswah berbunyi. Tanda
sebuah pesan masuk. “Belum, Nisa.. kamu masih mau mendengarkan curhatanku yang
sepertinya tidak pentig itu.? Kamu masih ingin membantuku mencari jawaban untuk
memutuskannya?”
“Tentu, Alven. Karena
aku akan berusaha memberikan yang terbaik untukmu”
“Baiklah... katakan
saja apa yang menurutmu baik untukku.”
“Alven.. kamu tentu
sudah tahu kan? Alasan apa yang membuatku untuk tidak akan pacaran? Seperti
yang ku katakan kemarin, sewaktu kita buka bersama..”
“Hmm.. karena Agama
kita melarangnya?”, respon Alven begitu cepat setelah Niswah mengirimkan
kata-katanya itu.
“Ya. Hanya itu
satu-satunya alasanku untuk tidak melakukannya. Aku tidak ingin menodai
langkahku menuntut ilmu untuk sibuk memikirkan dan berkomunikasi dengan
laki-laki yang aku tahu belum tentu menjadi jodohku kelak”
“Jadi, hanya satu
alasan itu yang membuatmu begitu kuat untuk tidak melakukannya?”, tanya Alven
belum yakin.
“Iya kawan, tiada yang
lain”
“Lalu, bagaimana dengan
aku? Langkahku memang tidak sekuat langkahmu. Pedomanmu terhadap perintah dan
larangan Agama jauh lebih kuat daripada aku yang tak mengerti apa-apa ini”,
kata Alven dengan menyertai emoticon menangis.
“Kenapa kamu bisa
berfikir seperti itu? Bukankah kita sudah sama-sama belajar Islam di SD kita dulu?”
“Tapi, memang begitu
nyatanya, Nis..”, kata Alven yang lagi-lagi menyertakan emoticon. Kali ini
emoticon sedih.
“Baiklah.. pertama,
kamu harus faham, bahwa yang berhak menilai keimanan kita hanya Allah. Tak patut,
baik kamu atau aku menilai keimanan orang lain. Kita hanyalah hamba-Nya.
Bagaimana?”, nasehat Niswah itu diakhiri dengan pertanyaan untuk meminta
persetujuan dari kawannya.
“Hmmm.. ok lah, lalu?”
“Kedua, aku yakin kamu
bisa melihat sendiri kan bagaimana kondisi teman-temanmu di sekolah? Pasti
suadah banyak yang melakukan kemaksiatan yang sudah sangat kebablasan. Bener
kan?”, potong Niswah untuk memastikan informasinya tidak salah.
“Hmm.. iya. Di kelasku
udah ada dua temen perempuanku yang dikeluarkan sekolah karena sudah dihamili
pacaranya”, jawab Alven dengan benar-benar terbuka.
“Nah.. itu Ven yang ku
maksud”, Niswah meyakinkan.
“Tapi, aku nggak akan
kayak gitu lah.. kalau sampai kayak gitu orang tuaku juga pasti akan marah..”.
balas Alven cepat.
“Hmm..ya aku tahu Ven.
Kamu memang mungkin bisa memperkirakan. Tapi, kamu harus tahu, bahwa memang
tidak semua pacara itu berakhir dengan kehamilan seperti itu. Tapi, kamu pasti
tahu, yang berakhir dengan kehamilan itu pasti bermula dari pacaran”
“Hmm.. iya juga sih.
Tapi..”
“Tapi apa?”
“Aku masih bingung apa
yang harus ku katakan jika teman-teman dekatku menanyaiku”
“Jika kamu sudah yakin
akan kebenaranmu, apa salahnya kamu mengeluarkan alasan seperti itu saat kamu
diejek?”, lagi-lagi Niswah meyakinkan.
Niswah menunggu jawaban sekaligus keputusan Alven. Cukup
lama. Lima menit. Lima belas menit. Setengah jam. Tak ada bunyi yang menandakan
pesan masuk.
“Alven...?”, Niswah
mencoba memancing. Tetap tidak ada respon. Tidak ada tanda-tanda bahwa Alven
sedang mengetik jawaban. Padahal, di hand phone Niswah nampak jika facebook
Alven masih online.
“Alven.. jawab please!,
apapun keputusanmu aku menunggu jawabanmu”
Tiba-tiba setelah hampir satu jam berlalu, hand phone
Niswah berbunyi. Ketika ia sudah hampir tak sadarkan diri, karena begitu
mengantuk. Ketiga adiknya dan Bundanya sudah terlelap sejak dua jam yang lalu. Hanya Ayahnya dan
sang sopir yang sejak tadi masih asyik mengobrol.
