A. Pendahuluan : Sejarah Rekontruksi Al- Qur’an
A.1. Munculnya Ide Rekontruksi Al- Qur’an
Rekontruksi secara bahasa adalah penyusuanan atau penggambaran kembali[1].
Rekontruksi Al- Qur’an merupakan sebuah ide baru yang hingga saat ini sedang
diperjuangkan oleh para kaum orientalis, juga para pengikutnya, yang juga tidak
sedikit dari kalangan ilmuwan Muslim. Rekontruksi Al- Qur’an ini merupakan
sebuah perencanaan tertata dan benar- benar intensif, yang nantinya akan
memilki andil besar atas kondisi Islam dan Kaum Muslimin di seluruh penjuru
dunia. Perjuangan dalam rekontruksi Al-Qur’an ini hanyalah salah satu cabang
dari sekian aspek berupa pemikiran- pemikiran, paham, ide, dan doktrin, serta jalan
yang semua itu mereka usahakan dalam rangka meliberalkan Islam di muka bumi
Allah ini.
Rekontruksi Al-Qur’an
ini dilakukan dengan maksud dan tujuan yang tak lain untuk menciptkan keraguan
pada benak setiap Kaum Muslimin akan kebenaran wahyu Allah yang suci ini. Selain
itu Kaum Muslimin juga diajak untuk berfikir kritis dengan logika-logika yang
sedikitpun tidak disandarkan kepada Islam, dengan maksud untuk membuat
penafsiran Al- Qur’an menggunakan metode heurmenetika. Tanpa menggunakan metode
penafsiran Al- Qur’an yang telah ditetapkan oleh Islam itu sendiri, yang telah diajarkan
pula sejak zaman Nabi Muhammad saw, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.
A.2. Sejarah Berkembangnya Ide Rekontruksi Al- Qur’an
Siapakah sosok
yang memegang kunci utama sehingga terbukalah pintu-pintu yang menggebrak Islam
dengan pemikiran- pemikiran itu? Apa pula motif serta latar belakang mereka
yang sehingga demikian mereka begitu terdorong untuk terus melangkahkan kaki
dengan menginjak- injak Islam dengan segala bentuk usaha? Dan bagaimana semua itu
bisa terjadi dengan begitu kompleks dan dapat merasuki seluk beluk pemikiran serta
mempengaruhi cara pandang Kaum Muslimin di berbagai negeri Islam?
Orientalisme adalah
sebuah kata yang berasal dari kata Orient
dan Isme. Dalam bahasa Latin, orient atau oriri artinya terbit. Sedangkan secara
geografis, orient berarti dunia belahan timur atau bisa diartikan bangsa-bangsa
belahan timur, atau juga berarti wilayah yang membentang luas dari kawasan
Timur. Sedangkan Isme berasal dari
bahasa Belanda yang berarti sebuah doktrin, teori sistem atau pendirian, ilmu
paham keyakinan, dan sistem. Jadi orientalisme dapat diartikan sebagai ilmu
tentang ketimuran atau studi tentang dunia ketimuran, dalam suatu bidang kajian
keilmuan. Maka, orientalis adalah orang yang mempelajari ilmu- ilmu ketimuran[2].
Dalam rangka menghancurkan
dan memusnahkan Islam, para kalangan orientalis memiliki dua motif yang dominan.
Motif pertama adalah motif keagamaan.
Motif yang pertama ini, bisa dikatakan sudah terjadi sejak zaman sebelum Nabi
Muhammad dilahirkan. Barat yang disatu sisi merupakan perwakilan Umat Kristen
memandang bahwa Islam merupakan Agama yang selalu menentang doktrin-doktrin
mereka. Islam yang disampaikan oleh Rasulullah SAW dilahirkan tak lain untuk
menyempurnakan millah atau agama yang
dibawa oleh Nabi- nabi sebelumnya. Dan mereka, Kaum Nasrani ataupun Yahudi
memang tidak akan ridha dan akan terus berusaha membenci serta mengajak Kaum
Muslim untuk berada di barisan mereka (Al-
Baqoroh : 120). Sehingga, motif pertama ini sangatlah erat kaitannya dengan
Kristen dan usaha mereka dalam misionarisme[3].
Motif kedua adalah politik. Islam
yang pernah berjaya tak kurang selama 13 abad lamanya, dan telah menguasai dua
per tiga bagian dunia ini juga menjadi alasan kuat bagi Barat untuk menjalankan
semua misi-misnya. Barat sangatlah paham, bahwa Islam bukanlah suatu keyakinan
yang hanya terpendam dalam hati dan fikiran para pengikutnya. Akan tetapi,
Islam adalah sebuah peradaban besar yang tidak hanya memilki istana- istana megah,
militer yang sangat kuat dan berani, dan gedung- gedung yang monumental. Islam
adalah sebuah peradaban yang memilki khazanah, serta tradisi ilmu pengetahuan
yang sangat tinggi. Karena kekuatan yang tak mampu terkalahkan itulah, Barat
dengan segala daya upaya berusaha keras untuk merebut khazanah itu dari genggaman Kaum Muslimin sekaligus
membumihanguskan Islam, dan menggantinya sesuai alur berfikir mereka[4].
