Pages

Minggu, 11 Oktober 2015

Untuk Apa dan Siapa Al-Qur’an Versi Baru?


A.    Pendahuluan : Sejarah Rekontruksi Al- Qur’an
A.1. Munculnya Ide Rekontruksi Al- Qur’an  
Rekontruksi secara bahasa adalah penyusuanan atau penggambaran kembali[1]. Rekontruksi Al- Qur’an merupakan sebuah ide baru yang hingga saat ini sedang diperjuangkan oleh para kaum orientalis, juga para pengikutnya, yang juga tidak sedikit dari kalangan ilmuwan Muslim. Rekontruksi Al- Qur’an ini merupakan sebuah perencanaan tertata dan benar- benar intensif, yang nantinya akan memilki andil besar atas kondisi Islam dan Kaum Muslimin di seluruh penjuru dunia. Perjuangan dalam rekontruksi Al-Qur’an ini hanyalah salah satu cabang dari sekian aspek berupa pemikiran- pemikiran, paham, ide, dan doktrin, serta jalan yang semua itu mereka usahakan dalam rangka meliberalkan Islam di muka bumi Allah ini.
Rekontruksi Al-Qur’an ini dilakukan dengan maksud dan tujuan yang tak lain untuk menciptkan keraguan pada benak setiap Kaum Muslimin akan kebenaran wahyu Allah yang suci ini. Selain itu Kaum Muslimin juga diajak untuk berfikir kritis dengan logika-logika yang sedikitpun tidak disandarkan kepada Islam, dengan maksud untuk membuat penafsiran Al- Qur’an menggunakan metode heurmenetika. Tanpa menggunakan metode penafsiran Al- Qur’an yang telah ditetapkan oleh Islam itu sendiri, yang telah diajarkan pula sejak zaman Nabi Muhammad saw, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.
A.2. Sejarah Berkembangnya Ide Rekontruksi Al- Qur’an
Siapakah sosok yang memegang kunci utama sehingga terbukalah pintu-pintu yang menggebrak Islam dengan pemikiran- pemikiran itu? Apa pula motif serta latar belakang mereka yang sehingga demikian mereka begitu terdorong untuk terus melangkahkan kaki dengan menginjak- injak Islam dengan segala bentuk usaha? Dan bagaimana semua itu bisa terjadi dengan begitu kompleks dan dapat merasuki seluk beluk pemikiran serta mempengaruhi cara pandang Kaum Muslimin di berbagai negeri Islam?
Orientalisme adalah sebuah kata yang berasal dari kata Orient dan Isme. Dalam bahasa Latin, orient atau oriri  artinya terbit. Sedangkan secara geografis, orient berarti dunia belahan timur atau bisa diartikan bangsa-bangsa belahan timur, atau juga berarti wilayah yang membentang luas dari kawasan Timur. Sedangkan Isme berasal dari bahasa Belanda yang berarti sebuah doktrin, teori sistem atau pendirian, ilmu paham keyakinan, dan sistem. Jadi orientalisme dapat diartikan sebagai ilmu tentang ketimuran atau studi tentang dunia ketimuran, dalam suatu bidang kajian keilmuan. Maka, orientalis adalah orang yang mempelajari ilmu- ilmu ketimuran[2]
Dalam rangka menghancurkan dan memusnahkan Islam, para kalangan orientalis memiliki dua motif yang dominan. Motif pertama adalah motif keagamaan. Motif yang pertama ini, bisa dikatakan sudah terjadi sejak zaman sebelum Nabi Muhammad dilahirkan. Barat yang disatu sisi merupakan perwakilan Umat Kristen memandang bahwa Islam merupakan Agama yang selalu menentang doktrin-doktrin mereka. Islam yang disampaikan oleh Rasulullah SAW dilahirkan tak lain untuk menyempurnakan millah atau agama yang dibawa oleh Nabi- nabi sebelumnya. Dan mereka, Kaum Nasrani ataupun Yahudi memang tidak akan ridha dan akan terus berusaha membenci serta mengajak Kaum Muslim untuk berada di barisan mereka (Al- Baqoroh : 120). Sehingga, motif pertama ini sangatlah erat kaitannya dengan Kristen dan usaha mereka dalam misionarisme[3].
Motif kedua adalah politik. Islam yang pernah berjaya tak kurang selama 13 abad lamanya, dan telah menguasai dua per tiga bagian dunia ini juga menjadi alasan kuat bagi Barat untuk menjalankan semua misi-misnya. Barat sangatlah paham, bahwa Islam bukanlah suatu keyakinan yang hanya terpendam dalam hati dan fikiran para pengikutnya. Akan tetapi, Islam adalah sebuah peradaban besar yang tidak hanya memilki istana- istana megah, militer yang sangat kuat dan berani, dan gedung- gedung yang monumental. Islam adalah sebuah peradaban yang memilki khazanah, serta tradisi ilmu pengetahuan yang sangat tinggi. Karena kekuatan yang tak mampu terkalahkan itulah, Barat dengan segala daya upaya berusaha keras untuk merebut khazanah  itu dari genggaman Kaum Muslimin sekaligus membumihanguskan Islam, dan menggantinya sesuai alur berfikir mereka[4].
