Pages

Minggu, 08 November 2015

Aku Mencintaimu Karena-Nya


            “Ya, biasa. Setiap dua hari sekali kan dia memang latihan menari di sanggar Seni Budaya Tari”, kata Alven pada Niswah
“Oh, iya? pantas aja dia bilang nggak bisa kalau aku ajak ketemuan hari ini”, Niswah menimpali. “Memang dia mau ikut kompetisi ?”
“Nggak tau sih. Tapi kalau nggak salah dia ditunjuk untuk mewakili Kabupaten untuk menari di acara perayaan HUT ke 70 di Jakarta”, jelas Alven.
“Oh gitu. Dia sendirian?”
“Enggak lah, sama pacarnya. Namanya Dika”
Kata ‘pacar’ di telinga Niswah masih sangatlah asing. Bukan karena tidak pernah mendengar kata-kata itu. Namun, lebih tepatnya karena dia tak pernah memiliki, membahas, atau pun membicarakan laki-laki atau pacar itu. “Masya Allah.. Terus pacarnya ikutan nari sama Salma?”
“Ya nggak. Dika yang main orgent, si Salma yang nari”
“Oh, gitu”, Niswah masih belum bisa menghilangkan keterkejutannya mendengar kata-kata yang Alven katakan. Dia berusaha untuk menyesuaikan kondisi.
            Sore itu, Niswah dan Alven sengaja bertemu di sebuah Rumah Makan Tradisional yang cukup terkenal di Kota Yogykarta. Mereka menunggu waktu berbuka puasa sambil bercerita banyak hal. Melepas rasa rindu setelah lebih dari satu Semester mereka tak bertemu. Menikmati detik-detik akhir bulan suci Ramadhan.
            Niswah bersekolah di sebuah Kota di barat pulau Jawa. Kota yang dikenal dengan sebutan ‘Kota Hujan’. Bogor. Disana ia bersekolah di Lembaga Pendidikan Islam plus tahfidzul Qur’an yang berasrama. Mendapat ilmu-ilmu Agama Islam yang benar-benar membuatnya faham terkait banyak hal. Dan ia pun tahu jika berpacaran adalah perkara yang tidak diporbolehkan dalam Agama Islam. Obrolan mereka seperti tiada ujung. Saling bertukar pengalaman, pelajaran, bahkan Alven menceritakan segala hal yang sedang ia rasakan. Perasaan si merah jambu yang sedang menyerangnya hampir setiap hari di sekolah. Karena Alven bersekolah di sebuah SMA Negeri di Yogyakarta. Dan yang jelas antara pelajar laki-laki dan perempuan tidak terpisah sama sekali.
            “Aku nggak tahu apa yang harus kukatakan, Nis. Dan aku juga nggak tahu mana yang harus kupilih?”, kata Alven ketika mereka sudah berganti topik obrolan lagi. Walau dengan irama yang cukup menghayati itu, ia tetap saja asyik memainkan gadgetnya.
“Astaghfirullah..”, Niswah mendesis lirih di dalam hati. Sebenarnya ia juga tak kuat mendengar curhatan sahabat sejak kecilnya itu. “Hhmm.. kenapa kamu bingung? Apakah orang tuamu membolehkanmu melakukan hubungan seperti itu?”
“Ya, aku bingung. Mereka berdua menembakku. Orang tuaku? Mereka nggak akan memarahiku, apalagi menasehatiku. Mereka kan tidak pernah tahu”
“Oh ya sudah, aku mau tanya ya Ven.. Apakah tanpa kau pilih salah satu dari keduanya, hidupmu akan rugi?”, jawab Niswah dengan kembali melontarkan pertanyaan.
“Hmm.. rugi? Ya nggak juga sih.. Tapi coba kamu fikirin, Nis!, masa temen-temen ku udah gonta-ganti pacar dan pacaran berkali-kali, sedangkan aku sampai sekarang masih bingung memutuskan salah satu diantara mereka. Jadi, ya mereka sering banget ngejekin aku.. ya,walaupun mungkin seringnya hanya bergurau”
“Oh, jadi alasanmu ingin memilih salah satu dari mereka karena kamu merasa malu belum pacaran?”, lagi-lagi kata’pacaran’ masih kelu dilidah Niswah. Ia jarang atau bahkan tidak pernah mengucapkan kata itu. Aneh.
“Hmm, bisa jadiseperti itu. Kalau kamu jadi posisi ku, apa yang kamu lakukan?”, tanya Alven dengan raut muka yang sepertinya benar-benar ingin mencari jalan keluar.