Motif yang
kedua inilah, yang kemudian akan berkembang menjadi motif ekonomi, yang
merupakan pokok penghidupan terpenting seluruh manusia. Motif yang akan
berkembang dalam dunia bisnis atau perdagangan yang kemudian menjadi
kolonialisme.
Usaha kaum orientalis
ini benar-benar menghasilkan buah yang terasa begitu nikmat bagi mereka,
sekaligus terasa sangat menyedihkan terhadap kondisi kaum Muslimin, terutama di
negeri-negeri Islam. Dalam upaya memetik hasil yang memuaskan itu, beratus-
ratus tahun lamanya harus mereka tempuh dengan segala pengorbanan. Berbagai
macam fase juga mereka jejaki satu per satu. Dan inilah beberapa fase yang oleh
para kalangan orientalis rasakan untuk menggapai impian mereka dalam
menaklukkan Islam.
Fase pertama
pada abad ke- 16, yaitu ketika Daulah berada di bawah ke-Khilafahan Utsmaniyah,
disinilah dimulai sepak terjang kaum orientalis. Di fase ini, bisa dikatakan
bahwa terdapat sebuah simbol anti Islam yang dipimpin oleh Yahudi dan Kristen.
Hal ini terjadi, dikarenakan sejak dahulu Islam memanglah penentang segala
bentuk ajaran yang diusung oleh Kristen dan Yahudi. Dan dalam Al-Qur’an sudah
sangat jelas menentang pula kedua agama tersebut.
Bahkan, orang Kristen dan Yahudi itu sendiri dengan jelas menentang dan
menghina Nabi Muhammad saw. Mereka mengatakan bahwa Muhammad adalah penyebar
wahyu palsu, tokoh penipu, tidak jujur, pelaku sodomi, dan apa yang dikatakan
itu diambil dari doktrin keagamaan mereka.
Fase kedua, gerakan Orientalisme sedang pada kondisi yang penting, karena bersamaan
dengan modernisasi Barat. Fase yang terjadi pada abad 17-18 M ini, menunjukkan
pada masa itu Barat sedang berjuang keras untuk mengadopsi ilmu-ilmu dan
penemuan para Ilmuwan Islam pada masa ke-Khalifahan Abbasyiah, yang benar-benar
dalam kejayaan sekitar hampir 7 abad lamanya. Kaum orientalis Barat terus
berusaha mengumpulkan berbagai informasi dan segala bentuk ilmu Islam dan
ke-Timuran. Pada masa ini, Barat mulai bangkit dari kegelapan dengan mengadopsi
segala bentuk ilmu yang Islam miliki. Mereka pun juga mulai membuat berbagai
macam karya yang dimaksudkan untuk menjatuhkan Islam, menghina Nabi Muhammad,
dan menghancurkan Islam serta merasuki pemikiran-pemikiran sesat kepada Kaum
Muslimin, salah satunya dengan membuat tulisan- tulisan dan buku-buku.
Singkatnya, jika di fase pertama ‘Kaum Orientalis sedang bersemangat memacu
anti-Islam mereka’, maka pada fase kedua ini,’ Kaum orientalis sedang berusaha
keras membuat doktrin-doktrin dan karya-karya baru yang dimaksudkan untuk menghancurkan
Islam’.
Fase ketiga, terjadi pada abad ke 19-20 M. Pada abad ini, ketika kaum orientalis
dengan perlahan memasuki Daulah Islamiyah, dan mulai meracuni pemikiran-
pemikiran Kaum Muslimin, mereka pun juga terus berusaha menggerogoti satu per
satu Negara bagian Daulah agar mau meninggalkan Daulah dan mengikuti langkah kaum
Kufur itu. Fase ini adalah fase terpenting bagi kaum orientalis, karena saat
itu, Barat benar-benar telah berkuasa atas negara-negara Islam secara politik,
militer, kultural, dan ekonomi. Karena telah menguasai inilah, mereka dengan
mudahnya mengadopsi bahan-bahan ilmu islam, yang kemudian mereka terjemahkan
atau mereka tulis ulang yang tentunya dengan sudut pandang yang berbeda. Maka, dalam fase ini, usaha orientalis dalam
menghancurkan Islam dari fase caci maki menjadi serangan sistematis dan ilmiah.
Fase keempat, serangan Orientalis ditandai dengan adanya Perang Dunia II. Pada saat
itu, kajian orientalisme tidak hanya menyerang Islam dan Kaum Muslimin melalui
keagamaan dengan menembus lembaga-lebmaga pendidikan, namun juga mempengaruhi
berbagai macam kebijkan politik juga kebijakan bisnis (ekonomi)[5].
B.
Rekonstruksi
Al- Qur’an secara Teks ; Meluruskan Sejarah Mushaf Utsmani
B.1. Periode Muhammad SAW ; Turun – Pengajaran Al- Qur’an
Dikarenakan
sejarah penurunan Al-Qur’an merupakan sejarah yang sangat kompleks dan panjang,
maka penulisan ini hanya difokuskan pada hal terpenting yang dapat memperkuat
maksud dan tujuan dari tema diatas.