Motif yang kedua inilah, yang kemudian akan berkembang menjadi motif ekonomi, yang merupakan pokok penghidupan terpenting seluruh manusia. Motif yang akan berkembang dalam dunia bisnis atau perdagangan yang kemudian menjadi kolonialisme.
Usaha kaum orientalis ini benar-benar menghasilkan buah yang terasa begitu nikmat bagi mereka, sekaligus terasa sangat menyedihkan terhadap kondisi kaum Muslimin, terutama di negeri-negeri Islam. Dalam upaya memetik hasil yang memuaskan itu, beratus- ratus tahun lamanya harus mereka tempuh dengan segala pengorbanan. Berbagai macam fase juga mereka jejaki satu per satu. Dan inilah beberapa fase yang oleh para kalangan orientalis rasakan untuk menggapai impian mereka dalam menaklukkan Islam.
Fase pertama pada abad ke- 16, yaitu ketika Daulah berada di bawah ke-Khilafahan Utsmaniyah, disinilah dimulai sepak terjang kaum orientalis. Di fase ini, bisa dikatakan bahwa terdapat sebuah simbol anti Islam yang dipimpin oleh Yahudi dan Kristen. Hal ini terjadi, dikarenakan sejak dahulu Islam memanglah penentang segala bentuk ajaran yang diusung oleh Kristen dan Yahudi. Dan dalam Al-Qur’an sudah sangat jelas menentang pula kedua agama tersebut.
Bahkan, orang Kristen dan Yahudi itu sendiri dengan jelas menentang dan menghina Nabi Muhammad saw. Mereka mengatakan bahwa Muhammad adalah penyebar wahyu palsu, tokoh penipu, tidak jujur, pelaku sodomi, dan apa yang dikatakan itu diambil dari doktrin keagamaan mereka.
Fase kedua, gerakan Orientalisme sedang pada kondisi yang penting, karena bersamaan dengan modernisasi Barat. Fase yang terjadi pada abad 17-18 M ini, menunjukkan pada masa itu Barat sedang berjuang keras untuk mengadopsi ilmu-ilmu dan penemuan para Ilmuwan Islam pada masa ke-Khalifahan Abbasyiah, yang benar-benar dalam kejayaan sekitar hampir 7 abad lamanya. Kaum orientalis Barat terus berusaha mengumpulkan berbagai informasi dan segala bentuk ilmu Islam dan ke-Timuran. Pada masa ini, Barat mulai bangkit dari kegelapan dengan mengadopsi segala bentuk ilmu yang Islam miliki. Mereka pun juga mulai membuat berbagai macam karya yang dimaksudkan untuk menjatuhkan Islam, menghina Nabi Muhammad, dan menghancurkan Islam serta merasuki pemikiran-pemikiran sesat kepada Kaum Muslimin, salah satunya dengan membuat tulisan- tulisan dan buku-buku.
Singkatnya, jika di fase pertama ‘Kaum Orientalis sedang bersemangat memacu anti-Islam mereka’, maka pada fase kedua ini,’ Kaum orientalis sedang berusaha keras membuat doktrin-doktrin dan karya-karya baru yang dimaksudkan untuk menghancurkan Islam’.
Fase ketiga, terjadi pada abad ke 19-20 M. Pada abad ini, ketika kaum orientalis dengan perlahan memasuki Daulah Islamiyah, dan mulai meracuni pemikiran- pemikiran Kaum Muslimin, mereka pun juga terus berusaha menggerogoti satu per satu Negara bagian Daulah agar mau meninggalkan Daulah dan mengikuti langkah kaum Kufur itu. Fase ini adalah fase terpenting bagi kaum orientalis, karena saat itu, Barat benar-benar telah berkuasa atas negara-negara Islam secara politik, militer, kultural, dan ekonomi. Karena telah menguasai inilah, mereka dengan mudahnya mengadopsi bahan-bahan ilmu islam, yang kemudian mereka terjemahkan atau mereka tulis ulang yang tentunya dengan sudut pandang yang berbeda.  Maka, dalam fase ini, usaha orientalis dalam menghancurkan Islam dari fase caci maki menjadi serangan sistematis dan ilmiah.
Fase keempat, serangan Orientalis ditandai dengan adanya Perang Dunia II. Pada saat itu, kajian orientalisme tidak hanya menyerang Islam dan Kaum Muslimin melalui keagamaan dengan menembus lembaga-lebmaga pendidikan, namun juga mempengaruhi berbagai macam kebijkan politik juga kebijakan bisnis (ekonomi)[5].