           
“Allahu Akbar..Allahu Akbar..”, suara adzan tba-tiba terdengar. Semua orang di Rumah Makan itu bersorak gembira. Setelah berdo’a, mereka punsegera membatalkan puasa. Meminum segelas es buah, kemudian dilanjutkan menikmati hidangan yang sudah mereka pesan sekitar 30 menit yang lalu. Usai makan dan sholat di Mushulo Rumah Makan itu, mereka tak ingin segera beranjak. Kembali lagi ke tempat mereka makan, dan melanjutkan perbincangan yang nampaknya jauh dari kata selesai.
            “Alven..?”, kata Niswah mencoba memancing obrolan.
“Hmm..”, jawab Alven singkat, jarinya tak berhenti bergerak membuat serangkai kata demi kata di gadgetnya yang berlayar lebar itu. “Oh ya, gimana? Kalau kamu ada di posisi aku gimana?”, akhirnya ingat dengan pertanyaannya tadi.
“Sepertinya, jika aku ada di posisimu aku nggak akan milih dua-duanya. Aku akan berusaha menghilangkan perasaan suka itu, dan mengalihkannya dengan yang lebih baik.”
“Niswah?, kamu yakin bakal bisa kayak gitu?”, tanya Alven dengan mimik muka tak yakin.
“Jika aku benar, kenapa tidak?”, balas Niswah enteng.
 


            Obrolan itu usai tanpa jawaban yang memuaskan bagi Alven. Mereka memutuskan untuk pulang, ketika panggilan waktu sholat Isya’ telah tiba. Setelah itu, dan selama 1 tahun lamanya mereka mungkin tak akan bertemu lagi.
            Pertemuan sekaligus buka bersama itu, adalah waktu yang membuat mereka sangat bahagia. Waktu yang mengawalisebuah langkah baru bagi Alven. Waktu yang mengawali Niswah dengan senyuman indah yang hakiki. Senyuman yang membawanya menuju Syurga-Nya. Membuatnya tak pernah lagi timbul rasa kecewa karena tingkah temannya itu.
            Niswah lagi-lagi meninggalkan Jogja. Keesokan harinya, bersama Ayah, Bunda dan ketiga adiknya ia melaukan perjalanan jauh. Membelah selat sunda, melewati puluhan Kota di sepanjang pulau Sumatra. Menuju Aceh. Kota yang melahirkan Ayah tercintanya. Merayakan hari besar Ummat Islam bersama sanak keluarga di kampug halaman. Kesempatan yang hanya bisa mereka temui sekali setahun.
           