Awal mula Muhammad saw diangkat menjadi Nabi adalah melalui
berbagai macam mimpi yang telah sempurna. Aisyah r.a berkata : ‘dalam masa
enam bulan, ia melihat mimpi begitu akurat menjelma seperti kenyataan’[6].
Kemudian ketika beliau menyendiri di Gua Hira, malaikat Jibril muncul dihadapannya
dan memaksa beliau untuk melafadzkan Surah Al-Alaq ayat 1-5. Walaupun Muhammad saw
adalah seorang yang tidak dapat baca-tulis, tetapi karena pemaksaan dari
malaikat Jibril tersebut, ia pun mampu melafadzkannya walau dengan
terbata-bata. Dan berlangsunglah penurunan ayat demi ayat Al-Qur’an secara mutawattir
selama kurang lebih 20 tahun.
Ketika Rasullah wafat, Al- Qur’an telah sempurna diturunkan oleh
Allah SWT. Tak hanya wilayah-wilayah teritorial yang telah ditaklukkan beliau
dan tentara Kaum Muslimin, namun Nabi Muhammad saw telah mewariskan dua harta
pusaka bagi umat Islam. Dua harta pusaka yang senantiasa dijadikan pedoman
hidup dan rujukan dalam setiap langkah seluruh Umat manusia di seluruh penjuru
dunia hingga akhir zaman. Dalam menerima mukjizat terbesar dari Allah ini,
beliau juga telah mampu untuk menghimpun pengikut yang jumlahnya sangatlah
banyak. Beliau mampu menuai keberkahan yang luar biasa. Selama penjagaan secara
ketat terhadap Agama baru yang ia bawa, seluruh sistem dibangun atas fondasi
Al-Qur’an dan Sunnah, sehingga penyelewengan yang muncul tidak diberikan
kesempatan untuk berkembang. Kondisi seperti itulah yang mampu menjaga keaslian
Al-Qur’an selama belasan abad lamanya.[7]
Mengapa Al-Qur’an dari masa ke masa bisa diajarkan hingga masa ini?
Apakah ada kitab lain yang kehebatannya dapat menandingi Al-Qur’an? Tak dapat
terhitung lagi berapa jumlah Umat Islam yang berhasil menjaga Al-Qur’an dengan
menghafalkannya. Mulai sejak zaman Nabi menerima wahyu tersebut, kemudian
ketika beliau telah wafat, dan dilanjutkan oleh para sahabat, lalu ketika
Daulah Islamiyah masih mengayomi dua per tiga wilayah di dunia ini, hingga
zaman dimana kerusakan dan kekufuran telah terjadi secara nyata, semua itu tak
pernah sekalipun menghapuskan adanya para hufadz, yang mereka senantiasa menghafal
Al-Qur’an dengan maksud menjaga kemurnian teksnya.
Saat itu, lebih dari 30 sahabat yang mampu menghafal Al-Qur’an,
walaupun diantara mereka banyak yang ‘Ummy (tidak bisa baca-tulis), akan tetapi
mereka memiliki kemampuan menghafal yang sangat cepat dan daya ingat yang kuat.
Orang-orang Arab kala itu mampu menghafal ratusan ribu syair-syair yang sangat
sulit dan menghafal pula nasab keturunannya beserta sejarahnya[8]. Sehingga ketika Al-Qur’an datang yang dibawa oleh Muhammad
saw, maka fikiran mereka sangatlah terbuka. Mengapa? Karena Al-Quran memiliki
sastra Arab yang sangat tinggi dan mereka belum pernah menemukan syair apapun
yang dapat menandinginya. Oleh karena itu, dengan mudah mereka menghafal,
memahami, dan menghayati setiap ayat yang Nabi sampaikan. Nabi mampu membakar
semangat mereka dengan mukjizat yang agung ini, dan mereka pun meninggalkan
syair-syair kuno dan jiwanya telah terbakar dengan Al-Qur’an ini.
Selain melalui para penghafal Al-Qur’an ini, sejak zaman Nabi
Muhammad kemurniannya dapat terjaga karena Al-Qur’an telah dilakukan penjagaan
dalam bentuk tertulis[9].
Penulisan ayat ini senantiasa dilakukan oleh para sahabat dengan cara Nabi
mendiktekannya secara langsung, kemudian mengeceknya kembali dengan cara para
sahabat membaca ulang dari apa yang telah didengar dan dituliskannya dari Nabi.
Sebagai contoh, ketika ayat tentang jihad telah turun, Nabi kemudian memanggil
Zaid bin Tsabit untuk mencatat ayat itu. Kemudian Zaid membawa tinta, dan alat
tulis seperti kertas kulit.[10]
Dalam pengumpulan dan penulisan ayat-ayat Al-Qur’an ini, setidaknya
Nabi telah memiliki kurang lebih 65 sahabat yang ditugaskan untuk menuliskan
wahyu-Nya. Untuk menjaga kemurnian pula, Nabi melarang mereka menuliskan apa
yang Nabi katakan, kecuali wahyu-Nya. “Dan siapa yang telah menulis sesuatu
dariku selain Al-Qur’an, maka ia harus menghapuskannya”[11]
Diakui secara umum, bahwa susunan ayat dan surah di dalam Al-Qur’an
memiliki keunikan yang luar biasa. Ketika wahyu dari-Nya turun, susunannya
tidak secara urutan, baik nomor ayat dan surahnya, dan juga subjek bahasannya.