B.     Rekonstruksi Al- Qur’an secara Teks ; Meluruskan Sejarah Mushaf Utsmani
B.1. Periode Muhammad SAW ; Turun – Pengajaran Al- Qur’an
Dikarenakan sejarah penurunan Al-Qur’an merupakan sejarah yang sangat kompleks dan panjang, maka penulisan ini hanya difokuskan pada hal terpenting yang dapat memperkuat maksud dan tujuan dari tema diatas.  
Awal mula Muhammad saw diangkat menjadi Nabi adalah melalui berbagai macam mimpi yang telah sempurna. Aisyah r.a berkata : ‘dalam masa enam bulan, ia melihat mimpi begitu akurat menjelma seperti kenyataan’[6]. Kemudian ketika beliau menyendiri di Gua Hira, malaikat Jibril muncul dihadapannya dan memaksa beliau untuk melafadzkan Surah Al-Alaq ayat 1-5. Walaupun Muhammad saw adalah seorang yang tidak dapat baca-tulis, tetapi karena pemaksaan dari malaikat Jibril tersebut, ia pun mampu melafadzkannya walau dengan terbata-bata. Dan berlangsunglah penurunan ayat demi ayat Al-Qur’an secara mutawattir selama kurang lebih 20 tahun.

Ketika Rasullah wafat, Al- Qur’an telah sempurna diturunkan oleh Allah SWT. Tak hanya wilayah-wilayah teritorial yang telah ditaklukkan beliau dan tentara Kaum Muslimin, namun Nabi Muhammad saw telah mewariskan dua harta pusaka bagi umat Islam. Dua harta pusaka yang senantiasa dijadikan pedoman hidup dan rujukan dalam setiap langkah seluruh Umat manusia di seluruh penjuru dunia hingga akhir zaman. Dalam menerima mukjizat terbesar dari Allah ini, beliau juga telah mampu untuk menghimpun pengikut yang jumlahnya sangatlah banyak. Beliau mampu menuai keberkahan yang luar biasa. Selama penjagaan secara ketat terhadap Agama baru yang ia bawa, seluruh sistem dibangun atas fondasi Al-Qur’an dan Sunnah, sehingga penyelewengan yang muncul tidak diberikan kesempatan untuk berkembang. Kondisi seperti itulah yang mampu menjaga keaslian Al-Qur’an selama belasan abad lamanya.[7]

Mengapa Al-Qur’an dari masa ke masa bisa diajarkan hingga masa ini? Apakah ada kitab lain yang kehebatannya dapat menandingi Al-Qur’an?  Tak dapat terhitung lagi berapa jumlah Umat Islam yang berhasil menjaga Al-Qur’an dengan menghafalkannya. Mulai sejak zaman Nabi menerima wahyu tersebut, kemudian ketika beliau telah wafat, dan dilanjutkan oleh para sahabat, lalu ketika Daulah Islamiyah masih mengayomi dua per tiga wilayah di dunia ini, hingga zaman dimana kerusakan dan kekufuran telah terjadi secara nyata, semua itu tak pernah sekalipun menghapuskan adanya para hufadz, yang mereka senantiasa menghafal Al-Qur’an dengan maksud menjaga kemurnian teksnya.

Saat itu, lebih dari 30 sahabat yang mampu menghafal Al-Qur’an, walaupun diantara mereka banyak yang ‘Ummy (tidak bisa baca-tulis), akan tetapi mereka memiliki kemampuan menghafal yang sangat cepat dan daya ingat yang kuat. Orang-orang Arab kala itu mampu menghafal ratusan ribu syair-syair yang sangat sulit dan menghafal pula nasab keturunannya beserta sejarahnya[8]. Sehingga ketika Al-Qur’an datang yang dibawa oleh Muhammad saw, maka fikiran mereka sangatlah terbuka. Mengapa? Karena Al-Quran memiliki sastra Arab yang sangat tinggi dan mereka belum pernah menemukan syair apapun yang dapat menandinginya. Oleh karena itu, dengan mudah mereka menghafal, memahami, dan menghayati setiap ayat yang Nabi sampaikan. Nabi mampu membakar semangat mereka dengan mukjizat yang agung ini, dan mereka pun meninggalkan syair-syair kuno dan jiwanya telah terbakar dengan Al-Qur’an ini.

Selain melalui para penghafal Al-Qur’an ini, sejak zaman Nabi Muhammad kemurniannya dapat terjaga karena Al-Qur’an telah dilakukan penjagaan dalam bentuk tertulis[9]. Penulisan ayat ini senantiasa dilakukan oleh para sahabat dengan cara Nabi mendiktekannya secara langsung, kemudian mengeceknya kembali dengan cara para sahabat membaca ulang dari apa yang telah didengar dan dituliskannya dari Nabi. Sebagai contoh, ketika ayat tentang jihad telah turun, Nabi kemudian memanggil Zaid bin Tsabit untuk mencatat ayat itu. Kemudian Zaid membawa tinta, dan alat tulis seperti kertas kulit.[10]

Dalam pengumpulan dan penulisan ayat-ayat Al-Qur’an ini, setidaknya Nabi telah memiliki kurang lebih 65 sahabat yang ditugaskan untuk menuliskan wahyu-Nya. Untuk menjaga kemurnian pula, Nabi melarang mereka menuliskan apa yang Nabi katakan, kecuali wahyu-Nya. “Dan siapa yang telah menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an, maka ia harus menghapuskannya”[11]

Diakui secara umum, bahwa susunan ayat dan surah di dalam Al-Qur’an memiliki keunikan yang luar biasa. Ketika wahyu dari-Nya turun, susunannya tidak secara urutan, baik nomor ayat dan surahnya, dan juga subjek bahasannya. Dan keunikan ini, hanyalah Dzat Yang Maha Tahu saja yang mengetahuinya. Dia sebagai Pemilik Kitab Suci ini, maka Dia pulalah yang mengatur segala apa yang dikehendaki-Nya.