            ”Assalamu’alaikum, Alven. Aku ingin minta maaf sama kamu. Belum bisa menjawab pertanyaanmu dengan memuskan. Apakah kamu sudah meutuskan pilihanmu?”, Niswah mengirim pesan melalui inbox di facebook. Perjalanan masih panjang. Baru saja melewati perbatasan antara Jawa Tengan dan Jawa Barat.
            Belum ada satu menit. Hand phone Niswah berbunyi. Tanda sebuah pesan masuk. “Belum, Nisa.. kamu masih mau mendengarkan curhatanku yang sepertinya tidak pentig itu.? Kamu masih ingin membantuku mencari jawaban untuk memutuskannya?”
“Tentu, Alven. Karena aku akan berusaha memberikan yang terbaik untukmu”
“Baiklah... katakan saja apa yang menurutmu baik untukku.”
“Alven.. kamu tentu sudah tahu kan? Alasan apa yang membuatku untuk tidak akan pacaran? Seperti yang ku katakan kemarin, sewaktu kita buka bersama..”
“Hmm.. karena Agama kita melarangnya?”, respon Alven begitu cepat setelah Niswah mengirimkan kata-katanya itu.
“Ya. Hanya itu satu-satunya alasanku untuk tidak melakukannya. Aku tidak ingin menodai langkahku menuntut ilmu untuk sibuk memikirkan dan berkomunikasi dengan laki-laki yang aku tahu belum tentu menjadi jodohku kelak”
“Jadi, hanya satu alasan itu yang membuatmu begitu kuat untuk tidak melakukannya?”, tanya Alven belum yakin.
“Iya kawan, tiada yang lain”
“Lalu, bagaimana dengan aku? Langkahku memang tidak sekuat langkahmu. Pedomanmu terhadap perintah dan larangan Agama jauh lebih kuat daripada aku yang tak mengerti apa-apa ini”, kata Alven dengan menyertai emoticon menangis.
“Kenapa kamu bisa berfikir seperti itu? Bukankah kita sudah sama-sama belajar Islam di SD kita dulu?”
“Tapi, memang begitu nyatanya, Nis..”, kata Alven yang lagi-lagi menyertakan emoticon. Kali ini emoticon sedih.
“Baiklah.. pertama, kamu harus faham, bahwa yang berhak menilai keimanan kita hanya Allah. Tak patut, baik kamu atau aku menilai keimanan orang lain. Kita hanyalah hamba-Nya. Bagaimana?”, nasehat Niswah itu diakhiri dengan pertanyaan untuk meminta persetujuan dari kawannya.
“Hmmm.. ok lah, lalu?”
“Kedua, aku yakin kamu bisa melihat sendiri kan bagaimana kondisi teman-temanmu di sekolah? Pasti suadah banyak yang melakukan kemaksiatan yang sudah sangat kebablasan. Bener kan?”, potong Niswah untuk memastikan informasinya tidak salah.
“Hmm.. iya. Di kelasku udah ada dua temen perempuanku yang dikeluarkan sekolah karena sudah dihamili pacaranya”, jawab Alven dengan benar-benar terbuka.
“Nah.. itu Ven yang ku maksud”, Niswah meyakinkan.
“Tapi, aku nggak akan kayak gitu lah.. kalau sampai kayak gitu orang tuaku juga pasti akan marah..”. balas Alven cepat.
“Hmm..ya aku tahu Ven. Kamu memang mungkin bisa memperkirakan. Tapi, kamu harus tahu, bahwa memang tidak semua pacara itu berakhir dengan kehamilan seperti itu. Tapi, kamu pasti tahu, yang berakhir dengan kehamilan itu pasti bermula dari pacaran”
“Hmm.. iya juga sih. Tapi..”
“Tapi apa?”
“Aku masih bingung apa yang harus ku katakan jika teman-teman dekatku menanyaiku”
“Jika kamu sudah yakin akan kebenaranmu, apa salahnya kamu mengeluarkan alasan seperti itu saat kamu diejek?”, lagi-lagi Niswah meyakinkan.
            Niswah menunggu jawaban sekaligus keputusan Alven. Cukup lama. Lima menit. Lima belas menit. Setengah jam. Tak ada bunyi yang menandakan pesan masuk.
“Alven...?”, Niswah mencoba memancing. Tetap tidak ada respon. Tidak ada tanda-tanda bahwa Alven sedang mengetik jawaban. Padahal, di hand phone Niswah nampak jika facebook Alven masih online.
“Alven.. jawab please!, apapun keputusanmu aku menunggu jawabanmu”
            Tiba-tiba setelah hampir satu jam berlalu, hand phone Niswah berbunyi. Ketika ia sudah hampir tak sadarkan diri, karena begitu mengantuk. Ketiga adiknya dan Bundanya sudah terlelap  sejak dua jam yang lalu. Hanya Ayahnya dan sang sopir yang sejak tadi masih asyik mengobrol.
“Alveen..”, pekik Niswah sangat senang. Untung saja tidak mengganggu keluarganya sedang istirahat di dalam mobil itu.
“Iya Nis..tadi aku masih mencoba merenungkannya. Barusan aku udah nge-chat Farid sama Anas. Aku katakan seperti apa yang kamu katakan padaku”, Niswah membaca pesan itu dengan serius.
“Ya Allah, Alven.. Alhamdulillah. Aku senang mendengarnya”, balas Niswah secepat ketika ia berbicara.
“Aku sangat berterimakasih sama kamu. Ya sudahlah, aku ingin melupakan mereka semua. Walau berat, aku akan mencobanya perlahan. Sudah Nis, nikmatilah perjalanan mudikmu. Semoga sampai tujuan dengan selamat. Dan kita bisa bertemu kembali”, Alven membalas dengan kata-kata yang sepertinya menginginkan obrolan mereka segera dihentikan. Mungin ia masih perlu banyak merenung.
“Ok, aku juga berterimakasih. Karena kamu sudah mau mendengarkan nasehatku”
 