Dan keunikan ini, hanyalah Dzat Yang Maha Tahu saja yang mengetahuinya. Dia
sebagai Pemilik Kitab Suci ini, maka Dia pulalah yang mengatur segala apa yang
dikehendaki-Nya.
Oleh karena itu, agar wahyu ini sampai pada Umat di muka bumi ini,
maka diutuslah Muhammad saw untuk menyampaikan wahyu-Nya (An-Nahl: 44).
Maka dari itu, Allah swt berikan wewenang atau hak otoritas pada Nabi Muhammad saw agar memberi penjelasan pada Ummatnya.
Hanya Nabi Muhammad saw, melalui keistimewaan dan wahyu ketuhanan, yang
dianggap mampu menyusun ayat-ayat ke dalam bentuk keunikan Al-Qur’an sesuai kehendak
dan rahasia Allah. Bukan komunitas Muslim secara kolektif, dan bukan pula perorangan
yang memiliki legitimasi dalam menyusun Kitab. Beberapa riwayat mengatakan,
bahwa Nabi Muhammad memberi intruksi atau pengarahan kepada para sahabat yang
menulis Al-Qur’an tentang letak ayat pada setiap surah.
Sehingga, dalam proses penjagaan kemurnian Al-Qur’an, ada faktor
yang dapat menguatkan, yaitu :
(1)
Hafalan yang sangat kuat dari para
sahabat.
(2)
Naskah Al-Qur’an yang ditulis untuk
Nabi.
(3)
Naskah yang ditulis oleh para
penulis wahyu.
(4)
Tadarus Al-Qur’an yang dilakukan oleh
malaikat Jibril dan Nabi setiap satu tahun.
(5)
Pengecekan Nabi terhadap hafalan
para sahabat.[12]
Allah berfirman
dalam Al-Qur’an Surah Al-Hijr ayat 9
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya
Kami benar-benar memeliharanya”.
B.2. Periode Sahabat ra ; Pembukuan dan Penjagaan Al-Qur’an
Ketika Rasulullah saw telah wafat, seluruh wahyu Al-Qur’an telah
sempurna beliau dapatkan dari Allah swt. Wahyu- wahyu tersebut ditulis diatas
pelepah kurma, daun, tulang-tulang belikat, batu, kulit unta, dan tentunnya
disertai pula dengan banyaknya para sahabat yang mendengar langsung, kemudian
menghafalkannya secara sempurna. Seluruh bagian Al-Qur’an telah tertulis dengan
susunan ayat-ayat dan surah-surah sebagaimana yang telah dihafal oleh Kaum
Muslimin. Dan pasti dari keduanya itulah Al-Qur’an dapat dibukukan, sehingga
Al-Qur’an menjadi kitab Allah yang dapat dibaca kemudian menjadi pedoman dan
faedah kehidupan bagi Umat manusia di zaman berikutnya, hingga akhir zaman.
Akan tetapi, pada masa ke-Khalifahan Abu Bakar Ash-Shidiq, banyak
sekali terjadi penyimpangan oleh Kaum Muslimin. Banyak dari mereka yang tidak
mau membayar zakat, bahkan murtad. Hal ini dikarenakan mereka banyak yang tidak
meyakini adanya pengganti Rasul setelah beliau wafat sebagai Khalifah. Dan tak
hanya itu, bahkan munculah Nabi baru yang bernama Musailamah. Bani Hanifah di
Yamamah berhasil dipengaruhi dan mengikuti Nabi palsu ini. Maka, Abu Bakar
melakukan penyerangan yang dipimpin oleh Khalid bin Walid, yang kemudian
dinamakan perang Yamamah. Perang ini mengakibatkan para penghafal Al-Qur’an
yang jumlahnya sekitar 70 orang sebagai syahid.
Dari sanalah Umar bin Khattab mengusulkan kepada Abu Bakar untuk
menjadikan Al-Qur’an ke dalam satu Mushaf dari para penghafal Al-Qur’an yang
tersisa dengan meggunakan Mushaf yang ada pada kediaman Rasulullah saw. Abu
Bakar mengirim surat kepada Zaid bin Tsabit, karena dia adalah penulis wahyu
yang sangat bijaksana pada masa Rasulullah saw. Setelah merenung dan
memikirkan, akhirnya ia mau untuk mengumpulkan Al-Qur’an ke dalam 1 Mushaf.
Maka, dibuatlah panitia pengumpulan Al-Qur’an yang diketuai oleh Zaid bin
Tsabit. Mereka semua adalah para pengajar Al-Qur’an, diantaranya adalah Ali bin
Abi Thalib, Utsman bin Affan, dan Ubay bin Ka’ab.
Maka, panitia ini mulai mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang sudah
tertulis pada kepingan-kepingan berbagai tempat juga mendatangi satu per satu
para penghafal Al-Qur’an. Pengumpulan menjadi 1 Mushaf ini berlangsung selama 1
tahun, yaitu tahun 13 H atau 365 M, dan setiap kali mendapatkan ayat dari para
penghafal, Abu Bakar tidak akan menuliskannya kecuali ada 2 orang saksi yang
menyebutkan ayat tersebut. Ini membuktikkan, bahwa dalam proses penyatuan
Al-Qur’an sangatlah teliti serta hati-hati untuk menjaga kemurnian dan kesucian
Al-Qur’an. Maka dalam pembukuan Mushaf ini, Abu Bakar menggunakan 2 metode,
yaitu :
1.