“Alveen..”, pekik
Niswah sangat senang. Untung saja tidak mengganggu keluarganya sedang istirahat
di dalam mobil itu.
“Iya Nis..tadi aku
masih mencoba merenungkannya. Barusan aku udah nge-chat Farid sama Anas. Aku
katakan seperti apa yang kamu katakan padaku”, Niswah membaca pesan itu dengan
serius.
“Ya Allah, Alven..
Alhamdulillah. Aku senang mendengarnya”, balas Niswah secepat ketika ia
berbicara.
“Aku sangat
berterimakasih sama kamu. Ya sudahlah, aku ingin melupakan mereka semua. Walau
berat, aku akan mencobanya perlahan. Sudah Nis, nikmatilah perjalanan mudikmu.
Semoga sampai tujuan dengan selamat. Dan kita bisa bertemu kembali”, Alven
membalas dengan kata-kata yang sepertinya menginginkan obrolan mereka segera
dihentikan. Mungin ia masih perlu banyak merenung.
“Ok, aku juga
berterimakasih. Karena kamu sudah mau mendengarkan nasehatku”
Obrolan mereka sudah usai, namun perjalanan masih sangat
panjang. Akhirnya mobil yang dinaiki Niswah dan keluarganya sudah memasuki
lokasi pelabuhan di Banten. Bersiap untuk dinaikkan ke dalam kapal yang sangat
besar. Menyeberangi selat sunda.
Obrolan itu adalah bukti rasa cinta Niswah pada Alven. Cinta
yang dilandasi karena Islam. Ia tak ingin melihat sahabatnya disiksa oleh
panasnya api neraka, karena telah berbuat sebuah kemaksiatan. Walaupun nampak
sepele, Niswah berusaha membagikan ilmu yang ia pahami untuk mencegah temannya
dari perkara buruk itu.
Tiga minggu kemudian, ketika liburan telah usai, Alven
mengirimkan sebuah pesan kepada Niswah.
“Niswah, aku semakin
yakin dengan perkataanmu. Sekarang Farid juga udah melakukan perbuatan yang
keji itu kepada adik kelasku. Dan Anas pun juga sering kulihat bersama seorang
perempuan cantik yang tidak salah dia anak dari SMA Swasta sebelah sekolahku”,
Alven mengirim pesan itu sepulang sekolah. Hatinya masih benar-benar tidak
percaya dengan apa yang terjadi pada Farid. Laki-laki yang hampir saja menjadi
pacarnya itu, sudah kebablasan. Untung saja Niswah menyadarkannya.
Tapi tidak ada balasan sama sekali dari Niswah.
“Aku tahu sekarang,
Nis. Pacaran itu memang hanya memuaskan nafsu lelaki yang ia belum siap
menikahi wanita. Dan akhirnya hanya bisa mengajak hubungan yang tak halal itu.
Terimakasih untuk semua nasehatmu, Nis..”, tambah Alven melalui pesan inbox
itu.
Dia tahu jika Niswah
memang tidak sedang online. Ia juga tahu jika Niswah tidak mudah mengakses
internet di Boarding Schoolnya di Bogor. Jadi sebenarnya ia tahu, bahwa percuma
ia berharap Niswah segera membalasnya. Tapi tidak. Niswah tidak membalas bukan
karena alasan itu.
Ketika
ia pulang dari Aceh, mobil keluarganya tertabrak truk besar dari lawan arah
ketika mobilnya akan menyalib kendaraan di depannya. Kecelakaan ituterjadi di
daerah Riau. Kecelakaan tragis itu membuat Niswah dan Rara, adiknya tak bisa terselamatkan
nyawanya. Sangat mengenaskan, tapi memang itu kenyataannya.
Satu
minggu setelah pesan itu Alven kirimkan ke Niswah, akhirnya ada balasan masuk
di hand phone Alven.
“Iya, Alhamdulillah.
Disana, Niswah senang mendengarnya. Niswah mencintaimu karena Allah, Nak..”,
balasan itu dikirim oleh Bunda Niswah, ketika sudah membaca obrolan terakhir
mereka ketika perjalanan menuju Aceh kala itu. Alven masih berfikir keras untuk
mencerna pesan itu. Apa maksudnya?. Tidak pernah Alven mendengar Niswah
menyebut dirinya dengan sebutan namanya. Ia hanya mengatakan ‘aku’ untuk
menyebut dirinya sendiri. Dan anehnya lagi, mengapa ada kata-kata ‘Nak’
dalam pesan itu?
Tamat