Oleh karena itu, agar wahyu ini sampai pada Umat di muka bumi ini, maka diutuslah Muhammad saw untuk menyampaikan wahyu-Nya (An-Nahl: 44). Maka dari itu, Allah swt berikan wewenang atau hak otoritas pada Nabi Muhammad saw agar memberi penjelasan pada Ummatnya. Hanya Nabi Muhammad saw, melalui keistimewaan dan wahyu ketuhanan, yang dianggap mampu menyusun ayat-ayat ke dalam bentuk keunikan Al-Qur’an sesuai kehendak dan rahasia Allah. Bukan komunitas Muslim secara kolektif, dan bukan pula perorangan yang memiliki legitimasi dalam menyusun Kitab. Beberapa riwayat mengatakan, bahwa Nabi Muhammad memberi intruksi atau pengarahan kepada para sahabat yang menulis Al-Qur’an tentang letak ayat pada setiap surah.

Sehingga, dalam proses penjagaan kemurnian Al-Qur’an, ada faktor yang dapat menguatkan, yaitu :
(1)   Hafalan yang sangat kuat dari para sahabat.
(2)   Naskah Al-Qur’an yang ditulis untuk Nabi.
(3)   Naskah yang ditulis oleh para penulis wahyu.
(4)   Tadarus Al-Qur’an yang dilakukan oleh malaikat Jibril dan Nabi setiap satu tahun.
(5)   Pengecekan Nabi terhadap hafalan para sahabat.[12]
Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surah Al-Hijr ayat 9
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ  
 Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.
B.2. Periode Sahabat ra ; Pembukuan dan Penjagaan Al-Qur’an
Ketika Rasulullah saw telah wafat, seluruh wahyu Al-Qur’an telah sempurna beliau dapatkan dari Allah swt. Wahyu- wahyu tersebut ditulis diatas pelepah kurma, daun, tulang-tulang belikat, batu, kulit unta, dan tentunnya disertai pula dengan banyaknya para sahabat yang mendengar langsung, kemudian menghafalkannya secara sempurna. Seluruh bagian Al-Qur’an telah tertulis dengan susunan ayat-ayat dan surah-surah sebagaimana yang telah dihafal oleh Kaum Muslimin. Dan pasti dari keduanya itulah Al-Qur’an dapat dibukukan, sehingga Al-Qur’an menjadi kitab Allah yang dapat dibaca kemudian menjadi pedoman dan faedah kehidupan bagi Umat manusia di zaman berikutnya, hingga akhir zaman.

Akan tetapi, pada masa ke-Khalifahan Abu Bakar Ash-Shidiq, banyak sekali terjadi penyimpangan oleh Kaum Muslimin. Banyak dari mereka yang tidak mau membayar zakat, bahkan murtad. Hal ini dikarenakan mereka banyak yang tidak meyakini adanya pengganti Rasul setelah beliau wafat sebagai Khalifah. Dan tak hanya itu, bahkan munculah Nabi baru yang bernama Musailamah. Bani Hanifah di Yamamah berhasil dipengaruhi dan mengikuti Nabi palsu ini. Maka, Abu Bakar melakukan penyerangan yang dipimpin oleh Khalid bin Walid, yang kemudian dinamakan perang Yamamah. Perang ini mengakibatkan para penghafal Al-Qur’an yang jumlahnya sekitar 70 orang sebagai syahid.

Dari sanalah Umar bin Khattab mengusulkan kepada Abu Bakar untuk menjadikan Al-Qur’an ke dalam satu Mushaf dari para penghafal Al-Qur’an yang tersisa dengan meggunakan Mushaf yang ada pada kediaman Rasulullah saw. Abu Bakar mengirim surat kepada Zaid bin Tsabit, karena dia adalah penulis wahyu yang sangat bijaksana pada masa Rasulullah saw. Setelah merenung dan memikirkan, akhirnya ia mau untuk mengumpulkan Al-Qur’an ke dalam 1 Mushaf. Maka, dibuatlah panitia pengumpulan Al-Qur’an yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit. Mereka semua adalah para pengajar Al-Qur’an, diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, dan Ubay bin Ka’ab.