Penulisan berdasarkan sumber tulisan
Al-Qur’an yang pernah ditulis pada masa Rasul yang tersimpan pada kediaman
Rasul saw.
2.
Penulisan kepada sumber hafalan para
sahabat penghafal Al-Qur’an.[13]
Itulah sejarah yang menunjukkan betapa perjuangan para sahabat
dalam melakukan penjagaan wahyu yang suci ini sangatlah besar. Sejarah diatas
hanyalah sekelumit perjuangan para sahabat pada masa Abu Bakar.
Lalu, pada masa Umar bin Khattab, yaitu mulai abad 13-23 H setelah
dilakukan pembukuan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar, maka ketika masa beliau,
Al-Qur’an diajarkan dan disebarkan ke seluruh semenanjung Arab. Ke Mesir, Irak,
Persi, Suriah, dan Damaskus. Umar telah berhasil membuat sekolah-sekolah yang
mengajarkan Al-Qur’an di berbagai Negara tersebut. Beliau mengirimkan para
sahabat untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada kaum Muslimin, mulai anak-anak
hingga orang dewasa ke berbagai belahan negara Islam. Abu Musa Al-‘Ash’ari dan
beberapa sahabat lain dikirim ke Basrah. Disana beliau berhasil membimbing
murid-muridnya dalam sejumlah kelompok yang seluruhnya berjumlah 300 murid.
Ibnu Mas’ud ke Kuffah, Abu Ad-Darda ke Damskus yang murid asuhannya mencapai
1600 orang, Ubada dan Mu’adz ke Hims, Yazid bin Abdullah ke kalangan orang
Badui, dan masih banyak lagi.
Singkat cerita, ketika pengajaran dan sekolah-sekolah untuk
menghafal Al-Qur’an sudah berkembang sangat pesat, Umar bin Khattab wafat dan
diangkatlah Utsman bin Affan pada tahun 25 H. Karena banyaknya para pengajar
beserta Mushaf yang dibawa oleh para pengajar tersebut, maka timbulah
perbedaan-perbedaan dalam bacaan (qira’at). Ketika para murid yang telah diajari
cara membaca dan menghafal Al-Qur’an saling bertemu, mereka menganggap bacaan
mereka masing-masing yang paling benar. Hal ini disebabkan pada setiap wilayah
memiliki dialek yang berbeda-beda.
Oleh karena itu, Hudzaifah bin Al-Yaman datang kepada Utsman bin
Affan sebagaimana Umar mendatangi Abu Bakar. Hudzaifah bersama penduduk Kuffah
(Irak) pada waktu itu melihat betapa hebat perselisihan diantara Kaum Muslimin
dalam soal bacaan Al-Qur’an.
Maka, Utsman mengirim surat kepada Hafshah binti Umar agar
memberikan Shuhuf yang diberikan Umar. Maka langkah pertama adalah Utsman
mengumpulkan para sahabat sebagai panitia yang terdiri dari 12 orang. Mereka
adalah para sahabat dari kalangan Quraisy dan Anshar, dan tugas mereka adalah
mengawasi kegiatan ini. Utsman memercayakan kepada kedua belas sahabat itu
untuk mengumpulkan dan menulis ulang Al-Qur’an yang ditulis diatas kertas kulit
pada zaman Nabi Muhammad saw. Ibnu Asakir, seorang sejarawan ulung menyebutkan
dalam bukunya History of Damascus :
“Dalam
ceramahnya Utsman mengatakan, “Orang-orang telah berbeda dalam bacaan mereka,
dan saya menganjuran kepada siapa saja yang memiliki ayat-ayat yang dituliskan
di hadapan Nabi Muhammad saw hendaklah diserahkan kepadaku”. Maka, orang-orang
pun menyerahkan ayat-ayatnya, yang ditulis diatas kertas kulit dan tulang serta
daun-daun, dan siapa saja yang menyumbang memperbanyak kertas naskah, mula-mula
akan ditanya oleh Utsman, “Apakah kamu belajar ayat-ayat ini (seperti
dibacakan) langsung dari Nabi sendiri?” Semua penyumbang menjawab disertai
sumpah, dan semua bahan yang dikumpulkan telah diberi tanda atau nama satu per
satu yang kemudian diserahkan pada Zaid bin Tsabit” [14].
Dalam usaha penyatuan Al-Qur’an menjadi sebuah Mushaf yang dikenal
dengan Mushaf Utsmani ini, Utsman menggunakan metode pengumpulan ayat-ayat
Al-Qur’an yang ditulis oleh Kaum Muslim yang kemudian dikumpulkan, dan tentunya
mereka pun telah mengahafal seluruh ayat Al-Qur’an dengan sempurna. Setelah
sempurna penulisan naskah Mushaf, maka mereka melakukan perbandingan dengan shufuh
resmi yang ada didapatkannya dari Hafshah (mantan istri Rasulullah).