            Obrolan mereka sudah usai, namun perjalanan masih sangat panjang. Akhirnya mobil yang dinaiki Niswah dan keluarganya sudah memasuki lokasi pelabuhan di Banten. Bersiap untuk dinaikkan ke dalam kapal yang sangat besar. Menyeberangi selat sunda.
            Obrolan itu adalah bukti rasa cinta Niswah pada Alven. Cinta yang dilandasi karena Islam. Ia tak ingin melihat sahabatnya disiksa oleh panasnya api neraka, karena telah berbuat sebuah kemaksiatan. Walaupun nampak sepele, Niswah berusaha membagikan ilmu yang ia pahami untuk mencegah temannya dari perkara buruk itu.
 


            Tiga minggu kemudian, ketika liburan telah usai, Alven mengirimkan sebuah pesan kepada Niswah.
“Niswah, aku semakin yakin dengan perkataanmu. Sekarang Farid juga udah melakukan perbuatan yang keji itu kepada adik kelasku. Dan Anas pun juga sering kulihat bersama seorang perempuan cantik yang tidak salah dia anak dari SMA Swasta sebelah sekolahku”, Alven mengirim pesan itu sepulang sekolah. Hatinya masih benar-benar tidak percaya dengan apa yang terjadi pada Farid. Laki-laki yang hampir saja menjadi pacarnya itu, sudah kebablasan. Untung saja Niswah menyadarkannya.
            Tapi tidak ada balasan sama sekali dari Niswah.
“Aku tahu sekarang, Nis. Pacaran itu memang hanya memuaskan nafsu lelaki yang ia belum siap menikahi wanita. Dan akhirnya hanya bisa mengajak hubungan yang tak halal itu. Terimakasih untuk semua nasehatmu, Nis..”, tambah Alven melalui pesan inbox itu.
Dia tahu jika Niswah memang tidak sedang online. Ia juga tahu jika Niswah tidak mudah mengakses internet di Boarding Schoolnya di Bogor. Jadi sebenarnya ia tahu, bahwa percuma ia berharap Niswah segera membalasnya. Tapi tidak. Niswah tidak membalas bukan karena alasan itu.
Ketika ia pulang dari Aceh, mobil keluarganya tertabrak truk besar dari lawan arah ketika mobilnya akan menyalib kendaraan di depannya. Kecelakaan ituterjadi di daerah Riau. Kecelakaan tragis itu membuat Niswah dan Rara, adiknya tak bisa terselamatkan nyawanya. Sangat mengenaskan, tapi memang itu kenyataannya.
Satu minggu setelah pesan itu Alven kirimkan ke Niswah, akhirnya ada balasan masuk di hand phone Alven.
“Iya, Alhamdulillah. Disana, Niswah senang mendengarnya. Niswah mencintaimu karena Allah, Nak..”, balasan itu dikirim oleh Bunda Niswah, ketika sudah membaca obrolan terakhir mereka ketika perjalanan menuju Aceh kala itu. Alven masih berfikir keras untuk mencerna pesan itu. Apa maksudnya?. Tidak pernah Alven mendengar Niswah menyebut dirinya dengan sebutan namanya. Ia hanya mengatakan ‘aku’ untuk menyebut dirinya sendiri. Dan anehnya lagi, mengapa ada kata-kata ‘Nak’ dalam pesan itu?
Tamat