Maka, panitia ini mulai mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang sudah tertulis pada kepingan-kepingan berbagai tempat juga mendatangi satu per satu para penghafal Al-Qur’an. Pengumpulan menjadi 1 Mushaf ini berlangsung selama 1 tahun, yaitu tahun 13 H atau 365 M, dan setiap kali mendapatkan ayat dari para penghafal, Abu Bakar tidak akan menuliskannya kecuali ada 2 orang saksi yang menyebutkan ayat tersebut. Ini membuktikkan, bahwa dalam proses penyatuan Al-Qur’an sangatlah teliti serta hati-hati untuk menjaga kemurnian dan kesucian Al-Qur’an. Maka dalam pembukuan Mushaf ini, Abu Bakar menggunakan 2 metode, yaitu :
1.    Penulisan berdasarkan sumber tulisan Al-Qur’an yang pernah ditulis pada masa Rasul yang tersimpan pada kediaman Rasul saw.
2.    Penulisan kepada sumber hafalan para sahabat penghafal Al-Qur’an.[13]

Itulah sejarah yang menunjukkan betapa perjuangan para sahabat dalam melakukan penjagaan wahyu yang suci ini sangatlah besar. Sejarah diatas hanyalah sekelumit perjuangan para sahabat pada masa Abu Bakar.

Lalu, pada masa Umar bin Khattab, yaitu mulai abad 13-23 H setelah dilakukan pembukuan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar, maka ketika masa beliau, Al-Qur’an diajarkan dan disebarkan ke seluruh semenanjung Arab. Ke Mesir, Irak, Persi, Suriah, dan Damaskus. Umar telah berhasil membuat sekolah-sekolah yang mengajarkan Al-Qur’an di berbagai Negara tersebut. Beliau mengirimkan para sahabat untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada kaum Muslimin, mulai anak-anak hingga orang dewasa ke berbagai belahan negara Islam. Abu Musa Al-‘Ash’ari dan beberapa sahabat lain dikirim ke Basrah. Disana beliau berhasil membimbing murid-muridnya dalam sejumlah kelompok yang seluruhnya berjumlah 300 murid. Ibnu Mas’ud ke Kuffah, Abu Ad-Darda ke Damskus yang murid asuhannya mencapai 1600 orang, Ubada dan Mu’adz ke Hims, Yazid bin Abdullah ke kalangan orang Badui, dan masih banyak lagi.

Singkat cerita, ketika pengajaran dan sekolah-sekolah untuk menghafal Al-Qur’an sudah berkembang sangat pesat, Umar bin Khattab wafat dan diangkatlah Utsman bin Affan pada tahun 25 H. Karena banyaknya para pengajar beserta Mushaf yang dibawa oleh para pengajar tersebut, maka timbulah perbedaan-perbedaan dalam bacaan (qira’at). Ketika para murid yang telah diajari cara membaca dan menghafal Al-Qur’an saling bertemu, mereka menganggap bacaan mereka masing-masing yang paling benar. Hal ini disebabkan pada setiap wilayah memiliki dialek yang berbeda-beda.

Oleh karena itu, Hudzaifah bin Al-Yaman datang kepada Utsman bin Affan sebagaimana Umar mendatangi Abu Bakar. Hudzaifah bersama penduduk Kuffah (Irak) pada waktu itu melihat betapa hebat perselisihan diantara Kaum Muslimin dalam soal bacaan Al-Qur’an.

Maka, Utsman mengirim surat kepada Hafshah binti Umar agar memberikan Shuhuf yang diberikan Umar. Maka langkah pertama adalah Utsman mengumpulkan para sahabat sebagai panitia yang terdiri dari 12 orang. Mereka adalah para sahabat dari kalangan Quraisy dan Anshar, dan tugas mereka adalah mengawasi kegiatan ini. Utsman memercayakan kepada kedua belas sahabat itu untuk mengumpulkan dan menulis ulang Al-Qur’an yang ditulis diatas kertas kulit pada zaman Nabi Muhammad saw. Ibnu Asakir, seorang sejarawan ulung menyebutkan dalam bukunya History of Damascus :

 “Dalam ceramahnya Utsman mengatakan, “Orang-orang telah berbeda dalam bacaan mereka, dan saya menganjuran kepada siapa saja yang memiliki ayat-ayat yang dituliskan di hadapan Nabi Muhammad saw hendaklah diserahkan kepadaku”. Maka, orang-orang pun menyerahkan ayat-ayatnya, yang ditulis diatas kertas kulit dan tulang serta daun-daun, dan siapa saja yang menyumbang memperbanyak kertas naskah, mula-mula akan ditanya oleh Utsman, “Apakah kamu belajar ayat-ayat ini (seperti dibacakan) langsung dari Nabi sendiri?” Semua penyumbang menjawab disertai sumpah, dan semua bahan yang dikumpulkan telah diberi tanda atau nama satu per satu yang kemudian diserahkan pada Zaid bin Tsabit” [14].