Dua metode yang Utsman tempuh sungguh benar-benar dengan perjuangan
yang sangat keras. Hal ini tak lain
hanya dalam rangka memutuskan satu macam bacaan Al-Qur’an yang pada saat
itu mengalami banyak perbedaan dan
perselisihan. Maka dapat disimpulakan bahwa : pertama, sejak awal teks
Al-Qur’an sudah benar-benar kukuh, tidak cair, dan rapuh hingga abad ketiga. Kedua,
metodologi yang dipakai dalam kompilasi Al-Qur’an pada zaman kedua pemerintahan
sangat tepat dan akurat.
Oleh karena itu, ketika Mushaf sudah siap untuk digunakan, maka
Utsman bin Affan mengirim Mushaf tersebut ke beberapa Negara Islam. Dalam
pengiriman Mushaf ini, Utsman menyertakan seorang qari’ (pembaca). Abu
Al-Fattah Al-Qadhi mengatakan : “..Sehingga pengiriman seorang Ulama dengan
sebuah Mushaf ini menerangkan bahwa bacaan yang betul adalah berdasarkan sistem
belajar secara langsung dengan guru yang jalur transmisinya sampai ke Nabi
Muhammad saw, tidak hanya tergantung kepada skrip atau ejaan yang umum
dipakai”.[15]
Oleh karena itu, dalam hal ini dapat kita pahami bahwa tujuan dalam
melakukan pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar adalah : mengumpulkan
Al-Qur’an menjadi satu Mushaf, agar jangan sampai ada ayat atau kalimat yang
hilang. Sedangkan pada masa Utsman adalah : menyatukan Kaum Muslimin pada satu
macam Mushaf yang seragam tulisan dan ejaannya, penyeragaman sistem bacaan dan
tertib susunan surat-suratnya. [16]
Kemudian dalam rangka untuk menjaga kemurnian Mushaf Utsmani ini,
maka ia melakukan dua perintah kepada seluruh Kaum Muslimin di seluruh negara
Islam. Pertama, Utsman memerintahkan agar Mushaf milik pribadi yang
berbeda dengan Mushaf Utsmani, maka harus dibakar, dihapus, atau dirobek-robek.
Abu Qilaba menyatakan “Utsman menulis surat ke setiap pusat (center), ‘Saya
telah menghapus apa yang saya miliki (naskah), sekarang hapuslah kepunyaan
kalian’,”. Kedua, Utsman memerintahkan Kaum Muslimin agar tidak
membaca sesuatu yang bertentangan dengan skrip Mushaf Utsmani.
Semua
keputusan yang diperintahkan oleh Utsman bin Affan kepada Kaum Muslimin
dijalankan dengan semata-mata karena keimanan kepada Allah swt, dan ketaatan
kepada pemimpin. Sejak saat itu setiap Muslim yang belajar Al-Qur’an harus
sesuai dengan teks Mushaf Utsmani.
Apabila ada yang belajar Al-Qur’an dan bertentanagn dengan Mushaf Utsmani, maka
ia dilarang untuk membaca dan mengajarkannya. Apabila hal itu terjadi, maka
Utsman mendatangi satu per satu lembaga resmi, kemudian ia memberikan
pengajaran sesuai Mushaf Utsman. Kesuksesan Utsman yang tidak ada bandingannya
dalam masalah ini adalah bukti positif bahwa upaya yang dilakukan telah menciptakan
kedamaian di kalangan Kaum Muslimin.
C.
Rekonstruksi
Al- Qur’an secara Tafsir ; Bukan Mengikuti Metode Penafsiran Bibel
Perlu dipahami
sebelumnya, bahwsannya Al-Qur’an dan Bibel memiliki perbedaan yang sungguh
tampak baik secara teksnya mupun sejarahnya. Telah menjadi suatu hal yang diyakini
bagi setiap Muslim di seluruh penjuru dunia, dan di sepanjang zaman bahwasannya
Al-Qur’an adalah perkataan Allah swt, Tuhan Smesta Alam. Bahkan Paus Benediktus
XVI juga telah mengakui keontetikan Al-Qur’an ini.
Menurutnya,
Al-Qur’an adalah Kitab suci yang jelas memiliki perbedaan utama dengan konsep
orang Yahudi dan Nasrani. Al-Qur’an adalah teks yang secara keseluruhan adalah
perkataan Allah (ma’na wa lafdzan minallah) yang kemudian disampaikan
kepada manusia melalui Muhammad. Ia bukanlah kitab yang dibuat karena inspirasi
ketuhanan, yang kemudian dibuat oleh Muhammad saw. Perkataan Allah yang
bersifat abadi itu, membuat tidak ada sedikitpun peluang bagi siapapun untuk
melakukan penafsiran sesuai kondisi dan situasi.
Berbeda dengan
Yahudi dan Kristen. Kata Paus, pada kedua agama ini, Tuhan bekerja melalui
makhluk-Nya, sehingga di dalam Bibel terdapat perkataan Isaiah, perkataan
Markus, tidak hanya perkataan Tuhan. Karena itu, menurut Paus dapat mengambil
apa yang baik dari tradisi mereka dan dan menghapuskannya. Sehingga, Bibel
inilah yang memungkinkan untuk disesuaikan dan diaplikasikan sesuai dengan
situasi dan kondisiyang baru. Menurut Paus, Bibel adalah “kata-kata Tuhan
yang turun melalui komunitas manusia”[17].