Dalam usaha penyatuan Al-Qur’an menjadi sebuah Mushaf yang dikenal dengan Mushaf Utsmani ini, Utsman menggunakan metode pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis oleh Kaum Muslim yang kemudian dikumpulkan, dan tentunya mereka pun telah mengahafal seluruh ayat Al-Qur’an dengan sempurna. Setelah sempurna penulisan naskah Mushaf, maka mereka melakukan perbandingan dengan shufuh resmi yang ada didapatkannya dari Hafshah (mantan istri Rasulullah).

Dua metode yang Utsman tempuh sungguh benar-benar dengan perjuangan yang sangat keras.  Hal ini tak lain hanya dalam rangka memutuskan satu macam bacaan Al-Qur’an yang pada saat itu  mengalami banyak perbedaan dan perselisihan. Maka dapat disimpulakan bahwa : pertama, sejak awal teks Al-Qur’an sudah benar-benar kukuh, tidak cair, dan rapuh hingga abad ketiga. Kedua, metodologi yang dipakai dalam kompilasi Al-Qur’an pada zaman kedua pemerintahan sangat tepat dan akurat.

Oleh karena itu, ketika Mushaf sudah siap untuk digunakan, maka Utsman bin Affan mengirim Mushaf tersebut ke beberapa Negara Islam. Dalam pengiriman Mushaf ini, Utsman menyertakan seorang qari’ (pembaca). Abu Al-Fattah Al-Qadhi mengatakan : “..Sehingga pengiriman seorang Ulama dengan sebuah Mushaf ini menerangkan bahwa bacaan yang betul adalah berdasarkan sistem belajar secara langsung dengan guru yang jalur transmisinya sampai ke Nabi Muhammad saw, tidak hanya tergantung kepada skrip atau ejaan yang umum dipakai”.[15] 

Oleh karena itu, dalam hal ini dapat kita pahami bahwa tujuan dalam melakukan pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar adalah : mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu Mushaf, agar jangan sampai ada ayat atau kalimat yang hilang. Sedangkan pada masa Utsman adalah : menyatukan Kaum Muslimin pada satu macam Mushaf yang seragam tulisan dan ejaannya, penyeragaman sistem bacaan dan tertib susunan surat-suratnya. [16]

Kemudian dalam rangka untuk menjaga kemurnian Mushaf Utsmani ini, maka ia melakukan dua perintah kepada seluruh Kaum Muslimin di seluruh negara Islam. Pertama, Utsman memerintahkan agar Mushaf milik pribadi yang berbeda dengan Mushaf Utsmani, maka harus dibakar, dihapus, atau dirobek-robek. Abu Qilaba menyatakan “Utsman menulis surat ke setiap pusat (center), ‘Saya telah menghapus apa yang saya miliki (naskah), sekarang hapuslah kepunyaan kalian’,”. Kedua, Utsman memerintahkan Kaum Muslimin agar tidak membaca sesuatu yang bertentangan dengan skrip Mushaf Utsmani.
Semua keputusan yang diperintahkan oleh Utsman bin Affan kepada Kaum Muslimin dijalankan dengan semata-mata karena keimanan kepada Allah swt, dan ketaatan kepada pemimpin. Sejak saat itu setiap Muslim yang belajar Al-Qur’an harus sesuai dengan teks Mushaf  Utsmani. Apabila ada yang belajar Al-Qur’an dan bertentanagn dengan Mushaf Utsmani, maka ia dilarang untuk membaca dan mengajarkannya. Apabila hal itu terjadi, maka Utsman mendatangi satu per satu lembaga resmi, kemudian ia memberikan pengajaran sesuai Mushaf Utsman. Kesuksesan Utsman yang tidak ada bandingannya dalam masalah ini adalah bukti positif bahwa upaya yang dilakukan telah menciptakan kedamaian di kalangan Kaum Muslimin.

C.     Rekonstruksi Al- Qur’an secara Tafsir ; Bukan Mengikuti Metode Penafsiran Bibel        
            Perlu dipahami sebelumnya, bahwsannya Al-Qur’an dan Bibel memiliki perbedaan yang sungguh tampak baik secara teksnya mupun sejarahnya. Telah menjadi suatu hal yang diyakini bagi setiap Muslim di seluruh penjuru dunia, dan di sepanjang zaman bahwasannya Al-Qur’an adalah perkataan Allah swt, Tuhan Smesta Alam. Bahkan Paus Benediktus XVI juga telah mengakui keontetikan Al-Qur’an ini.
            Menurutnya, Al-Qur’an adalah Kitab suci yang jelas memiliki perbedaan utama dengan konsep orang Yahudi dan Nasrani. Al-Qur’an adalah teks yang secara keseluruhan adalah perkataan Allah (ma’na wa lafdzan minallah) yang kemudian disampaikan kepada manusia melalui Muhammad. Ia bukanlah kitab yang dibuat karena inspirasi ketuhanan, yang kemudian dibuat oleh Muhammad saw. Perkataan Allah yang bersifat abadi itu, membuat tidak ada sedikitpun peluang bagi siapapun untuk melakukan penafsiran sesuai kondisi dan situasi.                     
            Berbeda dengan Yahudi dan Kristen. Kata Paus, pada kedua agama ini, Tuhan bekerja melalui makhluk-Nya, sehingga di dalam Bibel terdapat perkataan Isaiah, perkataan Markus, tidak hanya perkataan Tuhan. Karena itu, menurut Paus dapat mengambil apa yang baik dari tradisi mereka dan dan menghapuskannya. Sehingga, Bibel inilah yang memungkinkan untuk disesuaikan dan diaplikasikan sesuai dengan situasi dan kondisiyang baru. Menurut Paus, Bibel adalah “kata-kata Tuhan yang turun melalui komunitas manusia”[17].
            Karena sifatnya sebagai “teks manusiawi” inilah, maka Bibel memungkingkan menerima metode penafsiran hermeunetik, dan menempatkannya sebagai bagian dari dinamika sejarah. Ini jelaslah berbeda dengan Al-Qur’an yang sifatnya telah otentik dan final, sehingga Islam bukanlah bagian dari dinamika sejarah, karena Islam telah sempurna sejak awal (QS. Al-Ma’idah ; 3). Islam tidak berubah seiring berjalannya sejarah. Sejak Islam datang kepada Muhammad saw, Kaum Muslimin telah meyakini dan memahami Allah, mengucapkan syahadat dan melaksanakan rukun Islam yang lainnya. Karakter Islam ini sangat berbeda dengan sifat dasar Kristen, Yahudi, Budha , Hindu, dan agama-agama lainhya, yang berubah-ubah menurut kondsi waktu dan tempat.
            Itulah penggambaran perbedan yang begitu menonjol antara Al-Qur’an dan Bibel. Maka, perbedaan realitas teks antara teks Al-Qur’an dan teks Bibel juga berkonsekuensi pada adanya perbedaan dalam metodologi penafsirannya. Bagi kaum Kristen, mereka memang mebutuhkan metode penafsiran Hermeneutika untuk memahmi Bibel. Para hermeneutis dapat menelaah dengan kritis makna teks Bibel (yang memang teks manusiawi) mencakup kondisi teks Bibel, kondisi historis, dan makna literal suatu teks Bibel. Tetapi, metode hisotoris kritis dan analisis penulis teks tidak dapat diterapkan untuk teks wahyu seperti Al-Qur’an, karena merupakan Kitab yang tanzil.
Rasulullah saw telah mengingatkan dalam haditsnya : “Kalian sungguh akan mengikuti jalan-jalan kaum sebelum kalian, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal, sehingga apabila mereka masuk lubang biawak sekalipun, kalian akan mengikutinya juga”. Kemudian Rasulullah ditanya “Apakah mereka (yang diikuti) itu Kaum Yahudi dan Nasrani?”, Rasulullah saw menjawab “Siapa lagi (kalau bukan mereka)?”. (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, dan Ahmad)    
Oleh karenya, tidak sepantasnya bagi kaum Muslimin untuk mengikuti kaum Yahudi dan Nasrani, apalagi yang diikuti adalah perkara besar terkait penafsiran Al-Qur’an yang akan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan kaum Muslimin, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Na’udzubillahi min dzalik.                      
                                                              
D.     Rekonstruksi Al- Qur’an ; Merobohkan dengan Dalil- dalil Allah SWT

Dari semua pemaparan kedua sejarah tersebut kita akan benar-benar memahami bahwa Al Qur’an memang Kitabullah yang Murni dan tidak pernah mengalami perubahan sepanjang masa. Sejarah Kitab suci Al-Qur’an dengan Injil sungguh mampu membuktikannya kepada siapapun yang mampu memahaminya.