Karena sifatnya sebagai “teks
manusiawi” inilah, maka Bibel memungkingkan menerima metode penafsiran
hermeunetik, dan menempatkannya sebagai bagian dari dinamika sejarah. Ini
jelaslah berbeda dengan Al-Qur’an yang sifatnya telah otentik dan final,
sehingga Islam bukanlah bagian dari dinamika sejarah, karena Islam telah
sempurna sejak awal (QS. Al-Ma’idah ; 3). Islam tidak berubah seiring
berjalannya sejarah. Sejak Islam datang kepada Muhammad saw, Kaum Muslimin
telah meyakini dan memahami Allah, mengucapkan syahadat dan melaksanakan rukun
Islam yang lainnya. Karakter Islam ini sangat berbeda dengan sifat dasar
Kristen, Yahudi, Budha , Hindu, dan agama-agama lainhya, yang berubah-ubah menurut
kondsi waktu dan tempat.
Itulah
penggambaran perbedan yang begitu menonjol antara Al-Qur’an dan Bibel. Maka,
perbedaan realitas teks antara teks Al-Qur’an dan teks Bibel juga
berkonsekuensi pada adanya perbedaan dalam metodologi penafsirannya. Bagi kaum
Kristen, mereka memang mebutuhkan metode penafsiran Hermeneutika untuk memahmi
Bibel. Para hermeneutis dapat menelaah dengan kritis makna teks Bibel (yang
memang teks manusiawi) mencakup kondisi teks Bibel, kondisi historis, dan makna
literal suatu teks Bibel. Tetapi, metode hisotoris kritis dan analisis penulis
teks tidak dapat diterapkan untuk teks wahyu seperti Al-Qur’an, karena
merupakan Kitab yang tanzil.
Rasulullah saw
telah mengingatkan dalam haditsnya : “Kalian sungguh akan mengikuti
jalan-jalan kaum sebelum kalian, sehasta demi sehasta, sejengkal demi
sejengkal, sehingga apabila mereka masuk lubang biawak sekalipun, kalian akan
mengikutinya juga”. Kemudian Rasulullah ditanya “Apakah mereka (yang diikuti)
itu Kaum Yahudi dan Nasrani?”, Rasulullah saw menjawab “Siapa lagi (kalau bukan
mereka)?”. (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Oleh karenya,
tidak sepantasnya bagi kaum Muslimin untuk mengikuti kaum Yahudi dan Nasrani,
apalagi yang diikuti adalah perkara besar terkait penafsiran Al-Qur’an yang
akan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan kaum Muslimin, baik di dunia maupun
di akhirat kelak. Na’udzubillahi min dzalik.
D.
Rekonstruksi
Al- Qur’an ; Merobohkan dengan Dalil- dalil Allah SWT
Dari semua pemaparan kedua sejarah tersebut kita akan benar-benar
memahami bahwa Al Qur’an memang Kitabullah yang Murni dan tidak pernah
mengalami perubahan sepanjang masa. Sejarah Kitab suci Al-Qur’an dengan Injil
sungguh mampu membuktikannya kepada siapapun yang mampu memahaminya.
Selain dengan adanya sejarah yang dapat memperkuat bukti bahwa
Al-Qur’an merupakan Kitab yang hanya Allah Subhanallahu Wa ta’ala yang mampu
membuatnya. Al-Qur’an bukanlah Kitab yang pernah mengalami perubahan sejak
zaman Rasulullah saw wafat, hingga masa kini dan hingga akhir zaman kelak.
Allah pun telah menjamin semua hal itu dalam banyak firman-Nya yang tak pernah
berubah pula.
Dalam
membuktikan kemurnian Al-Qur’an, Ia berfirman dalam surah Al- Haqqah ayat 44-46
:
öqs9ur tA§qs)s? $oYøn=tã uÙ÷èt/ È@Ír$s%F{$# ÇÍÍÈ $tRõs{V{ çm÷ZÏB ÈûüÏJuø9$$Î/ ÇÍÎÈ §NèO $uZ÷èsÜs)s9 çm÷ZÏB tûüÏ?uqø9$# ÇÍÏÈ
“Seandainya Dia (Muhammad) mengadakan sebagian
perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang Dia pada tangan
kanannya, kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.” Allah swt
juga berfirman dalam surah Ash-Shu’ara ayat 192 yaitu : “ Dan sesungguhnya Al Quran ini
benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam”. Allah swt
juga mempertegas hal ini dalam QS. Fushilat ayat 42, yaitu : “Yang tidak datang kepadanya (Al Quran)
kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb
yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” Dan dalam ayat-ayat-Nya yang lain, Allah swt
juga telah menyebutkan hal tersebut. Seperti dalam QS An-Najm ayat 3-4,
Al-Waqi’ah ayat 80, Al-Ahqaf ayat 20, Al-Jatiyah ayat 2, Az-Zumar ayat 1.