Selain dengan adanya sejarah yang dapat memperkuat bukti bahwa Al-Qur’an merupakan Kitab yang hanya Allah Subhanallahu Wa ta’ala yang mampu membuatnya. Al-Qur’an bukanlah Kitab yang pernah mengalami perubahan sejak zaman Rasulullah saw wafat, hingga masa kini dan hingga akhir zaman kelak. Allah pun telah menjamin semua hal itu dalam banyak firman-Nya yang tak pernah berubah pula.
Dalam membuktikan kemurnian Al-Qur’an, Ia berfirman dalam surah Al- Haqqah ayat 44-46 :
öqs9ur tA§qs)s? $oYøn=tã uÙ÷èt/ È@ƒÍr$s%F{$# ÇÍÍÈ   $tRõs{V{ çm÷ZÏB ÈûüÏJuø9$$Î/ ÇÍÎÈ   §NèO $uZ÷èsÜs)s9 çm÷ZÏB tûüÏ?uqø9$# ÇÍÏÈ
 “Seandainya Dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang Dia pada tangan kanannya, kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.” Allah swt juga berfirman dalam surah Ash-Shu’ara ayat 192 yaitu : Dan sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam”. Allah swt juga mempertegas hal ini dalam QS. Fushilat ayat 42, yaitu : Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.”  Dan dalam ayat-ayat-Nya yang lain, Allah swt juga telah menyebutkan hal tersebut. Seperti dalam QS An-Najm ayat 3-4, Al-Waqi’ah ayat 80, Al-Ahqaf ayat 20, Al-Jatiyah ayat 2, Az-Zumar ayat 1.
                Selain itu, Allah pun juga telah berfirman dengan maksud menunjukkan ancaman, bahwa Dia akan memberikan adzab yang pedih kepada orang-orang yang merubah Al-Qur’an.  Dalam QS. Ali Imran ayat 78: “Sesungguhnya diantara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, Padahal ia bukan dari Al kitab dan mereka mengatakan: "Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah", Padahal ia bukan dari sisi Allah. mereka berkata Dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui.” Dalam QS. Al-Ma’idah ayat 13, Allah swt berfirman : “(tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami  jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat). Maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan adzab bagi orang yang sengaja melakukan perubahan terhadap Al-Qur’an baik secara teks maupun tafsir. Seperti dalam QS. Al-Imran ayat 7, An-Nisa’ ayat 46, dan Al-Maidah ayat 41.
E.     Kesimpulan
Dari seluruh pemaparan materi diatas, kita dapat menyimpulkan dua perkara penting, yaitu :
a.    Al-Qur’an merupakan wahyu yang qath’i. Di dalamnya terdapat perkataan Allah yang Dia turunkan untuk memberi jalan bagi kehidupan manusia. Sejak diterimanya Al-Qur’an oleh Muhammad saw hingga semua Ummat Islam memegangnya dan mempelajarinya saat ini, Al-Qur’an tidak pernah mengalami perubahan sedikitpun. Dan kemurniannya akan terus terjaga hingga akhir zaman.

b.    Di belahan dunia manapun, tidak akan pernah ditemukan Al-Qur’an yang memiliki jumlah juz, surat, maupun ayat yang berbeda dengan Mushaf Utsmani. Hal ini menunjukkan bahwa penjagaan kemurnian serta kesucian Al-Qur’an benar-benar dilakukan oleh seluruh Kaum Muslimin di penjuru dunia. Apabila ada kesalahan dalam mencetak, baik disengaja maupun tidak, hal tersebut akan mudah sekali terlacak dan diketahui kesalahannya. Selain didukung oleh teknologi yang canggih, para penghafal yang tak terhitung lagi jumlahnya itu akan turut menjaga ayat-ayat Allah swt yang mulia itu. 



Daftar Pustaka

· Buku Sejarah Teks Al-Qur’an Dari Wahyu Sampai Kompilasi ; Prof.Dr.M.M. Al-A’zami; Gema Insani ; tahun 2014
· Buku Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal ; Adnin Armas, M.A. ; Gema Insanis ; tahun 2003
· Buku Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir ; St. Amanah
· Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia ; Kritik atas Framework Studi Islam Orientalis ; Hamid Fahmi Zarkasyi dan Dr.Syamsuddin Arif ; tahun 2005
· Buku Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an ; Adian Husaini, M.A. dan Abdurrahman Al-Baghdadi ; Gema Insani ; tahun 2007
· Buku Studi Al-Qur’an dan Konsep ; Dr.phil. Sahiron Syamsudin




[1]  www.artikata.htm
[2] www.IndonesiaTourismCountry.htm
[3] Majalah Islamia ; Mengkritisi Kajian Orientalis halaman 4-5 ; Desember 2005
[4] Majalah Islamia ; Mengkritisi Kajian Orientalis halaman 4-5 ; Desember 2005
[5] Majalah Islamia ; Mengkritisi Kajian Orientalis ; halaman 5-10
[6] Sejarah Teks Al-Qur’an ; Bab 2 Sekilas Tentang Sejarah Islam di Masa Silam ; halaman 24-25
[7] Sejarah Teks Al-Qur’an ; Bab 2 Sekilas Tentang Sejarah Islam di Masa Silam ; halaman 39
[8] Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir ; Bab 4 Sejarah Pengumpulan dan Penulisan Al-Qur’an ; halaman 104-106
[9] Sejarah Teks Al-Qur’an ; Bab 4 Pengajaran Al-Qur’an ; halaman 64
[10] Sejarah Teks Al-Qur’an ; Bab 5 Rekaman dan Penyusunan Al-Qur’an ; halaman 67-68
[11] Sejarah Teks Al-Qur’an ; Bab 5 Rekaman dan Penyusunan Al-Qur’an ; halaman 67
[12] Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir ; Bab 4 Sejarah Pengumpulan dan Penulisan Al-Qur’an ; halaman 108. 
[13] Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir ; Bab 4 Sejarah Pengumpulan dan Penulisan Al-Qur’an ; halaman 113
[14] Sejarah Teks Al-Qur’an ; Bab 7 Mushaf Utsmani ; Halaman 90-91
[15] Sejarah Teks Al-Qur’an ; Bab 7 Mushaf Utsmani ; halaman 96
[16] Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir ; Bab 4 Sejarah Pengumpulan dan Penulisan Al-Qur’an ; halaman 116-117
[17] Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an ; Bab 1 Dampak Hermeneutika terhadap Al-Qur’an ; halaman 10-11