Selain itu, Allah
pun juga telah berfirman dengan maksud menunjukkan ancaman, bahwa Dia akan
memberikan adzab yang pedih kepada orang-orang yang merubah Al-Qur’an. Dalam QS. Ali Imran ayat
78: “Sesungguhnya diantara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya
membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al
Kitab, Padahal ia bukan dari Al kitab dan mereka mengatakan: "Ia (yang
dibaca itu datang) dari sisi Allah", Padahal ia bukan dari sisi Allah.
mereka berkata Dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui.” Dalam QS.
Al-Ma’idah ayat 13, Allah swt berfirman : “(tetapi) karena mereka melanggar
janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka
merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan
sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu
(Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit
diantara mereka (yang tidak berkhianat). Maka maafkanlah mereka dan biarkan
mereka, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” Dan
masih banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan adzab bagi orang yang sengaja
melakukan perubahan terhadap Al-Qur’an baik secara teks maupun tafsir. Seperti
dalam QS. Al-Imran ayat 7, An-Nisa’ ayat 46, dan Al-Maidah ayat 41.
E.
Kesimpulan
Dari seluruh
pemaparan materi diatas, kita dapat menyimpulkan dua perkara penting, yaitu :
a.
Al-Qur’an merupakan wahyu yang
qath’i. Di dalamnya terdapat perkataan Allah yang Dia turunkan untuk memberi jalan
bagi kehidupan manusia. Sejak diterimanya Al-Qur’an oleh Muhammad saw hingga semua
Ummat Islam memegangnya dan mempelajarinya saat ini, Al-Qur’an tidak pernah
mengalami perubahan sedikitpun. Dan kemurniannya akan terus terjaga hingga
akhir zaman.
b.
Di belahan dunia manapun, tidak akan
pernah ditemukan Al-Qur’an yang memiliki jumlah juz, surat, maupun ayat yang
berbeda dengan Mushaf Utsmani. Hal ini menunjukkan bahwa penjagaan kemurnian
serta kesucian Al-Qur’an benar-benar dilakukan oleh seluruh Kaum Muslimin di
penjuru dunia. Apabila ada kesalahan dalam mencetak, baik disengaja maupun
tidak, hal tersebut akan mudah sekali terlacak dan diketahui kesalahannya.
Selain didukung oleh teknologi yang canggih, para penghafal yang tak terhitung
lagi jumlahnya itu akan turut menjaga ayat-ayat Allah swt yang mulia itu.
Daftar Pustaka
· Buku Sejarah Teks Al-Qur’an Dari Wahyu Sampai Kompilasi ;
Prof.Dr.M.M. Al-A’zami; Gema Insani ; tahun 2014
· Buku Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal ; Adnin
Armas, M.A. ; Gema Insanis ; tahun 2003
· Buku Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir ; St. Amanah
· Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia ; Kritik atas Framework
Studi Islam Orientalis ; Hamid Fahmi Zarkasyi dan Dr.Syamsuddin Arif ; tahun
2005
· Buku Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an ; Adian Husaini, M.A. dan
Abdurrahman Al-Baghdadi ; Gema Insani ; tahun 2007
· Buku Studi Al-Qur’an dan Konsep ; Dr.phil. Sahiron Syamsudin
[1] www.artikata.htm
[2]
www.IndonesiaTourismCountry.htm
[3]
Majalah Islamia ; Mengkritisi Kajian Orientalis halaman 4-5 ; Desember 2005
[4]
Majalah Islamia ; Mengkritisi Kajian Orientalis halaman 4-5 ; Desember 2005
[5]
Majalah Islamia ; Mengkritisi Kajian Orientalis ; halaman 5-10
[6]
Sejarah Teks Al-Qur’an ; Bab 2 Sekilas Tentang Sejarah Islam di Masa Silam ; halaman
24-25
[7] Sejarah
Teks Al-Qur’an ; Bab 2 Sekilas Tentang Sejarah Islam di Masa Silam ; halaman 39
[8]
Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir ; Bab 4 Sejarah Pengumpulan dan Penulisan
Al-Qur’an ; halaman 104-106
[9]
Sejarah Teks Al-Qur’an ; Bab 4 Pengajaran Al-Qur’an ; halaman 64
[10]
Sejarah Teks Al-Qur’an ; Bab 5 Rekaman dan Penyusunan Al-Qur’an ; halaman 67-68
[11]
Sejarah Teks Al-Qur’an ; Bab 5 Rekaman dan Penyusunan Al-Qur’an ; halaman 67
[12]
Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir ; Bab 4 Sejarah Pengumpulan dan Penulisan
Al-Qur’an ; halaman 108.
[13]
Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir ; Bab 4 Sejarah Pengumpulan dan Penulisan
Al-Qur’an ; halaman 113
[14]
Sejarah Teks Al-Qur’an ; Bab 7 Mushaf Utsmani ; Halaman 90-91
[15]
Sejarah Teks Al-Qur’an ; Bab 7 Mushaf Utsmani ; halaman 96
[16]
Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir ; Bab 4 Sejarah Pengumpulan dan Penulisan
Al-Qur’an ; halaman 116-117
[17]
Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an ; Bab 1 Dampak Hermeneutika terhadap
Al-Qur’an ; halaman 10-11